Oleh: Benyamin Lagowan*
Pengantar
Pada masa Marx hidup, para penguasa dan kapitalis Eropa mengeluh-eluhkannya dengan mencela: “ada hantu bergentayangan di Eropa, hantu komunisme” [1] dalam upaya menyerang Marx ketika ia menjadi antitesa atas corak produksi kapitalisme yang menggilas kaum buruh bak sapi perah sejak abad ke-16. Kemunculan kapitalisme yang kemudian bermetamorfosis menjadi imperialisme (baca: neokolonialisme) abad 21, menurut Hawking (2016) merupakan tonggak sejarah determinan eksistensi hidup umat manusia di bumi ke depan: apakah akan punah atau tetap bertahan (dengan sosialisme sebagai satu-satunya solusi) [2]. Paling tidak, mirip seperti apa yang pernah disematkan para penguasa Eropa Barat pada Marx dan Engel, dalam analogi yang anekdotal, tulisan ini dengan kacamata ekonomi politik Marxis menelaah aktivitas sebaliknya dari kapitalisme yang cenderung prematur dan berwujud seperti ‘hantu’ pada masyarakat Papua, khususnya di wilayah Wouma-Wamena dalam keterkaitannya dengan ‘stigmatisasi’ oleh penguasa lokal dan nasional cum kapitalis sebagai salah satu wilayah penyandang status miskin ekstrim tahun 2021 [3].
Kilasan Wouma-Wamena
Wouma adalah suatu distrik dalam kota (di sebelah timur Kota Wamena) yang berada di atas ketinggian 1693 meter dpl Pegunungan Tengah Papua dan bagian besar daerah ini dipisahkan dari Kota Wamena oleh aliran kali Ueima yang melintang dari sisi selatan ke utara lalu ke arah timur dan kembali menuju selatan Papua [4]. Kali Ueima yang deras dan dingin memproduksi bahan tambang golongan C berupa batu, kerikil dan pasir halus maupun kasar dengan kualitas terbaik yang menjadi sumber utama material untuk bahan konstruksi pembangunan infrastruktur sejumlah kabupaten di wilayah adat Lapago, Pegunungan Tengah Papua [5]. Dua pertiga dari wilayah Wouma dan perkebunan subur milik masyarakat berada di atas hamparan endapan material geologis tersebut. Oleh karena itu, aktivitas ekspansi, eksploitasi dan akumulasi kapitalisme dekade ini telah menyebabkan wilayah yang subur dengan tradisi hidup komunal masyarakat yang mandiri itu makin tergerus jatuh ke dalam destruksi ekologis yang buruk dan tingkat kemiskinan parah: miskin ekstrem [6].
Pada awalnya masyarakat Wouma, Wesaput, Assologaima, Usilimo dan Bolakme disebut dan ditetapkan sebagai lima distrik termiskin atau miskin ekstrim dari 42 distrik di Kabupaten Jayawijaya tahun 2021 oleh Pemerintah [3]. Padahal secara faktual masyarakat Assologaima adalah satu dari 10 penghasil ubi jalar terbesar di Wamena yang mendongkrak posisi Jayawijaya sebagai penghasil ubi jalar terbesar kedua di Papua berdasar sensus ILO 2012 [7]. Tapi ironis, hanya dalam rentang 10 tahun pada 2021 masuk sebagai salah satu distrik dengan masyarakat miskin ekstrim. Sedangkan kondisi objektif sebelumnya (BPS, 2019:65) wilayah dan masyarakat Wouma adalah wilayah kaya karena memiliki tanah yang subur juga memiliki bahan tambang galian C yang menjadi sumber utama konstruksi pembangunan infrastruktur [8]. Sejak dahulu wilayah ini mampu memproduksi berbagai kebutuhan pangan bagi masyarakat Wamena hingga bisa diekspor keluar [10,11]. Wouma menjadi salah satu daerah penghasil ubi jalar, keladi, sayur sawi, wortel, mentimun, kentang, buncis, tebu, labu, brokoli, kubis, rica, tomat dan banyak jenis sayuran lainnya; buah-buahan, seperti: buah merah, alpukat, pisang, nangka, Jambu biji, markisa, jeruk manis, pepaya dll [4,8,9]. Saat ini sudah ada budidaya buah naga dan strawberry. Semua tanaman tersebut ditanam secara alamiah tanpa memakai pupuk kimia oleh masyarakat asli. Pada beberapa tahun lalu, masyarakat Wouma gencar dengan budidaya kopi, sayur sawi besar, kedelai, wortel, jagung hingga ubi jalar dan keladi. Hasil produksi pertanian dan perkebunan dari Wouma, selain biasanya dipasarkan di pasar lokal, juga telah dieskpor ke luar wilayah Wamena. Misalnya ke Timika, Sorong, Merauke, Jayapura hingga Biak dan Manokwari [10,11].
