Oleh: Benyamin Lagowan*
A. Pendahuluan
Faktor penyebab utama dari masih terus langgengnya konflik Papua yang berdarah-darah adalah keengganan sikap Pemerintah Indonesia untuk duduk berunding dengan wakil-wakil pejuang Kemerdekaan Papua dalam rangka menyelesaikan masalah Papua secara damai, komprehensif, final, demokratis dan bermartabat.[1] Dengan cara menghadirkan pihak-pihak ketiga yang netral sebagaimana usulan banyak pihak dan banyak negara.[2] Seperti yang Indonesia lakukan terhadap kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia tahun 2005 dimediasi oleh eks PM Finlandia, Marti Ahtisari.[3] Mengapa keengganan, keras kepala dan sikap tidak mau tahu itu muncul dan menyelimuti para petinggi Indonesia? Jika bukan oleh karena dominasi dan kuat kentalnya pandangan rasialis dan diskriminatif terhadap orang Papua. Indonesia masih memandang Papua dari kacamata superioritas dan inferioritas.
Dalam beberapa pernyataan, pemerintah terkesan “tidak mau” duduk bersama wadah perjuangan Papua Merdeka seperti United Liberation Movement Of West Papua (ULMWP) dengan alasan tidak mau mengakui eksistensi (keberadaan) kelompok separatis Papua. [1] Tanpa mau melihat, memahami, mengakui dan menyadari fakta-fakta terus jatuhnya banyak korban baik di grass root maupun aparat keamanan. Tanpa mau berfikir murni untuk menyudahi konflik pelik yang sudah memasuki umur 6 (enam) dekade ini. Pemerintah berupaya terus mengelak menyentuh inti (core) masalah dan malah melakonkan peran dramatisasi isu yang tidak tepat sasaran.
Penyelesaian masalah Papua sesungguhnya adalah dengan menyentuh dan menguraikan 4 (empat) pokok akar masalah berdasar hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2009 (kini bernama BRIN) yang meliputi: kegagalan pembangunan, diskriminasi dan marginalisasi OAP, Pelanggaran HAM dan Kontradiksi Sejarah Masa Lalu. Ditambah menurut Br. Theo Van Broek OFM yang kelima adalah Perampokan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara massif dan besar-besaran di tanah Papua.
Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama dua periode, upaya penyelesaian masalah Papua malah makin ’jauh panggang dari api’. Justeru menunjukkan peningkatan eskalasi konflik yang berakibat makin banyak jatuhnya korban nyawa. Baik di pihak masyarakat Sipil Papua dan Non Papua, maupun militer Indonesia, aparat keamanan dan anggota Kombatan TPNPB OPM. Sesuatu yang memprihatinkan, karena seolah menjadi rantai- siklus kekerasan yang dibiarkan dan “terus dipelihara” oleh negara.
Catatan ini mencoba merefleksikan berbagai fakta-fakta menarik tentang persamaan dan perbedaan selama insiden penyanderaan oleh panglima Kodap III TPNPB OPM, Jend. Kelly Kwalik dan Silas Kogoya terhadap 26 orang peneliti Taman Lorentz pada 8 Januari 1996. Dengan kasus penyanderaan yang baru-baru ini dilakukan setelah lebih dari dua dekade kemudian oleh Brigjend. Egianus Kogoya, Putra kandung kombatan TPNPB, Silas Kogoya di Pero, Kabupaten Nduga Papua sejak 7 Februari 2023 lalu.
Ada keanehan besar dibalik proses penyanderaan 1996 dan fakta menarik yang penting diulas agar masyarakat memahami dengan baik apa saja yang terjadi pada dua peristiwa penyanderaan yang paling memantik perhatian publik nasional, internasional tetapi terus diabaikan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB) tersebut.
B. Analisis Fakta Persamaan Dan Perbedaan Penyanderaan 1996 Dan 2023
1.Fakta Persamaan Proses Penyanderaan 1996 dan 2023
Dari agenda dan tujuannya. Insiden penyanderaan terhadap 26 orang Peneliti Ekspedisi Lorentz 95 pada tahun 1996 dan penyanderaan terhadap Pilot Susi Air Philips Mark Methrtens 2023 dilakukan oleh pasukan/kombatan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia. Tujuannya mendesak intervensi internasional dalam proses kemerdekaan rakyat bangsa Papua.
Dari segi korban. Korban yang disandera dalam dua kasus penyanderaan ini terdapat warga negara asing (WNA). Pada tahun 1996, terdapat WNA Belanda dan Inggris, sedangkan saat ini ada WNA dari Selandia Baru. Aktor/pelaku penyanderaan 1996 adalah anggota TPNPB Kodap III Ndugama Darakma di bawah pimpinan Jend. Kelly Kwalik dan Silas Kogoya. Dalam kasus penyanderaan 2023, diaktori oleh panglima Kodap III Ndugama Darakma di bawah pimpinan Brigjend. Egianus Kogoya, anak kandung Silas Kogoya yang lahir pada tahun itu.
