(Cerita dari medan Perang)
Seventius sudah kelas 3 SMA di salah satu sekolah di Dekai-Yahukimo dan ia ingin melanjutkan kuliah di Universitas Cenderawasih tahun ini. Sejak kecil ia mempunyai cita-cita menjadi seorang Wartawan. Oleh karena keinginannya itu, ia belajar dengan sangat tekun hingga lulus sekolah dengan nilai terbaik ke dua untuk sekolahnya.
Hari itu sore-sore. Di depan bapa, mama dan adiknya yang bungsu, stev mengeluarkan berkas kuliah yang sudah ia siapkan. Stev bermaksud meminta izin kepada orang tuanya untuk merantau ke Jayapura untuk melanjutkan studi di Uncen;
“Bapa–mama kemarin sa sudah urus semua persyaratan. Terus, kaka yang di Jayapura juga sudah kasih tahu kalo pendafftaran sudah buka ni.”
Bapa stev yang berprovesi sebagai seorang petani itu pun terdiam seketika mendengar penjelasan anaknya. Wajah bahagia dan humoris itu berubah menjadi kusam seakan ada yang tidak beres disitu.
(Suasana berubah menjadi tegang)
Bapa menundukan wajah polosnya, termenung sejenak lalu manaris nafas yang dalam dan berkata;
“Huuf. Stev nare, apa yang hat bicara itu mimpi yang sulit ko capai ditengah keluarga kami yang serba kekurangan ini. Jangankan kuliah, makan saja bapa harus bekerja 24 jam”.
Lalu, bapa Stev yang agak sedih dngan perkatannya itu pun mengangkat kepala, perlahan lalu menatap Stev sambil berkata;
“Stev ko coba lihat bapa. Bapa tra larang ko tapi bapa tra mampu biayai ko kuliah, dengar! ko tau keadaan kita di rumah, makan saja Kadang ada kadang juga tdk ada.”
“ko liat Kopu mama yang biasa pergi jualan di pasar saja sudah sakit-sakitan tu ko su lihat to. Jadi coba ko pikir-pikir lagi. Kalo untuk bapa tra bisa.”
(Tegasnya, sambil tunjuk jari kepada mama)
Seketika suasana pun berubah menjadi tegang dan bawaanya sedih. Bapa yang tahu persis perilaku putranya yang pendengar dan cengeng pun segera memeluknya sambil berkata;
“Kawan sini bapa peluk. Bapa minta maaf e tra bisa jadi yang terbaik nare.”
(Sambil air mata menetes)
Semampu bapa sudah coba tapi kenyatan tidak sesuai dengan harapan. Tapi bagi bapa ko laki-laki hebat yang bapa punya.”
Mendengar kata “minta maaf” dari bapa. Detik itupun Stev menangis terbahak-bahak dari awalnya yang hanya meneteskan air mata dalam diam. Stev tak bisa mendeskripsikan betapa hancur hatinya saat itu. Ia sedih, hatinya hancur berkeping-keping, ia bingung dan putus asa.
Stev berdiri meninggalkan kedua orang tua dari ruang depan menuju ke dapur sambil menangis:
“Sa trakan stengah mati ya ma. Jalan kaki bulak-balik sekolah, kalo sa tahu hasil akhirnya seperti ini. Hanya karena uang sa begini ka? ah bangsat Kenapa ka?”
(Ia berteriak layaknya orang gila sambil menangis)
Mama yang mendengar anaknya dalam keaadaan terpuruk pun tak bisa berbuat apa-apa selain meneteskan air mata melihat stev. Mama coba menenangkan Stev dengan cara memuluknya namun stev yang sudah terlanjur sedih pun justru tambah hancur di pelukan mamanya.
“Stev sudah. Ko lihat mama sakit ini masa ko mau menagis terus?” Stev yang ingin sendiripun menjawab; “ma sudah jang bujuk-bujuk sa, sa mau sendiri.“ Sambil berpelukan dengan mamanya.
Semenjak hari itu dan hari-hari seterunya ia lewati dengan penuh kesedihan. Ia mengurung diri dari keramaian dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama bapanya di kebun dari pada bergaul dengan teman-teman seumurnya.
Pada suatu hari Stev bertemu dengan seorang yang baik, yang baru saja balik dari Jakarta. Stev pun mencoba untuk mendekat lalu mendengarkan cerita-cerita pengalaman dari kakanya yang tidak lain adalah kaka semarganya sendiri.
Malam itu mereka bercerita sampai pagi. Mulai dari yang baik hingga yang buruk. Kakanya yang baik dan rama itu pun coba mecairkan suasa dengan menjelaskan sedikit tentang kondisi objektif rakyat Papua yang ditindas oleh kolonial indonesia dari semua sektor termaksud kondisi rakyat kaitanya dengan hegomoni uang.
Stev yang hatinya sedang tidak baik-baik saja itu pun merasa tersinggung mendengar cerita dari kakanya. Hatinya bercampur aduk antara marah, jengkel dan juga sedih.
“Wih tua cerita ni macam sapu kisa ka.“ (Tanyanya dalam hati)
Berkat nasehat dari kakak dan sedikit motivasi. Hari-hari Stev pun mulai pulih dari kesedihan yang terlalu lama itu. Ia mengurungkan niat lamanya yang ingin pergi ke Jayapuran untuk menjadi seorang Wartawan dan kini Stav bersepakat gabung bersama kakanya untuk melawan dengan mengangkat senjata.
Bagi Stev dan teman-teman lebih baik melarat bersama rakyat tertindas dari pada harus sekolah untuk menjadi budak kolonial Indonesia.
Dari camp-camp latihan mereka belajar keras serta disiplin tinggi, ia dan teman-temannya tumbuh dewasa menjadi pejuang yang berani dan gagah. Prinsipnya adalah “Dapat dimana selesai disitu untuk Tanah dan Air” tidak ada senjata, pisau/tangan pun jadi. Hal semacam ini diterapkan dalam medan perang.
Serangkain operasi pun mereka lancarkan. Mereka sudah biasa hidup di hutan bersama dinginya malam serta luasnya rimbah raya Dekai. Berteman dengan alam dan binatang buas serta nyali yang berapi-api tak mampu di padamkan oleh pihak musuh.
Namun, kebersaaman ini pun tak bertahan lama.
Pada bulan Juli 2023 kaka sekaligus Pimpinan mereka itu menutup mata untuk selama-lamanya. Walaupun Stev dan teman-temannya telah berusaha keras untuk menyelamatkan nyawanya namun sang khalik berkata lain.
Dengan hati yang berat dan kesedihan yang mendalam mereka berbaris seakan mau berperang.
Embun pagi dekai menjadi saksi bisu upacara pelepasan Sang guru sekaligus pahlawan itu. Mereka berpegang tangan satu sama lainya dan berjanji akan tetap berjuang hingga titik dara penghabisan.
“1 Bocor pergi namun 1000 Bocor akan bangkit dan melawan.”
Walaupun roh kakaknya yang berani itu telah pergi namun jiwa dan semangat perjungan bersama-sama dengan mereka di medan pertempuran. Setiap kali memenangkan bertempur nama “Bocor Sobolim” selalu menjadi penangungjawab perang untuk mededikasikan seluruh pengorbanan untuk negeri dan tanah Air tercinta West Papua!
Rease and peace!