Pimpinan MSG Dihimpit Pilihan Yang Berat
De pu bahasa kunci itu “Pemimpin-pemimpin Melanesia sudah kasih saran strategis.” Artinya, saran itu harus diperhatikan, dipenuhi dan dijadikan rujukan, yang menentukan Papua Merdeka itu bukan MSG, tapi perjuangan rakyat Papua itu sendiri. Para pemimpin MSG itu tidak nao-nao, orang Papua sendiri yang harus refleksi diri kedalam, tidak menghargai perjuangannya sendiri, berkelahi satu dengan yang lain untuk alasan yang bukan ideologis.
Bolehlah diplomasi Indonesia dengan duit (duga-duga dan bisa ia, bisa tidak), tapi bahwa Pemimpin ULMWP mestinya tidak memberikan cela sedikitpun agar tidak ada alasan pemimpin MSG menolak keanggotaan penuh ULMWP.
Misalnya “Aspek Kedaulatan”
Ketika ULMWP menyatakan dirinya sebagai Pemerintahan Sementara, dianggap merupakan sebuah negara berdaulat, dan dari ruang ini, negara² di Melanesia tidak memiliki kapasitas mengintervensi, karena soal kedaulatan sebuah negara, tidak bisa diintervensi oleh negara manapun, sekalipun PBB. Negara melanesia tidak berani mengambil resiko apalagi Indonesia selalu masuk dalam berbagai kepentingan untuk menghambat Papua di Melanesia. Konsekuensi jika dipaksakan adalah Embargo, dan Pemerintah kawasan hitung semua secara matang- matang untuk menyelamatkan negaranya masing- masing.
Terhadap hal Embargo dan Kedaulatan tersebut, itu memberikan dampak yang besar. Ini bukan soal keinginan dukung dan tidak dukung semata. Tapi berdampak luas. Dan itu juga bisa berhaya terhadap kehidupan warga negara masing- masing negara anggota MSG.
Karenanya, Para pemimpin ULMWP harus punya pandangan global.
Ini juga bukan sebatas berani ambil resiko untuk Papua, tapi nasib warga negaranya juga harus diperhitungkan dengan baik dan seksama.
Pada ruang Kedaulatan tersebut, mestinya tidak dimunculkan, tapi lebih pada front perjuangan, agar mempermuda keanggotaan. Dan pada rana itu, Indonesia juga akan kesulitan.
Misalnya, jika semangat lahirnya MSG adalah untuk menyelamatkan rakyat melanesia, mengusir penjajahan, menempatkan rakyat melanesia sama dengan manusia lain di luar kawasan melanesia, tentu harus diperhitungkan baik.
Jika didasarkan pada tujuan adanya MSG seperti demikian, konsekuensi yang bisa dilakukan adalah mendorong Papua jadi anggota penuh walau harus hilang kerja sama dengan Indonesia. Namun jika ruangnya adalah kedaulatan yang bisa lahirkan Embargo, walau mereka sadar penyelamatan melanesia tapi keselamatan warga negaranya yang diutamakan sehingga, dukungannya bisa dihentikan.
Pada ruang ini, mestinya perjuang Papua harus merefleksikan diri dengan baik. Melakukan evaluasi gerakan seutuhnya.
Dalam situasi dan peristiwa seperti ini, kita tidak bisa menyalahkan MSG, kita harus berani mengkritisi internal kita.
Jangan beri ruang, apalagi kita dari awal sudah diberikan Saran Strategis. Kesalahan terbesar kita karena kita tidak pernah punya ruang Dialektika.
Kita harus berani berdebat dan mengkritisi setiap ide atau gagasan sampai benar² matang baro kita keluar.
Jadi, baiknya ULMWP benahi diri. Kembali ke wadah Kordinatif kemudian dipimpin oleh seorang sekjen yang bisa berdialektika, bisa berdemokrasi, bisa mendengarkan berbagai pandangan, bisa berargumen/berdebat.
Struktur ULMWP Harus Diperbaiki Dengan Baik Dan Benar
Kalau mau bentuk struktur negara, itu ada waktunya. Sebenarnya bisa kalau pakai rujukan 1 Desember 1961, ada argumen hukumnya sendiri, tapi itu butuh waktu dengan bangun pemhaman.
Fokus saja dengan ULMWP dan dikembalikan pada fungsi dan tugas sebenarnya biar tidak menghambat keanghotaan kedepannya.
Sekarang, kita punya waktu 1 tahun kedepan. Harus dimanfaatkan baik². Kemudian, kita masih tetap bersyukur karena ketika aspek kedaulatan jadi masalah, negara² kawasan masih fokus bicara Ham.
Dengan bicara Ham Papua, sesungguhnya mereka memberikan gambaran bahwa mereka masih ada untuk Papua karena martabat melanesia.
Sekarang bagimana Papua dan para pemimpin ULMWP. Masih mau Ego, masih mau jadi Presiden sebelum Merdeka atau adanya negara?
Ingat, negara itu ada hanya ketika negara penjajah mengakui kemerdekaan dan didaftarkan sah di PBB. (*)