Oleh: Tonny Tokan
Ia berdiri di ujung gang dengan pandangan kosong ke arah dimana tak ada satupun kendaraan berseliweran di sana. Ini satu-satunya gang di kota ini yang tak pernah ingin ia lalui lagi. Terakhir kali ia melewati gang ini adalah dua tahun silam, hari dimana ia dan lelaki yang telah mengorbankan seluruh waktu mereka hanya untuk saling mencintai.
Pada masa-masa bahagia yang nyaris tak pernah luput sedikitpun dari dalam otak kecil itu, ia bahkan tak pernah menghitung kapan waktu benar-benar berlalu, atau kapan terakhir kali ia tidur tanpa pelukan. Ia selalu mendapatkan itu dari lelakinya, kekasih yang telah menunjukan minat serius untuk menikah dengannya. Bersama keyakinan yang tak dapat ia tolak, dengan gairah yang sama, mereka memutuskan berciuman, berpelukan, tidur bersama hingga mencoba berbagai gaya bercinta yang tak biasa: memagut alat kelamin satu sama lain hingga menirukan berbagai gaya ringan sampai ektrim yang mereka temukan dalam film-film porno.
Itu adalah pertama kalinya ia merasa dicintai sebagai seorang perempuan. Ia merasa seluruh dirinya telah menjadi bagian dari lelaki itu, dan telah menjadi satu-satunya alasan ia akan terus hidup tanpa menikah atau memiliki anak sebelum mereka benar-benar resmi menikah. Alasan dari cinta sembunyi-sembunyi dari restu orang tua membuat lelaki itu tak pernah begitu nekat membuahi perempuan itu sebelum mereka menyelesaikan masa sekolah. Meski kelihatan ia begitu berani untuk menidurinya, tetapi ia tahu betul bahwa ia begitu pengecut untuk menumpahkan setetes saja cairan ke liang tempat anak-anak mereka akan keluar dari sana dan mewarisi utang Negara. Lain kali mereka sama-sama memahami bahwa alasan paling logis dari hubungan mereka adalah mengisi ingatan satu sama lain.
Ia melangkah menyusuri gang yang tak ingin ia lalui tadi. Sebuah ingatan melompat keluar dari benaknya: “Masa bahagia tak pernah abadi, penderitaan akan segera datang.” Potongan kalimat itu ia dengar beberapa tahun silam dari seorang teman kampus jurusan psikologi. Meski pada awalnya ia anggap itu sepele, tapi itu adalah satu-satunya pesan yang paling menghantuinya setelah lelaki itu tak pernah benar-benar bersama dengannya.
Awal dari seluruh penderitaan itu tergambar jelas ketika lelaki itu mengatakan dengan jujur padanya: “Kau tak pernah benar-benar ada saat kita bercinta. Aku selalu melibatkan orang lain di sana.” Ungkap lelaki itu. “Inilah kejujuran yang tak pernah ingin aku katakan padamu.”
Kejujuran itu membuat ia mengerti mengapa lelaki itu tak pernah mau membicarakan apapun sehabis bercinta. Kejujuran itu membuat ia memahami bahwa mereka tak pernah berdua. Mereka selalu bertiga. Dan orang ketika itu adalah seorang perempuan yang telah lama mati.
Yogyakarta, 2023
Sumber gambar: Instagram/Raffaele_Mariaetti