Oleh: Ambrosius Mulait
Tragedi Biak Berdarah, 6 Juli 1998, merupakan tragedi kemanusiaan yang mengorbankan banyak orang dan menyisakan penderitaan di hati Orang Papua. Peristiwa bermula dari aksi damai dihadiri 500 – 1.000 peserta. Aksi protes merupakan bentuk resistensi bangsa Papua terhadap sejarah integrasi Papua kedalam Indonesia melalui Pepera yang dianggap tidak demokratis dan catat hukum.
Aksi damai direspon dengan penembakan secara brutal oleh aparatus negara mengakibatkan ribuan peserta aksi menjadi korban. Dari Hasil investigasi Elsham Papua berjudul “Papua Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara”, menyebutkan tragedi Biak Berdarah tercatat 230 korban, diantaranya;
8 orang meninggal,
3 orang hilang;
4 korban luka berat
33 orang ditahan sewenang-wenang
150 orang mengalami penyiksaan
32 mayat ditemukan di perairan Laut Biak
Setelah Bunuh Orang Papua Jadi Pahlawan Negara
Jenderal (purn.) Wirantomantan Panglima ABRI pada era Orde Baru diduga ikut terlibat dalam peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998 serta peristiwa Biak berdarah.
Dan nama Wiranto disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit.
Walaupun Wiranto memiliki masa lalu yang kelam atas kejahatan kemanusia, sejak 2016 Jokowi melantik sebagai Menkopolhukam, cara ini negara turut memperpanjang impunitas.
Jalan Panjang Mencari Keadilan
Kasus Biak Berdarah 1998 berusia 25 tahun negara terus abaikan, justru pemerintahan Jokowi tidak serius memproses Pelaku kejahatan, hingga saat ini sama sekali tidak nampak adanya kemauan politik pemerintah, termasuk pemerintahan Presiden Jokowi, untuk menyelesaikan kasus Biak Berdarah.
Justru Para penguasa di Negara Indonesia ikut memelihara impunitas (pihak yang melakukan kejahatan tidak bisa dihukum) dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.
Proses penyelesaian kasus biak berdarah masih menyimpan dibenak korban mama Tineke dalam cerita “Saya dipukul popor senjata. Tangan saya diiris sangkur. Mereka yang sudah dibunuh diangkut menggunakan truk sejak pagi hingga malam. Entah dibawa ke mana.”
“Kami sudah tidak mau lagi berbicara tentang penyelesaian, atau musyawarah atau ganti rugi karena kami tahu bahwa sudah banyak sekali korban-korban pelanggaran HAM di Papua dan negara pasti tidak akan meminta maaf kepada kami,” ujarnya.
Selain itu korban maupun saksi Almarhum, Filep Karma “tidak akan berharap pada negara untuk penuntasan tragedi kemanusiaan yang terjadi di bawah Menara Air, Kota Biak, Kabupaten Biak Numfor, Papua, pada 6 Juli 1998.
Korban secara jelas menjeskan apa yang dilakukan oleh negara dalam tragedy biak berdarah dengan pembubaran paksa oleh aparat keamanan itu menyebabkan jatuhnya korban jiwa, korban luka, korban cacat seumur hidup, dan trauma berkepanjangan.
Rekomendasi Deklarasi (Desember 2017) “Menagih Janji Negara Untuk Menuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua”.
- Mendesak Komnas HAM agar segera membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan kasus Biak Berdarah.
- Laksanakan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili kasus Pelanggaran HAM Biak Berdarah
- Memberikan keadilan dan pemulihan bagi korban Biak Berdarah
- Selesaikan Semua Pelanggaran HAM Di Papua
- Memberikan Hak Menentukan Nasip Sendiri Bangi Bangsa West Papua Sebagai Solusi Demokratis.
)* Sekjen AMPTPI