Untuk mendeskripsikan potensi lahan yang subur dan kultur cocok tanam yang luar biasa, arkeolog Papua, Hari Suroto, menyebutkan bahwa usia sistem pertanian di Wamena sudah dimulai sejak 6000 tahun silam. Ini menunjukkan bahwa sistem bercocok tanam orang Wamena (termasuk Wouma) sudah ada sejak lama. Menurut Hari Suroto sejak zaman pra sejarah [12,11]. Hal ini tentu saja karena tanah yang subur dan baik untuk penanaman segala jenis tanaman dan itu bisa dilihat hingga saat ini. Pengakuan lainnya juga datang dari seorang ahli Geografi, Jared Daimon (2016) tentang deskripsi produksi komunal masyarakat Pegunungan Papua dalam Covid-19: Kapitalisme dan Sosialisme [13] yang diterbitkan Indoprogress ini: “Dalam hal produksi, masyarakat Papua memiliki metode pertanian berkelanjutan yang termasuk paling maju di seluruh dunia, bahkan mengungguli metode pertanian Eropa. Di setiap desa yang berada di dataran tinggi, orang-orang Papua tidak memiliki semacam pemimpin atau datu. Memang ada segelintir ‘orang besar’ yang lebih memiliki pengaruh dibanding yang lain. Namun mereka tetap bekerja membajak kebun, tidak dapat memerintah orang lain, dan sama-sama hidup dalam Honai sebagaimana yang lain.”
Demikian pula pengakuan seorang pastor misi Katolik:”Mereka tampak tidak membutuhkan apapun dari orang lain sewaktu kami tiba di sana, (Lembah Balim)”. Suasana itu yang dilihat pertama ketika beberapa misionaris asing asal Belanda tiba di Lembah Balim,Wamena 1963 oleh alm. Pastor Franz Lieshout, OFM dalam Kebudayaan Suku Hubula Lembah Baliem-Papua 2019 [14].
Masuknya Kapitalisme dan Dampaknya
Masuknya sistem kapitalisme dalam sendi- sendi hidup masyarakat Wamena tidak terpisahkan dari hadirnya bangsa-bangsa asing ke Papua mulai dari masuknya misionaris Eropa tahun 1855 dan Pemerintah Indonesia pada tahun 1961 [15]. Tentakel Kapitalisme global di pusat perut Bumi Papua khususnya di wilayah Pegunungan Tengah dimulai sejak 1967 dengan hadirnya perusahaan multinasional Amerika, PT. Freeport McMoran [16]. Aliran kali Ueima yang bersumber dari rentetan Pegunungan Tengah merupakan satu kesatuan pegunungan yang kaya akan sumber daya alam khususnya bahan material tambang [17].
Lantas,apa itu kapitalisme? Sederhananya, kapitalisme adalah sistem/paham ekonomi politik yang menjadikan modal sebagai ukuran. Penanaman modal melalui kegiatan industri adalah contoh kehadiran kapitalisme, sistem ini merujuk pada keuntungan sebesar-besarnya kepada orang atau kelompok tertentu. Modal bersumber dari pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri-ciri persaingan dalam pasar bebas. Kapitalisme muncul sejak abad ke-16 di Eropa Barat (baca: Revolusi Industri), berawal dari penemuan mesin uap.
Tentunya perkembangan paham kapitalisme tidak terlepas dari pemikiran Adam Smith, filsuf kelahiran Skotlandia, 5 Juni 1725 banyak menyumbangkan idenya dalam eksploitasi sumber daya alam dan manusia secara terus-menerus (demi pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya). Referensi pikiran Adam Smith ini dapat dibaca dalam buku The Wealth of Nations [18]. Argumentasi logis adalah bahwa sistem kapitalisme menyebabkan adanya akumulasi kapital pada kelompok tertentu yang menguasai alat-alat produksi dan menyengsarakan masyarakat kecil. Pertanian (dan perkebunan) rakyat adalah sektor yang paling cepat terkena imbas dari industrialisasi dan diskursus pembangunan di dunia ketiga [19]. Watak serakah produksi kapitalisme yang ekspansif, akumulatif dan eksploitatif menjadi penyebab kehancuran ekologis dan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan juga telah menyebabkan degradasi /hancurnya moral, sebagaimana ungkapan Bernard Murchal (1992) [19].
