Oleh: Benyamin Lagowan
Tulisan ini adalah proposisi sikap kritik terbuka kami dari kelompok kontra penempatan kantor pusat pemerintahan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Papua Pegunungan (PPP) di wilayah tanah adat sentral perkebunan, pertanian, pangan lokal dan ekonomi milik aliansi Wio/Mukoko-Wouma, aliansi Welesi dan aliansi Assolokobal di Wamena Kabupaten Jayawijaya. Perlu digarisbawahi bahwa kami yang menjadi pihak atau kelompok kontra, tidak menolak pembangunan. Kami juga bukan kelompok anti pembangunan sebagaimana stigma kelompok pro dan simpatisannya. Kami hanya berkeberatan bila kantor pusat pemerintahan PPP ditempatkan lagi di atas lahan perkebunan warga dan juga dekat dengan pemukiman warga yang bakal mengancam eksistensi kami dimasa depan karena sifat pembangunan yang terus bergerak maju seiring bertambahnya populasi manusia. Sementara kuantitas tanah dan lahan pertanian akan statis dan konstan bahkan mengalami defisit dimasa depan.
Untuk aliansi kami di Wouma sudah jelas terbukti mempunyai kontribusi besar dalam sejarah gerak maju pembangunan kota Wamena sejak era Pemerintahan Belanda hingga Indonesia hari ini. Pusat administrasi Kota Wamena yang menjadi kota sentral Papua Pegunungan Tengah (Wilayah adat Lapago) sekarang berada di atas tanah milik aliansi Wio Mukoko. Oleh karena itu, untuk lahan yang tersisa di Wouma ini oleh masyarakat adat berkeberatan diganggu lagi untuk dijadikan sebagai lahan penempatan kantor pusat pemerintahan DOB PPP. Selain oleh karena masih luasnya opsi penempatan ke wilayah lain di Lapago, alasan utama mereka adalah dimana dan kemana masyarakat adat aliansi Wouma bakal berkebun, bertani dll? Sementara sebagaimana diakui dunia bahwa soal skill dan kecakapan bertani masyarakat Lembah Balim adalah yang tercanggih di dunia bahkan mengalahkan metode pertanian masyarakat Eropa. Akan kemana bila tanah sisa itu juga direbut pemerintah, investor dan pihak swasta untuk kepentingan pembangunan nasional tanpa pandang eksistensi masyarakat adat. Kami menganggap bahwa pemerintah berniat membunuh rakyat sendiri.
**
Tak terasa, polemik atas wacana itu sudah memasuki satu tahun lebih tanpa menunjukkan adanya tanda-tanda titik terang. Oknum pejabat pemerintah tertentu yang menggunakan tangan segelintir masyarakat pro dan tokoh-tokoh masyarakat adat beserta oknum kepala suku karbitan tertentu masih terus berkonfrontasi baik di lapangan maupun media sosial juga media massa dengan kami, pihak kontra. Akan bagaimana akhir dari polemik ini? Apakah masyarakat adat yang mempertahankan warisan leluhur mereka atas ruang hidup mereka yang menang ataukah pemerintah dan elit lokal bersama para pengusaha rakus yang sedang dilanda sindroma udik pembangunanisme dan proyeknisasi yang bakal menang? Kita akan lihat diakhir dari perang media dan perang saraf ini atau yang lebih tepatnya perang negara vs rakyatnya sendiri ini.
**
Di waktu-waktu yang lalu, beberapa kali kami telah diminta untuk membahas masalah ini secara formal melalui zoom meeting maupun Youtube oleh beberapa pihak, baik perusahaan situs berita, yayasan, lembaga, LSM maupun pribadi-pribadi yang baik hati, namun hal itu belum bisa terjadi karena banyak alasan. Oleh karena itu, selain melalui kajian yg sudah disiapkan oleh tim kecil kami, kami berupaya menulis surat kritik ini untuk publik agar bisa membaca dan memahami mengapa perjuangan penolakan, tetap kami lakukan dari awal hingga hari ini secara konsisten dan berkesinambungan bahkan bila diperlukan akan kami dorong hingga melalui jalur konstitusi: hukum positif.
