Oleh; Tonny Tokan
Bila kutulis jatuh cinta itu dalam-dalam seperti puisi, maka ketahuilah, disanalah penderitaan bersemayam, mengalahkan segala tragedi berdarah pada beban setiap anak manusia.
Setelah waktu, kicau cicak, bunyi jangkrik dan aroma tanah selepas hujan. Setelah buket bunga yang tak sempat engkau rabah, setelah malam yang berisi segala hal-hal palsu, dan setelah semua itu, dapatkah kita mendorong pertanyaan itu tiba pada puncaknya?
Orang-orang datang dan pergi membicarakan Gabo dan Picasso. Para perempuan muda dengan rambut dicat berwarna kuning tua, melentikan jarinya hingga membuat abu rokok itu terpisah dari batangnya. Kemudian ia berkata, “Lihat lelaki itu. Tubuhnya kurus sekali!”
Tetapi sebagai seorang lelaki pekerja yang senantiasa bangun lebih pagi dari seekor ayam jantan, atau tidur lebih awal sebelum waktu menunjukan angka 20, dapatkah dengan mudah mengajukan pertanyaan pada seorang perempuan muda seperti mu; “Seperti apa warna cinta”
Kemudian inilah usia sia-sia itu. Tertumpuk di dalam saku jaket tua atau mantel bekas penangkal hujan. Usia-usia itu bahkan tidak cukup untuk mengungkapkan satu pertanyaan penting yang tertanam jauh di dasar hati seorang lelaki.
Usia tua
Usia tua telah membawaku ke tepi lorong yang telah diubah oleh perang dan kenangan akan orang-orang mati. Kusaksikan seorang perempuan tua menarik dalam-dalam rokok nya hingga asap dibiarkan menghablur menutupi cahaya senja yang memerah. Kusaksikan pada seberang peristiwa yang lain, seorang gadis muda memeluk air mata di satu sisi dan membiarkan angin menjilati punggungnya seolah sedang menghibur.
Kusaksikan usia manusia dan masa tuaku. Kusaksikan hidupku telah tiba pada sebuah penantian perihal satu pertanyaan sederhana yang terselubung dan membeku di sana; dapatkah aku tak akan pernah mencintaimu? Dan setelah semua itu, aku padam.
𝐉𝐚𝐤𝐚𝐫𝐭𝐚, 𝟐𝟎𝟐𝟐