Dari sisi perlakuan TPNPB terhadap para sandera dalam dua kali penyanderaan. Tampak jelas kedua Panglima Kodap III dan anggotanya memperlakukan para sandera secara baik dan manusiawi. Tidak ada unsur-unsur tindak kekerasan fisik berupa penganiayaan dlsb terhadap semua sandera. Barangkali ini karena pasukan TPNPB menginginkan bantuan dan dukungan dunia internasional dalam memfasilitasi dan menjembatani aspirasi kemerdekaan bangsa Papua.
Dari aspek teritorial markas komando operasi. Komando Daerah Operasi Perang (Kodap) III Ndugama Darakma menjadi tempat dan satuan teritorial TPNPB OPM yang terus dengan berani tanpa gentar melakukan penyanderaan sebagai bagian dari stratak perjuangan sejak 1996 hingga 2023 saat ini.
Aspek Peran Prabowo. Prabowo Subianto dulu masih sebagai prajurit dan sekaligus Danjen Kopassus. Sekarang Prabowo Subianto, sebagai orang dan aktor yang sama, masih berada di lingkaran elit militer dengan jabatan sebagai atase militer Indonesia, selaku Menteri Pertahanan Indonesia (Menhan). Prabowo tentu masih ingat dinamika dan isu-isu dibalik operasi yang dipimpinnya pada 27 tahun silam. Tentu di tahun ini, Menhan akan mengingat dan merefreshing ingatannya tentang peristiwa Mapnduma 1996 yang historis itu. Mestinya, sebagai ksatria, Prabowo bisa merefleksikan, sebab musabab mengapa peristiwa penyanderaan yang dulu ia pernah hadapi bisa terulang lagi setelah 27 tahun di masa kini. Apakah hal ini dapat terulang setelah 27 tahun lagi di masa mendatang, artinya setelah Prabowo tiada? Yang jawabannya bila dipikirkan secara bijaksana sangat mungkin berpeluang terjadi lagi. Apa yang mestinya dilakukan Prabowo dan rezim Presiden Jokowi?
Kesamaan lain yang bisa diamati dalam kedua peristiwa penyanderaan ini. Terjadi penembakan membabi buta terhadap lebih dari 10 orang di Papua jelang operasi pembebasan sandera. Pada tahun 1996, sebelum dilakukan operasi Pembebasan Sandera di Mapenduma, terjadi penembakan oleh Letnan Sanurib, salah seorang spesialis penembak jitu dari anggota Batalyon 12 Grup-1 Para Komando, memberondongkan peluru ke rekan-rekannya di sekitar landasan udara Mozes Kilangin, Timika. 10 orang pasukan militer Indonesia tewas di tangan teman mereka sendiri. [4] Sebaliknya, saat upaya pembebasan sandera saat ini, 11 masyarakat sipil tewas diberondong timah panah milik aparat TNI-Polri di Sinakma Wamena karena dugaan penculikan. Dua diantaranya terkena sabetan benda tajam dan anak panah. [5] Apakah ini karma atau upaya melebarkan jalan sebelum operasi militer dengan menumbalkan darah manusia sebagai sesajian? Entahlah.
2. Fakta Perbedaan Proses Penyanderaan 1996 dan 2023
Dari segi jumlah korban yang disandera. Pada tahun 1996 korban yang disandera berjumlah 26 orang. Termasuk para peneliti, di antaranya empat anak muda Inggris, dua warga Belanda, empat warga Indonesia, seorang dosen dari Jayapura, seorang pendeta, dan seorang petugas kehutanan. [6] Sedangkan pada tahun ini korban yang disandera hanya satu orang, yaitu Pilot Pesawat Susi Air, Capt. Philip Mark Mathrtens yang berkebangsaan Selandia Baru.
