Oleh: Sepi Wanimbo
Nilai – nilai budaya sebagai indentitas bagi orang asli Papua memang benar – benar sudah di lumpuhkan dan dicabut dari akar – akarnya atas dampak dari kebijakan pemerintah Indonesia yang sentralistik dengan budaya Jawa. Ada benturan budaya antara budaya Melayu dan budaya Papua. Budaya Papua yang di warisi oleh orang Papua dipandang lebih rendah dan manusia juga dipandang rendah. Papua diindentikan dengan “Koteka” baju tradisional penduduk pendalaman bagi kaum pria. Budaya Papua dianggap primitif yang harus dibarui atau di – Indonesiakan.
Pendeta Phil Karel Erari berpendapat bahwa pendekatan pembangunan, a.1. Yang meliputi kebijakan sistem hukum dan pemerintahan serta pendidikan yang diberlakukan dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi di tanah Papua praktis merupakan fotokopi dari seluruh perangkat kebijakan pembangunan di Jawa dan Provinsi lainnya di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, seluruh kurikulum dan buku – buku panduan ditetapkan tanpa memperdulikan konteks budaya dan latar belakang sejarah yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia. Anak – anak peserta didik di Papua “dicetak” sesuai format yang berlaku umum di Indonesia, tanpa peduli bahwa ada nilai – nilai budaya, seperti bahasa lokal, “nama adat atau nama tanah” yang harus dihormati. Semua bentuk bangunan gedung sekolah disamaratakan seperti di pulau Jawa tanpa mempertimbangkan kondisi dan suku daerah di Tanah Papua.
Seperti Ruben Benyamin Gwijangge memberikan contoh nyata. Ada pelajaran yang diajarkan di sekolah – sekolah di seluruh tanah Papua seperti: “Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi, Ini Kaka Budi, Wati Kaka Budi, Budi Pergi Ke Sawah, dan juga ada jalan Yos Sudarso, jalan Dr. Sam Ratulangi, Jalan Pattimura, Jalan Ahmad Yanni, Jalan Tamrin, Jalan, Gunung Trikora, Stadion Mandala. Ini semua menurut Ruben adalah palsu dan itu dilaksanakan Negara dalam rangka menghancurkan, menghilangkan, dan memusnahkan semua yang dimiliki Penduduk Asli Papua”. ( Gwijangge: 2012, hal. 36 ).
Erari menyoroti pula pola pendekatan di atas telah menghasilkan suatu generasi bangsa yang orientasi berpikir yang dikuasai oleh simbol – simbol yang terdapat terutama di Jawa. Simbol – simbol seperti kereta api, sawah, sebagai bagian dari infrastruktur masyarakat kota dan desa di Jawa lebih dikenal oleh anak – anak suku – suku pendalaman dan pesisir Pantai di Papua, dari pada hutan, sagu, dan perahu sebagai bahan makanan pokok dan sarana transportasi di Papua. Akibatnya generasi muda Papua terbentuk dengan wawasan Jawa sentris.
Erari juga mengkritik kebijakan pembangunan dalam bidang pemerintahan dan hukum, mengikuti garis yang sama, di mana struktur pemerintahan pada unit terkecil seperti RT, RW, kepala kampung sampai tingkat lurah, camat dan bupati yang terdapat di Jawa, merupakan struktur pemerintahan, termasuk nama – nama asing seperti itu dan struktur pemerintahannya, tidak mencerminkan karakter pemerintahan ada yang sudah lama dikenal di Papua. Dalam bidang bidang penegakan hukum atau Iaw Inforcement, penghargaan atas hukum adat, seluruh perangkat hukum positif nasional dipakai untuk memproses semua perkara perdata dan pidana. Sampai pada upacara perkawinan pun, tidak diberi ruang yang positif kepada upacara perkawinan secara adat di Papua.( Erari: hal. 155 – 157 ).
George Junus Aditjonfro mengemukakan: “Pada penjajah tidak bisah lagi meniadakan penduduk jajahannya secara fisik, dia kemudian mengeliminir mereka secara budaya ( kultural), dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau dengan dalih bahwa kebudayaan mereka lebih rendah. Jadi, mitos tentang koteka, Zaman Batu dan lain – lain itu, memang sengaja dipupuk karena mendukung cara berpikir penguasa” ( Cahaya Bintang Kejora: 2000: hal. 197 ).
