Jayapura, nirmeke.com – Operasi militer dengan alasan pendekatan keamanan dalam dua periode Presiden Joko Widodo terus dilakukan di tanah Papua tanpa ada evaluasi padahal korban rakyat sipil di Papua terus meningkat dalam dua tahun terakhir.
Hal tersebut diutarakan Ambrosius Mulait Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia (AMPTPI) dalam pers release yang diterima media ini, Jumat, (21/4/2023).
Pedekatan militer di Papua tahun 2022, kata Mulait, terjadi 48 peristiwa kekerasan di Papua, 361 korban melibatkan empat pelaku diantaranya aparat TNI dan Polri, TPNPB dan OTK, dengan motif politik, ekonomi, sosial dan budaya.
“48 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM pada tahun 2022, di antaranya 42 kasus melibatkan aparatur negara dan tiga kasus di daerah konflik bersenjata melibatkan militer dan TPNPB, Pasukan Pro Pemerintah satu, Pejabat penjara satu dan Korporasi satu,” beber Mulait.
Lanjutnya, dari 348 korban, 31 orang perempuan, 313 orang laki-laki, 26 orang meninggal serta 22 korban anak dibawa umur termasuk laki-laki dan perempuan. Empat rumah warga yang menjadi korban bom maupun penembakan diataranya di kabupaten Nduga, dan Dogiyai.
“Selama 2022 korban paling banyak yaitu dalam demostrasi damai penolakan UU Otsus dan DOB Papua. 300 orang yang menjadi korban penangkapan, pemukulan. 31 orang di penjarakan karena melakukan aksi damai dengan berbagai tuduhan. 18 orang dikenakan pasal makar, masih menjalani proses hukum. 8 orang dikenakan pasal lainnya dan 5 orang dibebaskan setelah jalani kurungan tahanan selama 6 bulan dan sisanya korban dalam konflik di wilayah operasi militer (perang),” ujar Mulait.
AMPTPI melihat peristiwa diatas dengan praktek pembunuhan diluar hukum, penangkapan sewenang-wenang, serta melabelkan pasal-pasal makar pada aksi protes damai, diikuti dengan rekayasa kasus penangkapan terhadap masyarakat sipil; Penganiayaan anak di bawah umur; kriminalisasi aktivis Papua; Penembakan yang dilakukan tentara gerilyawan dengan tuduhan sebagai informan aparat di wilayah konflik dan konflik horizontal yang muncul karena keberadaan investasi.
“361 korban diatas tidak termasuk korban pengusian di kabupaten Nduga, Yahukimo, Intan Jaya ,Pegunungan bintang dan Maybrat. Dari 48 peristiwa 2022 hanya kasus korban mutilasi yang diproses hukum dan yang lainnya belum, walupun kasus pembunuhan terhadap 10 orang pasca penolakan aksi Otsus dan DOB di Yahukimo, penganiayaan anak di Puncak yang dicurigai mencuri senjata lalu dianiaya dari prajurit TNI Pos Satgas Yonif R 600/Modang, berujung Bruno Amenim Kimko meninggal dunia,”
Walaupun sudah dilaporkan ke komnas HAM, Mulait melihat belum pernah ada insvestigasi dan pelakuna diproses namun pelaku dipindahtugaskan maka impunitas terhadap pelaku subur di Papua karena tidak ada proses hukum yang adil terhadap pelaku.
“Konflik kekerasan di Papua tidak akan berhenti karena terus terjadi pengiriman militer ilegal secara besar-besaran di tanah Papua, meskipun status operasi militer di Papua belum diterapkan pemerintah di setujui DPR RI dan Presiden Jokowi secara terbuka.
“Dari hasil dokumentasi, 48 peristiwa korban paling banyak dari suku wilayah adat Mepago dan Lapago. Justru tahun 2023 kekerasan meningkat dalam 3 bulan terakhir antara Januari, Februari dan Maret, dari 83 Korban, 77 melibatkan aparatus negara yaitu TNI dan Polri, tiga orang korban Orang Tak Kenal (OTK) dan dua orang korban massa dari sipil pasca protes dengan aparatus negara 14 orang meninggal diantaranya OAP 11 orang korban, 3 non OAP di Wamena,” bebernya.
Dari berbagai peristiwa diatas, AMPTPI melihat, pedekatan untuk selesaikan persoalan Papua oleh Indonesia lebih cenderung dengan dialog pembangunan, maka persoalan tidak akan pernah selesai. Justru makin tambah parah dan korban terus berjatuhan di pihak TNI/Polri, TPNPB dan masyarakat sipil.
“Tidak pernah akan ada solusi karena upaya-upaya yang dilakukan Jakarta terhadap Papua, terutama dalam hal kebijakan, tidak pernah menyentuh inti persoalan. Minimal 4 akar persoalan yang diutarakan LIPI. Selain itu, Jakarta juga selalu melakukan pendekatan dengan pihak-pihak yang tidak berkompeten,” kata Mulait.
AMPTPI juga merasa Jakarta sebenarnya tahu dan memiliki semua instrumen yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan Papua ini, apakah menggunakan cara yang pernah dipakai untuk Timor Leste, atau cara yang pernah dipakai untuk Aceh.
“Semua akumulasi Persoalan (konflik) diatas antara Jakarta dan Papua adalah persoalan ideologi. Sebaiknya pemerintah Pusat selesaikan persoalan konflik dengan melakukan perundingan antara pemerintah Indonesia dan ULMWP – TPNPB Supaya tidak ada korban lagi dan hidup di dalam kedamain di tanah Papua. (*)