Dari sisi jumlah personil. Pada 1996 disebutkan kekuatan pasukan TPNPB OPM berjumlah 200 orang. Jumlah pasukan elit militer Indonesia, KOPASSUS sebanyak 100 komando dibantu oleh 5 tentara asing bayaran sekaligus instruktur terlatih. Saat ini pasukan TPNPB berjumlah kurang dari 20 orang personil. [2] Sementara jumlah total Pasukan Indonesia belum diketahui secara pasti. Tetapi berdasarkan informasi dari gross root, sedang dilakukan operasi gabungan oleh dua matra ( angkatan darat dan udara) dari arah Nduga dan Lanny Jaya. Sebelumnya terdapat sekitar 10 strada dan mobil keamanan yang mengangkut pasukan sempat naik menuju distrik Kuyawage, Lanny Jaya. Untuk operasi pembebasan sandera saat ini, pemerintah menolak menggunakan tentara atau bantuan asing. [7]
Dari segi jumlah senjata api. Pada saat ini, terlihat ada sekitar 5 pucuk senjata api laras panjang yang dimiliki oleh pasukan TPNPB. Satu diantaranya memiliki pelontar bom. Ada juga dugaan sejenis Sniper yang dimiliki oleh panglima Kodap III, Brigjend. Egianus Kogeya. Sementara, terdapat banyak jenis senjata dan amunisi yang dimiliki militer Indonesia. Pada tahun 1996, informasi kepemilikan senjata tidak ada. Karena belum ada akses media massa maupun media sosial yang maju seperti sekarang ini. Tetapi diduga saat itu terdapat kurang dari 3 Pucuk senjata Api Laras Panjang milik TPNPB. Dimana salah satunya dimiliki oleh Jend. Kelly Kwalik. Sementara Kopassus memiliki dan menggunakan banyak senjata canggih dalam operasi itu.
Dari sisi lokasi penyanderaan. Peristiwa penyanderaan tahun 1996 terjadi di Mapenduma, Distrik Tiom, Kabupaten Jayawijaya. Pada tahun ini penyanderaan terjadi di Paro, Kabupaten Nduga. Saat itu, desa Mapenduma masih menjadi bagian dari Kabupaten Jayawijaya. Sekarang, tepatnya sejak tahun 2008 telah menjadi Kabupaten sendiri setelah mekar dari Kabupaten induk Jayawijaya.
Dari segi tata nama operasi militer Indonesia. Pada tahuan 1996, nama operasi yang digunakan adalah Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma dibackup langsung oleh Danjen Kopassus RI, Letjen Prabowo Subianto. Namun saat ini namanya berubah menjadi operasi penyelamatan pilot susi air yang memadukan kolaborasi Satgas Operasi Damai Cartenz yang dipimpin oleh Ditkrimum Polda Papua, Kombespol Faizal Ramahdani dan Dankolaksops TNI, Brigjend. J.O Sembiring. Brigjend. J.O Sembiring adalah Danrem Korem 172/PWY. [8]
Dari Aspek Demokrasi dan Kepemimpinan Nasional. Operasi Penyelamatan Sandera pada 1996 dilakukan saat Indonesia masih berada di bawah genggaman kekuasaan otoriter dan militeristik rezim Soeharto. Belum ada reformasi dan ruang demokrasi yang bebas untuk rakyat Indonesia waktu itu. Oleh karena itu jelaslah alasan dibalik mengapa operasi militer menjadi opsi yang paling mungkin sehingga Prabowo Subianto yang juga merupakan anak mantu Soeharto ditunjuk menjadi komandan operasi. Meskipun kekuasaan Soeharto berhasil dilengserkan oleh amarah rakyat Indonesia yang menginginkan demokrasi, tetapi nampaknya suasana demokrasi itu tidak berlaku bagi Papua, karena operasi militer masih menjadi pilihan utama rezim Presiden Jokowi hari ini untuk melakukan pembebasan sandera Pilot Susi Air di Paro, Kabupaten Nduga. Maka benarlah apa yang selama ini dikatakan beberapa aktivis dan pemerhati Papua, bahwa aplikasi negera demokrasi sebenarnya tidak berlaku bagi Papua. Jokowi tidak memiliki opsi lain untuk membebaskan sandera. Misalnya mendengar tuntutan Egianus Kogoya dll dsb untuk mengakhir siklus kekerasan Papua secara permanen.
Dari segi aksesibilitas medan dan satelit. Operasi pembebasan sandera 1996, menghadapi realita medan Nduga yang masih sangat sulit karena terisolir. Sementara saat ini sudah ada akses jalan darat ke beberapa wilayah Nduga, termasuk Paro dan sekitar lokasi penyanderaan. Kemajuan teknologi pencitraan satelit juga telah menunjukkan kemajuan signifikan sehingga dapat membantu proses pelacakan dan pencarian keberadaan pasukan TPNPB maupun sebaliknya. Hal ini, bagi TNI, dapat mencegah tidak terulangnya kasus kecelakaan helikopter yang menewaskan 5 orang tewas dan 7 lainnya luka-luka pada Mei 1996. [9]
Aspek Pendekatan Kepada TPNPB. Pada operasi pembebasan 1996, pemerintah Indonesia melakukan segala macam cara agar pihak penyandera, TPNPB menyerahkan 26 sandera. Termasuk mengutus wakil menemui Uskup Jayapura, Mgr. Herman M. Muninghooff, OFM agar dapat membujuk Panglima Kodap III Kelly Kwalik untuk dapat membebaskan para sandera. Kelly Kwalik merupakan anak rohani Uskup Mgr. Muninghoof ketika masih menjadi siswa di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Katolik Taruna Bakti Waena (kini SMA Katolik Taruna Bakti). Tetapi upaya itu tak berhasil karena Kelly Kwalik menolak semua tawaran dan pendekatan yang dilakukan Indonesia. Pada saat ini, upaya pendekatan kepada Egianus Kogoya dkk tidak bisa segampang pada masa lalu. Egianus Cs telah belajar dari sejarah, maka ancaman yang diberikan merupakan pertanda bahwa mereka tidak main-main bila tidak menjawab tuntutan pihaknya.