Pemerintah Indonesia pernah menghancurkan dan membunuh gerakan kebangkitan indentitas, jati diri dan nilai – nilai budaya dari berbagai suku bangsa Papua adalah Mambesak ( dalam bahasa Biak Numfor berarti burung Cenderawasih/burung kuning ) yang dipimpin oleh antropolog dan budayawan kawanan Papua Arnold Clemen Ap. Ap bersama – sama kawan – kawannya seperti: Sam Kapissa, Demyanus Wariap Kurni, Edy Mofu, Marthiny Md. Sawaki, Thonny W. Krenek, Jopie Jouwe mendirikan Mambesak pada 15 Agustus 1978.
Ngurah mengambarkan: “Kembangkitan indentitas budaya Papua melalui kesenian inilah yang di curigakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai benih – benih separatisme Papua. Aparat keamanan saat itu, Koppasandha ( kini : Kopassus ) mencurigakan gerakan kebudayaan Arnold Ap dan Mambesak adalah benih laten “nasionalisme Papua” dalam “bungkus kultural”. Arnold Ap akhirnya ditembak di Pantai Pasir Edam (Base G), sebelah timur kota Jayapura pada tanggal 26 April 1984,…..”(2012: hal. 182).
Ada dominasi dan pengambilalihan dengan penyingkir penduduk Asli Papua dalam seni ukir dan kerajinan tangan. Ukir – ukiran seperti patung – patung dari Merauke, Biak, Manokwari, Noken, Gelang tangan, Koteka yang dimiliki orang asli Papua dijual orang – orang pendatang dan mendapat hasil dengan baik secara ekonomi. Selain seni ukir – ukiran, baju – baju batik yang bermotif nilai – nilai budaya Papua juga dimonopoli dan dijual oleh pendatang. Orang Penduduk Asli Papua sebagai pemilik ditempatkan sebagai pembeli barang – barang bernilai budaya milik mereka. Tidak ada perundang – undangan seperti Peraturan Daerah (Perda) untuk memproteksi dan berpihak kepada Penduduk Asli Papua. Ini salah satu bentuk proses pemiskinan dan pemusnahan hasil karya orang Asli Papua.
Dewan Adat Papua menyoroti: “pengembangan kebudayaan Papua selama hampir empat tahun perlakuan Otonomi Khusus pun tidak menujukan perubahan apa – apa. Tidak ada upaya yang secara sengaja dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi apalagi mengembangkan dan mempromosikan kebudayaan Papua. Tidak ada upaya untuk mengembangkan pengajaran dan pemasyarakatan bahasa – bahasa asli Papua di sekolah – sekolah, padahal pasal 58 mengamanatkan hal itu. Ini harusnya menjadi perhatian karena Undang – Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 mengatur tentang pengembangan jati diri orang Papua melalui pengembangan dan mengunakan bahasa – bahasa daerah”. (2005: hal: 34).
Bahasa juga bagian dari kebudayaan dan mencerminkan indentitas suatu bangsa. Papua terdiri dari hampir 250 suku. Dari jumlah ini mempunyai bahasa sendiri. Bahasa merupakan jati diri suatu bangsa itu dapat dimengerti oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia yang mempunyai semboyang “Bhineka Tunggal Ika” berbeda – beda tetapi tetap satu, hanya omong kosong belaka. Bahasa yang dimiliki penduduk orang Asli Papua benar – benar dihancurkan dan dimusnahkan. Terjadi diskriminasi kejam di Tanah Papua. Bahasa daerah yang seharusnya menjadi bahasa pengantar di setiap sekolah sesuai dengan tempat lembaga pendidikan itu berada tidak pernah digunakan. Sebaliknya, di pulau Jawa, Sumatra dan daerah – daerah orang Melayu, Indonesia, diajarkan di sekolah – sekolah,bahkan bahasa asli dijaga, dipelihara dan dilestarikan sebagai bahasa ibu.( Otonomi Khusus Papua Telah Gagal: 2012: hal: 254-256 ).
Budaya orang asli Papua semakin hari hilan perlahan – lahan ini bukan rekayasa tetapi bukti karena itu untuk selamatkan budaya sebagai jati diri orang Papua di setiap sekolah tingkat TK Paud SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi harus di wajibkan mengajar nilai – nilai budaya Papua sendiri seperti bahasa lokal, lagu bahasa daerah, cara buat koteka, hanyam noken, buat pagar, buat honai, biking kebun, buat pana dan busur dan lainnya.
Di setiap sekolah mengajarkan nilai – nilai budaya yang sedang hilan ni mulai dari sekarang pasti sepulu dua puluh tahun ke depan budaya orang asli Papua tidak akan pernah hilan pasti tetap terjaga dengan baik. Selamat membaca sahabat – sahabatku yang mulia dan diberkati Tuhan.
)* Penulis adalah Ketua Pemuda Baptis Di Tanah Papua dan juga Anggota Forum Pemuda Kristen Di Tanah Papua