Jalan Tanpa Ada Kajian
Sampai dengan detik ini kami pihak pro belum mendengar adanya kajian atau makalah dari pihak kelompok pro seperti Ismail Asso, Ponto Yelipele, Ismail Wetapo dari Welesi bahkan juga dari jaringan mereka- kelompok pro di Wouma mengenai dampak positif maupun negatif dari upaya sepihak dan paksa mereka membawa masuk penempatan kantor pusat pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan di wilayah tanah adat masyarakat aliansi Wio Mukoko di Wouma dan Welesi serta Assolokobal. Demikian juga, kami belum mendapatkan data dan informasi mengenai kesiapan masyarakat di tiga distrik atau aliansi dalam aspek sumber daya manusia (SDM), juga kesiapan bidang pendukung lainnya. Sehingga ketika kantor pusat pemerintahan tsb hadir, masyarakat adat ketiga aliansi distrik tidak tersingkir dari tanah air yang merupakan warisan turun temurun moyang leluhurnya ini.
Dalam banyak perdebatan yang kami hadapi di berbagai ruang media sosial, dalam waktu dan kesempatan yang lalu-lalu, tidak ada pertentangan gagasan atau argumentasi yang lebih sehat selain menyerang hal-hal subjektif antar kami. Misalnya yang baru saja kami alami di group pdt Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA semalam yang berakhir ust. Ismail Asso dikeluarkan dari group tersebut. Ismail Asso masih menyerang privasi penulis dengan mengabaikan konteks atau substansi pembahasan. Lagi-lagi ust. ini melakukan kesalahan fatal logica ad hominem. Dari dulu sampai kemarin. Belum berubah juga.
Rupanya perlu diketahui oleh publik bahwa upaya menyerang pribadi yang dilakukan tsb telah banyak kali dilakukan diberbagai kesempatan di beberapa group WhatsApp. Misalnya di Group Spirit Of Jayawijaya, Wamena Empowerment dan juga group Papua Pegunungan. Narasi kelompok Ustad ini lebih defensif tetapi tidak objektif malah berupaya menyerang individu lawan bicaranya. Itu terlihat jelas dalam beberapa kali kesempatan saat kawan-kawan dari suku Lanny, Yali bahkan Mee memberikan masukan mengenai polemik penempatan kantor Gubernur yang mana sering dibatasi langsung oleh Ust. Ismail dengan menyatakan, kalau bukan orang Welesi atau Wouma tidak usah bicara. Demikian juga ketika yang berbicara, memberi masukan dan gagasan adalah dari sesama orang Welesi atau Wouma, maka yang disinggung ustad Ismail adalah: anda bukan orang asli, anak kecil, kepala batu, tidak tahu budaya, orang pendatang dll dsb. Hampir semua tanggapan tidak sesuai inti substansi topik pembahasan dalam group yang kurang lebih membahas soal pertimbangan, masukan, saran, analisa dampak negatif dll.
Lebih parahnya Ust. Ismail Asso dkk dalam suatu kesempatan pertemuan di kantor sementara Gubernur Papua Pegunungan sekitar tanggal 23 Juni, tampak membatasi semua orang yang hadir agar tidak boleh membahas soal dampak atau sedikit memberi sedikit pencerahan. Mereka seolah menekan dan membatasi agar masyarakat dan tiap lawan bicara mereka dari kelompok kontra tidak bicara mengenai dampak negatif atau lainnya. Tetapi hanya boleh membahas masalah perbedaan pandangan di internal keluarga saja tentang kenapa tidak setuju dan langsung harus bergabung dengan kebanyakan mereka yang sepakat tanpa mengorek dampak-dampak negatif di masa depan atau konsensus-konsensus semu yang sudah mereka rekayasa demi memuluskan tujuan picik ambisius mereka.
Menarik mengamati tingkah Ismail Asso dkk ini. Ada sikap kontradiktif yang nampaknya terlihat. Diberbagai plaform media sosialnya,Ismail Asso banyak menulis esai, artikel atau opini tentang kebijaksanaan, filsafat, kebudayaan, agama dan sosial politik. Banyak tulisannya yang dituangkan menyuguhkan aneka sudut pandang analisa kritis dengan gaya bahasa yang menarik dan tertata rapi. Banyak pembaca memang terpikat dengan kemampuam bernarasi indah dan bagusnya. Kecuali saya, karena saya meragukan eksistensi orang ini. Namun tidak disangka dalam kasus penempatan kantor Gubernur di Welesi dan Wouma ini, Ismail Asso dkk yang cerdas tidak terlihat kecerdasannya dituangkan dalam kajian ilmiah dampak kehadiran pusat pemerintahan Provinsi) Papua Pegunungan terhadap eksistensi masyarakat adat. Yang ada malah terlihat kedunguannya. Sekali lagi kedunguan yang lebih ditonjolkan melalui debat kusir dan penuh kedangkalan logikanya.
