Jayapura, nirmeke.com – Ada yang menjadikan fotografi sebagai hobi, tapi ada juga sebagai usaha (bisnis) alias profesi. Tapi ada juga keduanya. Di era medsos untuk memperlancar usaha, di Papua hal yang sama juga berkembang, terlebih kepada anak-anak Papua.
Karya foto orang Papua tak perlu diragukan lagi. Hasil karya mereka juga mampu menembus galeri pameran internasional. Para fotografer senior juga menjadi panutan bagi para fotogafer pemula. Mereka sering mengadakan diskusi untuk berbagi pengalaman, dan berburu (hunting) foto. Kegiatan tersebut menambah wawasan para pemula untuk mengikuti jejak sebagai fotografer.
Sonny Wanda adalah fotografer senior Papua yang telah lama menjadikan fotografi sebagai hobi sekaligus profesi. Wanda menekuni fotografi sejak 1996, dua belas tahun silam.
Mulanya ia melakukan kegiatan fotografi untuk mendokumentasikan kegiatan wisuda di kampus. Lama-kelamaan, karena selalu menggunakan kamera, ia tertarik menekuni fotografi karena merasakan sebagai hobi yang menarik.
“Hingga saat ini menekuni dunia fotografi bagi saya adalah sebuah referensi hidup yang menarik, walaupun tidak menjadi sesuatu yang komersial, namun sebagai pelaku fotografi dengan terlibat sebagai kontributor adalah bagian yang menarik dalam dunia pengetahuan hari ini,” katanya kepada Jubi.
Sehingga, kata Wanda, fotografi baginya bukan hanya sekedar mendapat peluang komersial, tetapi juga menjalaninya sebagai kontribusi sosial, edukasi, dan informasi dalam masyarakat.
Ia mengakui bahwa perangkat fotografi seperti kamera dan lensa, jelas tidak murah untuk mendapatkannya, namun hobi adalah semangat yang positif, usaha dan kerja keras dapat menghasilkan hal yang baik.
“Dari hasil kerja keras dan menabung bisa membeli kamera, jadi betul jika ada istilah ‘biar kere tapi hobi mahal bro’,” kata Bap Son, pangilan akrabnya di komunitas fotografer Jayapura.
Karya Sonny Wanda tidak perlu diragukan lagi bagi para pencinta fotofaher di Papua, Indonesia, hingga internasional.
Ia pernah mengikuti pameran foto internasional tiga tahun sekali 2014, menjadi narasumber fotografk Lingkara Bali, kontributor dalam buku fotografi “Pameran Korea” oleh Galeri Fotografi Indonesia dalam katalog dunia, dan kontributor foto buku bacaan SD berjudul “Para Penjaga Teluk Yotefa” yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia juga aktif sebagai kontributor foto wisata wilayah Papua.
Sehari-hari Wanda sering diminta untuk menjadi fotografer komersial seperti acara perkawinan (wedding), dukumentasi acara seminar, foto kalender, dan foto produk.
“Sebagai seorang fotografer tips yang sederhana adalah selalu membuka diri dan bekerja sama dengan para fotografer lain,” ujarnya.
Manurut Wanda, jika ingin memfokuskan diri pada bidang fotografi komersial sebenarnya saat ini sangat menjajikan.
“Namun ada juga sebagian fotografer hanya sebagai pelaku fotografi, bukan menggeluti bidang komersial, namun mencari job yang sesuai kebutuhan kerja,” katanya.
Wanda berencana akan membangun usaha fotografi sehingga secara sosial kegiatan fotografinya juga berdampak kepada orang lain.
“Untuk peluang usaha di masa depan, karena bidang fokus fotografi juga banyak pilihan, kita perlu mencermati bidang foto yang sesuai dengan genre fotografi yang kita tekuni, studio ada pada perencanaan pengembangan usaha, namun tentu sudah memilki perangkat studio yang memadai,” ujarnya.
Fotografer lain yang terkenal di Papua adalah Whens Tebay. Anak muda Papua ini hobi fotografi sejak SMA. Kini karya fotonya tak diragukan lagi oleh kalangan komunitas dan pencinta fotografi di Papua dan Indonesia.
“Saya mulai hobi foto sejak SMA kelas 2, waktu itu saya menggunakan kamera saku Canon Cybershoot, kemudian saat kuliah saya masih sering memotret, saya foto apa saja yang menurut saya bagus untuk difoto,” kata Whens, yang juga ketua komunitas Papuansphoto.
Pada 2014, cerita Whens, ia mengikuti lomba foto yang diadakan Kementerian Kehutanan dan mendapatkan juara 3. Sejak itu mulai muncul kepercayaan dirinya untuk lebih menekuni dunia fotografi. Ia membaca buku dan Googlingreferensi fotografi untuk belajar teknik-teknik foto dan cara setting camera.
“Pada 2015 saya dibelikan kamera Canon 1100D yang hingga kini saya masih pakai untuk memotret, saya sangat bersyukur bisa memiliki kamera itu walaupun sudah tidak diproduksi lagi, tetapi melalui kamera itulah saya banyak belajar dan mendapatkan uang untuk membantu keperluan saya,” kata Whens.
Untuk mendapatkan kamera dan lensa ia masih mengandalkan pemberian keluarganya dari Timika. Sedangkan lensa yang sering ia gunakan adalah Canon kit 18-55 mm, Canon fix 50 mm, dan Sigma 70-300 mm.
Whens juga pernah juara 3 lomba foto Cagar Alam Cycllop yang diselenggarakan Kementerian Kehutanan. Karya-karya juga sering diapresiasi di group media sosial dalam dan luar negeri.
“Sebenarnya banyak kegiatan fotografi yang bisa menghasilkan uang, sejauh ini yang sering saya dapatkan adalah memotret kegiatan seperti seminar, acara meminang, pre wedding, wedding, ulang tahun, dan foto keluarga, foto saya juga ada yang dibeli dan dipakai di surat kabar,” ujarnya.
Sama halnya dengan Bap Son, Whens juga berharap ke depan dapat memiliki studio pribadi dan bisa membuat kelas kursus fotografi bagi pemula, karena ia optimis fotografi bisa menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan jika dilakukan dengan profesional.
“Untuk memiliki studio harus punya modal yang cukup dan kreatif, karena membangun studio butuh perlengkapan dan aksesori yang harus menarik perhatian orang,” katanya. (*)