Kapitalisme dan Kemiskinan Ekstrim
Motif kapitalisme yang utama adalah eksploitasi tanpa ampun atas sumber daya alam yang mengorbankan masyarakat pribumi dengan ambisi nilai lebih (untung sebanyak-banyaknya). Akibatnya masyarakat kecil jatuh pada lubang kemiskinan bahkan miskin ekstrim. Kemiskinan ekstrim menurut Bank Dunia adalah masyarakat yang hidup dengan pendapatan kurang dari 1,90 dolar AS per orang per hari, atau sekitar Rp 27 ribu per orang per hari dengan asumsi kurs 1 dolar AS senilai Rp 14.300 [20,21].
Penduduk miskin ekstrim biasanya juga tak memiliki aset produksi sendiri (tanah), bekerja dengan upah rendah, dan tidak punya tabungan sebagai penyangga ekonomi keluarga [21]. Sementara menurut PBB, kemiskinan ekstrim/absolut (destitusi) adalah suatu kondisi yang langka akan kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan informasi. Kemiskinan ekstrem bergantung pada pendapatan dan ketersediaan kebutuhan dasar [22].
Berdasarkan definisi di atas pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin ada masyarakat yang miskin ektrim tanpa 27 ribu rupiah/hari ketika kekayaan di dunia ini berada dalam genggaman segelintir orang? Berdasarkan data Credit Suisse Global Wealth Report tahun 2019, satu persen orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih dari 1 juta dollar atau mewakili 44 % kekayaan penduduk dunia. Bahkan pada tingkat ekstrim, 10 orang milliarder terkaya dunia memiliki kekayaan gabungan sebanyak 801 milliar dollar, angka yang jauh lebih besar dari total produksi barang dan jasa bagi sebagian besar negara di dunia [23].
Bisa dibayangkan akan seperti apa, jika kekayaan satu orang bisa setara bahkan melebihi APBN beberapa negara sekaligus? Berdasarkan survei lain mengatakan bahwa 1% orang terkaya mengusai 49% kekayaan dunia. Pada tahun 2017, hasil survei Oxfam International menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke enam dalam kategori ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia.
Mereka merilis laporan bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang sebanding dengan kekayaan 100 juta rakyat miskin. Itu artinya 45,4 persen porsi kekayaan di Indonesia dikuasai 1 persen orang terkaya ini [23]. Sementara itu di dunia angka kemiskinan ekstrim mencapai 736 juta orang pada 2015 atau sekitar 10 %, dimana artinya ada 1 orang miskin ekstrim dalam tiap 10 orang [21].
Relasi Kapitalisme dan Kemiskinan Ekstrim di Wamena (Wouma)
Pada tahun 2021 berdasarkan data resmi pemerintah Jayawijaya penduduk miskin berjumlah 67.720 jiwa (30,84%) [24]. Data versi ini berbeda dengan yang dirilis oleh Kemendes 2020 sekitar 87.710 jiwa (37,22%) [25]. Di wilayah Wouma dari sumber data pemerintah tahun 2017, 2019 dan 2021, tidak sama sekali memasukkan data penduduk miskin padahal BPS telah menerbitkan Wouma dalam angka tahunan juga tidak menyertakan adanya potensi tambang galian C yang menjadi sumber utama pengambilan material untuk konstruksi pembangunan selama ini. Lalu, tingginya angka kemiskinan ini selain memang diakibatkan oleh penduduk non Papua yang benar-benar miskin terdeteksi memenuhi kriteria pemerintah, tetapi juga disebabkan oleh kontradiksi kriteria penilaian yang dipakai pemerintah dalam pengkategorian tingkat kemiskinan di Wamena.
Pemerintah menetapkan standar kemiskinan berdasarkan ketetapan Bank Dunia dan PBB seperti tidak mampu memiliki uang senilai 27 ribu perorang setiap hari, rumah tidak memiliki jamban/toilet, rumah tidak beratap seng, tidak berdinding kayu/bata, tidak berlantai semen/tehel, minum air bukan dari sumber air tertutup atau kemasan isi ulang, masih tinggi buta huruf/ tidak bisa membaca, tidak mampu dapat makanan 3 kali sehari atau 1200 -1500 kkl pada anak dan dewasa dan masih tingginya angka kematian ibu dan anak serta cakupan imunisasi dasar yang kurang. Semua ketetapan ini sangat bertolak belakang, meski dalam beberapa kriteria sudah ada yang telah beradaptasi dan terpenuhi. Semua syarat kemiskinan yang disebutkan ini masih dominan, karena itulah kebudayaan mereka.