Berikut ini adalah fakta-fakta ketidakmampuan Ust. Ismail Asso dkk menunjukkan kapasitas intelektualnya kepada publik ketika bersikeras dan membabi buta hendak membawa masuk kantor pusat Pemerintahan Papua Pegunungan di wilayah adat masyarakat Wouma dan Welesi.
Tidak Memiliki Data Kesiapan SDM OAP Welesi dan Wouma
Ismail Asso ddk tidak memiliki basis data mengenai kesiapan SDM di ketiga aliansi yang dapat dijadikan sebagai modal dalam mengisi berbagai posisi struktural maupun fungsional pasca ditempatkannya kantor pusat pemerintahan dll di atas tanah adat ketiga aliansi sub suku tsb. Berapa lulusan SMA sederajat, S1, S2, S3, dokter, paramedis, IT, komputer, statisik, ahli pemerintahan, sosial, antropolog, hukum dll dsb. Mereka juga gagal menyiapkan berbagai SDM untuk mengisi jabatan-jabatan struktural di Provinsi. Mereka tidak punya data berapa SDM ASN eselon 4, 3, 2 dari ketiga aliansi karena hal2 itu tidak pernah dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya sebelum membawa datang kantor² pusat pemerintahan provinsi itu. Mereka bekerja asal-asalan yang penting barang jadi. Seolah yang penting sang bos mereka senang. Mereka dapat paket proyek. Masyarakat diberikan Wam sekali-dua kali. Kepala-kepala suku karbitan yang telah dijebak diberikan uang dan babi sekali dua kali. Semua aman. Masyarakat mau sejahtera atau tidak, itu urusan belakang. Kurang lebih demikian prinsipnya.
Tidak Memiliki Data Berapa Banyak Masyarakat Adat (Petani) Yang Bakal Terdampak dan Solusinya
Kedunguan terbesar selanjutnya adalah kelompok Ismail Asso dkk tidak memiliki data apapun mengenai estimasi total masyarakat adat (petani) yang bakal kehilangan mata pencahariannya bila penempatan pusat kantor pemerintahan diletakan di ketiga wilayah perbatasan tsb. Fakta di lapangan menunjukkan hampir ratusan orang petani sedang menggantungkan harapan hidup mereka dari hasil olah tanah di sepanjang Wouma Tengah hingga Jagara. Belum bila dampaknya di masa depan menyasar lahan di Wouma Bawah. Sudah pasti akan melenyapkan sub suku Wio di Wouma.
Dampak terhadap kaum petani ini akan sangat berimbas terhadap berbagai sektor. Misalnya hilangnya ketahanan pangan lokal, matinya budaya ternak babi, matinya karakter pekerja keras, hilangnya peradaban manusia Balim sebagai petani tulen. Beralihnya profesi dari petani menjadi perampok, pengamen, miskin kota, pengangguran dll. Terlalu banyak dampak negatif kedepan terhadap masyarakat adat bila penempatan pusat pemerintahan itu terjadi. Dan anehnya Ismail Asso dkk tidak memiliki basis data kajian soal ini.
Terlihat diberbagai kesempatan ketika dihadiri kelompok pro, orang-orang yang berupaya memberikan masukan dan pertimbangan soal dampak masa depan selalu dibatasi. Hal tersebut banyak dikeluhkan oleh pihak di Welesi, Assolokobal maupun Wouma. Bahkan dari internal kelompok pro mereka sendiri. Jadi ada semacam upaya paksa dan ngotot secara membabi buta membawa masuk kantor pusat pemerintahan Papua Pegunungan tanpa memikirkan ihkwal persiapan SDM lokal dan dampak negatif-positif atasnya terhadap eksistensi masyarakat adat. Mereka seolah ingin bawa masuk secara harga mati, membabi buta dan tanpa pikir panjang.
Bersambung
)* Benyamin Lagowan adalah Aktivis, Intelektual sekaligus salah satu pemilik Tanah Adat di Wouma