Jayapura, nirmeke.com — Bencana kelaparan terjadi di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, yang memakan korban jiwa enam warga. Sedikitnya 7.500 orang terdampak terkait petaka tersebut. Kejadian ini dipicu kekeringan selama dua bulan terakhir akibat cuaca ekstrem. Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi menjadi lokasi paling terdampak. Kekeringan yang disertai suhu dingin ekstrem, memicu berbagai tanaman warga mengalami gagal panen. Akibatnya, bencana kelaparan timbul atas tipisnya ketersediaan pangan masyarakat.
Kendati demikian, insiden kelaparan hingga merenggut nyawa di Papua bukan kali ini saja terjadi. Hal ini mengundang pertanyaan soal keseriusan dalam mitigasi bencana kelaparan di Tanah Mutiara Hitam.
Greenpeace Indonesia, mencatat setidaknya ada 15 kasus kelaparan yang terjadi tanah Papua sejak 1982, dari Jayawijaya hingga terkini insiden di Kabupaten Puncak.
Sebab belum lama ini –pada Agustus 2022– bencana kelaparan juga terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Diketahui sedikitnya tiga orang meninggal dunia, satu orang kritis, sementara sekitar 500 orang kelaparan pada kejadian ini. Tercatat juga kejadian kelaparan yang kala itu ramai menjadi sorotan pada Desember 2005 di Yahukimo. Kelaparan terjadi di 7 distrik dan 10 pos pemerintahan yang menyebabkan 55 orang meninggal dan 112 orang sakit parah. Sekitar 55.000 penduduk di 7 distrik tersebut kehabisan makanan. Kejadian serupa terjadi Kabupaten Puncak Jaya, medio Desember 2005 – Februari 2006. Kondisi kesehatan yang buruk disertai penurunan suhu ekstrem menyebabkan 15 orang meninggal.

Tidak bisa dilupakan pula Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat yang merenggut nyawa 72 anak pada 2018. Bila ingin ditarik lebih jauh lagi, bencana kelaparan di tanah Papua juga tercatat pada 1982 di Jayawijaya. Kala itu, dilaporkan korban meninggal mencapai 112 orang. Sementara itu, 367 orang mendapat perawatan, dan 3.000 orang lainnya kekurangan gizi.
Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Peuki mendorong pemerintah segera menangani krisis pangan di Papua dengan membantu penyediaan koperasi pangan lokal. Jika pemerintah tidak segera menyediakan solusi cepat, Maikel khawatir tragedi kelaparan bakal terus berulang.

“Mestinya, Presiden (Jokowi) sudah mengantisipasi soal dampak yang terjadi pada masyarakat adat Papua yang berada di lokasi rawan kekeringan ini,” ujar Maikel di kutip dari media Tirto.
Maikel juga menilai perlu ada penguatan sumber pangan dari daerah lain untuk menjadi cadangan pangan lokal, bagi masyarakat adat Papua yang tinggal di wilayah rawan kekeringan.
“Karena masyarakat adat Papua yang berada di wilayah rawan kekeringan ini, mereka kebiasaannya berkebun, menanam, panen untuk mereka konsumsi sendiri, artinya hidup masyarakat adat Papua ini masih tergantung sama ketersediaan pangan lokal,” sambung Maikel.
Untuk diketahui, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, A Fachri Radjab telah menyampaikan, cuaca ekstrem imbas fenomena El Nino tahun ini akan berdampak pada sejumlah wilayah. Fenomena itu telah mengakibatkan kemarau di 63 persen wilayah Indonesia, termasuk Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. (*)