Jayapura, nirmeke.com – Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat kecewa dengan kinerja Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun Komnas Perempuan lantaran belum ada satupun langkah konkrit untuk memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga sipil pengungsi di Maybrat.
Hal tersebut ditegaskan Lamberti Faan dalam diskusi publik bertajuk “Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Pengungsi Internal”, Jumat (31/3/2023).
Lamberti Faan sudah beberapa kali bersama Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat membuat laporan, namun hingga kini belum terlihat langkah konkrit yang diambil Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun Komnas Perempuan.
Ia mengaku kecewa dengan kinerja Komnas HAM yang dinilainya tidak independen.
“Komnas HAM datang ke Maybrat saja dikawal militer. Dan, sampai hari ini hasilnya kita tidak tahu seperti apa. Kami juga sudah membuat laporan ke Komnas Perempuan, tapi sampai saat ini belum direspon,” ujarnya kecewa.
Pada kesempatan itu, Lami Faan menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah pusat maupun daerah:
Pertama : Memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi masyarakat sipil.
Kedua , Memberikan bantuan kemanusian untuk IDPs Maybrat dengan segera.
Ketiga , Pemenuhan hak dasar IDPs Maybrat.
Keempat , Pemerintah Indonesia dan pemerintah kabupaten Maybrat segera menangani pengungsi Maybrat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, diantaranya konstitusi UUD 1945, UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, serta hukum HAM dan hukum humaniter internasional.
Kelima , TNI/Polri harus mematuhi peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan hukum-hukum HAM dan humaniter internasional.
Sementara itu, Natalia Yewen, aktivis dari perempuan dan lingkungan menambahkan, negara belum mampu memberikan solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah di Papua.
Contohnya, Natalia menyebutkan ketika kasus Maybrat pecah, negara lebih sibuk memikirkan solusi yang tak sesuai keinginan rakyat Papua seperti bicara DOB yang selalu mendapat perlawanan hingga saat ini.
“Pemerintah lebih banyak bicara soal DOB dan Pemilu 2024 dibandingkan mengurus pengungsi yang ada di seluruh Papua,” kata Yewen.
Natalia berharap, pemerintah tak membatasi bantuan kemanusiaan yang disalurkan oleh aktivis dan para pemerhati kemanusiaan.
“Melihat kesaksian di beberapa daerah yang dilakukan oleh tim-tim kemanusiaan yang terus berupaya mengalirkan bantuan kemanusiaan, tetapi selalu dihalangi oleh aparat keamanan,” tambahnya.
Yewen juga menangani kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua juga lebih banyak mengalami pengunjuk rasa ketika aksi unjuk rasa, apalagi saat perlawanan Otsus dan DOB.
Berdasarkan data Komnas HAM tentang konflik di Papua yang diterbitkan TEMPO.co , selama tahun 2018-2021 tercatat jumlah pengungsi sebanyak 60-100 ribu, dan korban jiwa 307 orang. (*)
Sumber: Suara Papua