3. Fakta-Fakta dan Pertanyaan
Dari insiden pembebasan sandera 1996 terdapat beberapa pertanyaan yang tersisa sebagai berikut: 1) mengapa Letnan Sanurip menembak sesama teman-temannya ketika masih berada di Timika? 2) Apa benar peristiwa penembakan itu ada kaitan dengan sakit malaria (malaria serebral) atau stress (dengan gangguan psikotik) yang dialami atau hanya karena tidak dilibatkan dalam operasi Mapenduma atau ada sebab lainnya ? 3) Mengapa Prabowo melakukan aksi pengecut dengan menggunakan Helikopter Palang Merah Internasional (ICRC) untuk masuk ke Mapenduma untuk mengelabui TPNPB? Sepengecut itukah jiwa ksatria Prabowo? 4) Siapakah yang sebenarnya membunuh 2 sandera yang berprofesi sebagai peneliti pada waktu operasi itu? 5) Mengapa Militer Indonesia menyewa 5 anggota tentara asing dalam operasi militer tersebut dan apakah kemampuan Kopassus tidak dapat diandalkan?
C. Kesimpulan
Insiden penyanderaan yang terjadi di Mapenduma pada tahun 1996 erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan Papua. Demikian pula penyanderaan tahun 2023 ini. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia di sisa masa rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo, mestinya dapat mendengar masukan dan harapan orang Papua dan juga komunitas Internasional untuk dapat bersedia duduk berunding semeja dengan wakil-wakil kelompok Papua pro kemerdekaan. Agar dapat mengikuti jejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan konflik Aceh pada tahun 2005 silam. Dengan demikian harapannya tercipta kedamaian dan solusi permanen bagi rakyat Papua dan Indonesia pada umumnya. Tidak ada lagi kekerasan, tangis, derita dan pertumpahan darah di antara sesama anak bangsa dan antara negara dan rakyatnya sendiri.*
Rujukan
- Fajar Anugerah. 2018. Pemerintah ‘Tidak Akan Berkompromi’ Dengan Kelompok Separatis Papua. Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46588755
- Julnis Firmansyah. 2023. Pemerintah Di Minta Libatkan Pihak Ketiga Untuk Negosiasi Pembebasan Sandera OPM. Diakses dari https://nasional. tempo. co/read/1691180/pemerintah-diminta-libatkan-pihak-ketiga-untuk negosiasi – pembebasan-sandera-opm
- 2023. Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma. Diakses dari: https://id. wikipedia.org/wiki/Operasi_Pembebasan_Sandera_Mapenduma
- Martin Sitompul. 2019. Kejanggalan Operasi Mapenduma. Diakses dari https:// historia. id/militer/articles/kejanggalan-operasi-mapenduma-vXj0X/page/1
- Suara Papua/Benyamin Lagowan. 2023. Sistem Bayar Kepala oleh Negara di Wamena : Jalan Tol Pembersihan Etnis. Diakses dari https://suarapapua. com/2023 /03/05/sistem-bayar-kepala-oleh-negara-di-wamena-jalan-tol-pembersihan-etnis/
- Felix Nataniel. 2020.Penyanderaan Mapenduma Menggerek Pamor Prabowo dan Kelly Kwalik. Diakses dari https://tirto.id/penyanderaan-mapenduma-mengerek-pamor-prabowo-dan-kelly-kwalik-eq9d
- 2023. Panglima TNI Tolak Bantuan Selandia Baru. Diakses dari https://www. antaranews.com/berita/3432072/panglima-tni-tolak-tawaran-bantuan-selandia-baru
- Hendrik Khoirul Muhid. 2023. Profil Brigjend. J.O Sembiring Pemimpin Operasi Pembebasan Pilot Susi Air di Nduga Papua. Di akses dari https:// nasional. tempo.co/read/1693091/profil-brigjen-jo-sembiring-pemimpin-operasi-pembebasan-pilot-susi-air-di-nduga-papua
- Ref. 6.