Orang Papua di Wamena masih hidup dalam honai-honai sebagaimana ungkapan Jared Diamond adalah karena menghargai peradaban hidup mereka yang terlihat pada hasil kebudayaannya. Tingkat kemiskinan ekstrim akan tetap tinggi jika indikator ini tetap dipakai dalam memandang orang Wamena. Tanpa 27 ribu tiap hari, orang Wamena masih bisa makan untuk bertahan hidup karena memiliki basis produksi yaitu tanah dan hidup dalam basis komunitas sosialnya.
Bagaimana mungkin kriteria-kriteria kapitalistik itu bisa diterima begitu saja sehingga bisa memenuhi target penguasa dan kapitalis global untuk mencabut dan mengalienasi orang Wamena dari akar historis luhur mereka sebagai petani ulung di dunia? Seperti ungkapan Marx bahwa keutamaan mengejar nilai lebih dari kapitalisme menyebabkan masyarakat tercabut dari akarnya yaitu basis produksi tanah di Wouma sudah mulai terjadi sejak masuknya pemerintah. Wacana pembangunan yang digencarkan oleh pemerintah memaksa masyarakat sekitar kali Ueima melepaskan material yang mereka miliki. Awal mula transaksi ekonomi dan munculnya kesadaran bahwa batu pasir sebagai material berharga berawal dari sini.
Transaksi penjualan material semakin menggila terjadi ketika pemerintah memekarkan 8 Kabupaten pada 2002-2008 [26]. Semenjak itu pengambilan material tak terkendali. Transaksi material yang terjadi di luar kewajaran karena ada kesan pembodohan dan eksploitasi. Pembodohan terjadi karena masyarakat tidak dibayar sewajarnya. Sementara eksploitasi terjadi melalui pengambilan material secara serampangan, tidak teratur dan sudah hampir mengenai 90 % luas kali. Akibatnya membuat pertanian dan perkebunan masyarakat Wouma kehilangan resapan air dan tanah menjadi kering dan gersang. Air yang dulu menjadi sumber kehidupan tanaman dan kehidupan manusia sekarang sudah tiada.
Produksi pertanian dan perkebunan pun munurun drastis. Sudah begitu rendahnya kualitas pendidikan, kesehatan dan minimnya lapangan kerja yang yang tersedia berdampak pada masyarakat menjadi rentan terjerat kemiskinan. Karena itu, tidaklah mengherankan bila tingkat kriminalitas meningkat, masyarakat menjadi penonton dan menjadi peminta-minta di atas sejarah mereka sebagai suku bangsa pekerja keras. Ini menjadi siklus yang pada waktunya akan menyebabkan kepunahan sebagaimana sudah terjadi di wilayah lain Papua dan dunia.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian mengenai stigma kemiskinan ekstrim yang kini disematkan kepada penduduk Wouma Wamena, maka dapat ditarik beberapa poin berikut: 1) variabel penentuan status miskin ekstrim di sini tidak sesuai dengan kondisi objektif masyarakat Wouma maupun Wamena pada umumnya karena dipengaruhi oleh nilai mata uang luar. Demikian juga patokan penentuan variabel-variabel tadi hanya didasarkan pada standar luar (barat) yang tidak terlalu relevan; 2) penyebab terjadinya kemiskinan di wilayah Wouma lebih disebabkan oleh tingginya aktivitas eksploitasi dan produksi kapitalisme di sepanjang bantaran Kali Ueima.
Dimana dalam konsensi material, tidak ada distribusi pembagian hasil yang merata dan penerimaan yang sewajarnya bagi dan antar pemilik ulayat; 3) berangkat dari poin 1 dan 2 tadi, maka dapat dikatakan bahwa terjadinya kemiskinan ekstrim di Wouma dan Wamena secara umumnya masih sangat ambigu serta jika diamati baik dapat kita simpulkan bahwa ada proses memiskin ekstrimkan orang Wamena oleh pemerintah, sebab istilah miskin ekstrim berasal dari kamus pemerintah dan organisasi yang berkoporasi dengan mereka, demikian juga kehancuran ekologis di Wouma dilakukan oleh pemerintah bersama korporasi kapitalisnya demi menyukseskan program ambisius pembangunan infrastruktur.
Pada titik itu, nyatanya, semuanya hanya mempertontonkan superioritas tatanan sistem kehidupan barat yang imperialistik. Oleh karenanya semua itu akan terus menjadi kontradiksi panjang sepanjang sejarah.
