Oleh: Weren Talia
Yanuarius Lagowan, atau saya biasa menyapanya Kaka Yan atau sering juga Pace Yan, adalah seorang pemuda Pegunungan Tengah, Papua. Sejak remaja, ia telah merantau ke Sulawesi Utara sebagai pelajar di SMA Katolik Rex Mundi Manado. Tamat dari SMA, ia lanjut belajar pada Jurusan Kimia, Universitas Negeri Manado di Tondano-Minahasa pada tahun 2005.
Saat mahasiswa, Yan aktif dalam berbagai organisasi. Ia mendapat berbagai pengalaman dan tentu saja mengasah pemikirannya menjadi semakin kritis. Hal ini kemudian membentuk cara pandangnya terhadap bangsanya sendiri, bangsa Papua.
Sebagai anak muda, ia tentu resah pada nasib bangsanya. Ia menyaksikan berbagai pelanggaran kemanusiaan yang terjadi dengan mata dan hatinya sendiri. Melalui organisasi, ia membangun gerakan bersama orang-orang muda Papua baik di Sulawesi Utara hingga di seluruh Indonesia.
Sikap Yan soal kemanusiaan sangat jelas. Ia menggugat berbagai pelanggaran kemanusiaaan dengan cara-cara tanpa kekerasan. Ia berkali-kali ikut dalam aksi damai menuntut keadilan. Seperti yang pernah diakuinya, tindakan-tindakan intimidatif dan diskriminatif dari pihak aparat maupun warga sipil lainnya sudah sering ia rasakan.
Berbagai aksi di jalanan nampaknya tidak membuat Yan merasa puas. Ia mungkin merasa itu tidak pernah cukup. Di lapangan, kekerasan fisik, psikis maupun budaya terus terjadi, sementara para elit Papua sendiri hidup berfoya-foya dan banyak yang tidak peduli.
Dalam beberapa kali diskusi, kami sepakat bahwa perubahan secara instan tidak mungkin terjadi. Generasi Papua hari ini mungkin belum bisa mencapai tujuan kesejahteraan bangsanya. Sejahtera berarti makmur, aman, nyaman, dan tentu saja hidup berdampingan dengan ibu bumi. Untuk itu, harapan pada pencapaian tujuan itu harus diletakkan pada dan dimulai dari anak-anak kecil Papua.
Beberapa waktu kemudian, ia menghilang selama berbulan-bulan. Saya dengar, ia sedang pulang ke Papua.
Saat kembali ke Sulawesi, ia dengan antusias menceritakan pengalaman aksinya di Papua beberapa bulan belakangan. Di sana, ia menontonkan film dokumenter tentang persoalan-persoalan di tanah Papua kepada anak-anak sekolah yang merupakan penentu masa depan Papua. Bahkan, ia membuat film dokumneternya sendiri. Ia berharap, anak-anak itu akan membawa harapan perubahan bagi bangsanya kelak.
Yan memang suka pada kamera. Ia bahkan pernah mengikuti pelatihan pembuatan film dokumenter yang disponsori oleh lembaga JPIC (Justice Peace and Integrity of Creation). JPIC sendiri adalah lembaga di bawah naungan konggregasi-konggregasi Gereja Katolik yang bergerak di bidang advokasi kemanusiaan dan lingkungan hidup.
Salah satu isu yang paling meresahkan Yan pada saat-saat itu adalah penjualan tanah oleh orang Papua sendiri. Menurutnya, menjual tanah sama dengan mengorbankan masa depan anak cucu. Lebih-lebih, tanah itu dijual pada perusahan-perusahan besar yang pengoperasiannya justru merusak alam Papua dengan dampak-dampaknya yang merugikan masyarakat.
Di Sulawesi Utara, ia tidak pernah berhenti bergerak. Ia terus membangun organisasi dengan mahasiswa Papua di sana. Kehidupan kampus dengan rumus-rumus Kimia-nya sudah lama ia tinggalkan; tanpa selesai. Kabar terakhir, ia sempat pindah kampus ke Tomohon. Kehidupan romantis khas anak muda yang mabuk cinta tak nampak dari tindak-tanduknya. Cintanya utuh diabdikan pada cita-cita kemanusiaan pada orang Papua.
Pada tahun 2016, Yan ikut aktif dalam lembaga Kopkedat (Komunitas Peduli Kemanusiaan Daerah Terpencil) di Papua. Kopkedat adalah sebuah komunitas anak-anak muda Papua yang bergerak dalam upaya meningkatkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat terpencil, termasuk kesehatan dan pendidikan.
Bersama mahasiswa dan pemuda Papua, Yan tidak pernah berhenti bersikap dan berjuang. Ia tegas menolak rencana pemekaran DOB (Daerah Otonomi Baru) di Papua yang ramai di bahas beberapa tahun terakhir. Menurutnya, DOB hanyalah jalan untuk memperluas perusakan alam Papua.
Hingga tahun 2020, Yan masih aktif sebagai Sekretaris Jendral Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia.
Pada Juni 2022, Yan mengirim pesan untuk sekedar bertanya kabar. Tidak ada lagi kabar setelahnya. Setahun kemudian, tepatnya hari ini (3 Juli 2023), saya membaca ucapan belasungkawa di grup WA. Intinya, Pace Yan sudah pergi. Ia pergi untuk selamanya sambil membawa cita-cita kemanusiaan dan segala jerih payahnya.
Di pintu surga, Yan mengetuk. Tahu Yan sudah datang, Tuhan segera mengucap salam: Wa…Wa…Wa!
Tuhan membuka pintu, mereka saling senyum lalu melakukan salam Kaonak, sebelum mereka merayakan perjamuan surgawi.
Beristirahatlah dalam damai, Nayak!
Bolitan, 3 Juli 2023