*Penulis adalah salah satu aktivis Papua asal Wamena
DAFTAR PUSTAKA
- Karl Marx dan Friedrich Engel, 1848. Manifesto Partai Komunis 1848.London; Econarch Institute.
- Hawking Steven (2020). This Is The Most Dangerous Time for our Planet. USA: The Guardian.
- Kristian Galuwo, 2021. Pemkab Jayawijaya tetapkan 5 Distrik Sasaran Penuntasan Kemiskinan. Papua: Jayapura. Diakses pada 20 Februari 2022 dari https://jubi.co.id /pemkab-jayawijaya-tetapkan-5-distrik-sasaran-penuntasan-kemiskinan/
- Badan Pusat Statistik Jayawijaya (BPS). 2017. Kecamatan Wouma Dalam Angka 2017. Jayawijaya
- Jo/Tri, (2020). Aktivitas Galian C di Kali Wouma Berlanjut. Diakses pada 10 Juni 2022 dari https://www.ceposonline.com/2020/02/28/aktifitas-galian-c-di-kali-wouma-berlanjut/
- ——- (2020). Perbaikan Jalan Wouma-Welesi Butuh Normalisasi Sungai. Diakses pada 10 Juni 2022 dari https://www.ceposonline.com/2020/02/16/perbaikan-jalan-wouma-welesi-butuh-normalisasi-sungai/
- UNDP, ILO, Pemerintah Papua dan Selandia Baru, 2012. Kajian Ubi Jalar dengan Pendekatan Rantai Nilai dan Iklim Usaha di Kabupaten Jayawijaya. Papua: Wamena-Jayawijaya.
- Badan Pusat Statistik Jayawijaya (BPS). 2019. Kecamatan Wouma Dalam Angka 2019. Wamena Jayawijaya, hal 65.
- Badan Pusat Statistik Jayawijaya (BPS). 2020. Kecamatan Wouma Dalam Angka 2020. Wamena Jayawijaya
- Jo/Tri, (2021). Sehari Dalam Seminggu,2 Ton Sayur dari Jayawijaya Masuk Pasar Timika. Diakses pada 02 Mei 2022 dari https://www.ceposonline.com /2021/11/24/sayuran-dari-wamena-dikirim-ke-mimika/
- Sri Nurani Kartikasari et al. 2012. Ekologi Papua: Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Concervation International. Hal 688.
- Hari Suroto dalam Harian Kompas, 2021. Ekspedisi Tanah Papua: Beras Mengalir Ubi Jalar Tersingkir. Jakarta.
- Diamond Jared (2017). Collapse: Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Lieshout Franz, 2019. Kebudayaan Suku Hubula di Lembah Balim: Wamena, Papua.
- Kamma F.C Dr, 1981. Ajaib di Mata Kita I,II,III. BPK Gunung Mulia
- Haluk Markus, 2014. Menggugat Freeport. Suatu Jalan Penyelesaian Konflik. Jayapura: Honai Center. Hal 2-9
- Ibid, Ekologi Papua: Seri Ekologi Indonesia Jilid VI.
- Tenoye M. 2021. Kapitalisme Dalam Dunia Pendidikan. Jayapura.
- Kristeva Nur Sayyid Santoso. 2015. Manifesto Wacana Kiri. Celeban Timur UHA III: Yogyakarta. Hal
- World Bank. 2022. Ending Extreme Poverty: Progress but Uneven and Slowing. USA
- Ahmad Ali, 2021. Menekan Kemiskinan Ekatrim. Papua Barat. Diakses pada 23 Februari 2021 dari https://www.jawapos.com/opini /14/09/2021/ menekan-kemiskinan-ekstrem.
- Bappenas (2020). Panduan Umum Kemiskinan Ekstrim. Diakses pada 08 Juni 2022 dari http://sepakat.bappenas.go.id
- Pradana Herry, (2022). Kapitalisme di Persimpangan Jalan. Diakses pada 10 Juni 2022 dari: http://anotasi.com/kapitalisme-dipersimpangan-jalan/html
- Jo/Try, (2021). 67.70 jiwa Masuk Kategori Kemiskinan Ekstrim. Diakses pada 10 Juni 2022 dari http://www.ceposonline.com
- Kemendes. 2021. Kabupaten Jayawijaya. Jakarta: Kemendes
- Pemerintah Provinsi Papua (2016). Matrix Pemekaran Kabuoaten Jayawijaya tahun 2008. Diakses pada 08 Juni 2022 dari http://www.papua.go.id