Udara semakin dingin. Sang jago mulai berkokok. Nyanyian burung terdengar indah. Bunyi sungai terus bergemuruh. Langkah kaki pemuja alam mulai terdengar. Mereka berpacu dengan mentari berharap burung tak menyantap biji padi. Beberapa mama menumbuk ubi. Terdengar bunyi alu bergantian.
“Selamat pagi bumi cendrawasihku. Selamat pagi leluhur nenek moyangku. Selamat pagi cinta dan sayangku,” doaku dalam hati.
Selepas bersyukur pada Tuhan, leluhur dan alam, aku menuju jendela kamar. Matahari pagi terlihat indah di ufuk timur. Dari sana aku menatap jauh bapa dan mama yang berjalan menuju kebun mereka. Aku cemburu pada mereka. Tak ada yang mereka persoalkan dalam hidup. Bentuk fisik mereka sempurna. Mereka bebas bergaul dengan siapapun.
Udara di kampung sangat dingin. Masih hutan dan asri. Suara burung terus bernyanyi menyambut sang mentari. Air terjun di kampungku terus memanggil anak-anak bermain air. Terdengar indah suara tawa mereka di sela desiran air. Mereka menyanyikan lagu kesayanganku saat melompat mengikuti arus air. Aku bernyanyi dalam hati bersama mereka.
“Jika aku tak seperti ini mungkin aku bisa bermain bersama mereka. Tuhan apa yang terjadi dengan diriku? Apakah Engkau membenciku? Aku tidak mau mencari jawaban dari semua pertanyaan ini. Ini hanya serial pertanyaan yang ada dalam benakku,” protesku dalam hati.
Aku memilih untuk tidak protes terhadap hidup. Dengan langkah pasti aku kembali membaringkan badan di atas kasur tua buatan mama. Batinku mulai tenang saat kepalaku jatuh pada bantal yang selalu menerima air mata ini. Tak sengaja aku menatap sebuah foto di atas meja samping tempat tidur. Senyum indah darinya menguatkanku. Aku merasa sempurna ketika berada di sampingnya.
Juan Fonataba, seorang yang selalu mengerti akan kehidupanku. Dia selalu menemani hari-hari hidupku. Aku merasa satu dengan dirinya. Setiap cerita hidupnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupku. Kata-katanya mewakili kata hatiku. Aku kuat saat dia mengelap air mataku. Dia adalah diriku yang lain.
Aku mengambil foto itu. Kenangan masa lalu menghampiri diriku. Teringat di benakku pergelaran festival foto Papua. Kami memenangkan foto versi terbaik Papua saat itu. Kebahagiaanku bukan soal memenangkan festival dan mendapat hadiah. Berada di dekatnyalah kebahagiaanku semakin disempurnakan. Dia seorang yang mampu menatap wajahku di kala banyak mata yang tak mau memandang wajah ini.
“Juan, kamu di mana? Aku rindu padamu. Kembalilah mengisi hari-hariku dengan canda tawamu,” kataku dalam derai air mata.
Hampir satu jam aku meletakkan foto ini di dada. Ada harapan semoga Tuhan mendengar kegelisahanku. Aku butuh dia untuk mendengar kisah hidup ini. Alam Papua sudah banyak mendengar potongan rasa ini. Namun, aku merasa ada yang kurang. Alam mampu mendengar namun tak mampu memahami hati ini. Cendrawasih mampu menghiburku dengan nyanyian namun tak mampu memahami gejolak rasa ini.
Aku tertidur dalam kerinduan. Menanti mimpi jadi kenyataan. Satu harapku, Juan hadir dan mendengar kisah hidupku lagi. Aku rindu melihat wajah bahagiaku kembali. Hanya dirinya seorang yang kuharapkan saat ini. Bumi Papua dan segala isi telah kehabisan cara untuk menghibur aku. Aku malu pada mereka yang selalu peduli dengan diri ini.
***
Terdengar suara nyanyian. Hentakkan kaki mengikuti irama nyanyian membela keheningan di pagi ini. Teriakan kebahagiaan semakin membahana. Aku terbangun dari tidur. Foto yang kuletakkan di dada kembali tersimpan rapi di atas meja kecil. Aku heran dengan semua ini.
“Apakah ada orang yang masuk ke kamarku?” tanyaku dalam hati.
Aku semakin bingung dengan apa yang telah terjadi. Bapa dan mama tidak mungkin masuk ke kamarku. Mereka telah berjanji untuk tidak masuk ke kamar anak gadis mereka. Semenjak tamat sekolah dasar mereka tidak lagi masuk ke kamarku. Aku heran ketika ada yang masuk dan mengambil foto di dadaku.
“Siapa yang berani masuk ke dalam kamarku?” keluhku sedikit kesal.
Sejak kepergiannya tak ada orang yang berani masuk ke dalam kamarku. Dialah orang terakhir yang kubiarkan masuk dan mengisi hati ini. Semuanya karena dia mampu mengerti kata hatiku tentang dia dan tentang diriku sendiri. Aku sadar kesatuan di antara kami seperti alam Papua dengan semua penduduknya. Tak terpisahkan dan saling melengkapi. Jika ada orang luar yang mampir ke tanah moyangku mereka harus masuk dengan mengetuk dan menghormati semua orang.
Matahari semakin meninggi. Suara para tetua adat semakin membahana memecah heningnya alam Papua. Prosesi bakar batu semakin ramai. Semua keluarga berkumpul. Anak cucu yang merantau berusaha kembali untuk mengikuti upacara ini. Dari bilik jendela kutatap semua orang. Hatiku tertuju pada satu wajah.
Juan tak kunjung pulang. Haruskah aku terkungkung dalam kegelisahan ini? Sampai kapan kamar ini sepi tak berpenghuni? Berapa lama lagi hatiku merasa sepi di tengah keramaian ritual adat ini? Teriakan tetua adat tidak mampu meredam suara hatiku yang terus memanggilnya. Siulan pemuda kampung tidak mampu mengalahkan rintihan doaku setiap malam. Kerinduanku padanya menjadi seperti tamparan keras bagi diriku.
“Juan, engkau sungguh terlalu. Adakah wajah ini selalu terkenang di matamu? Sudah lupakah engkau akan senyum indahku? Mengapa engkau tak pernah mengatakan alasan tak kembali? Aku frustrasi dengan tingginya khayalku akan dirimu. Bahasa kerinduan ini terus menamparku hingga aku menjadi layu. Entah apa yang terjadi padaku, yang pasti hati kecilku terus berkata engkau bukan lelaki biasa,” kataku penuh harap.
***
Mentari terus menggantung rindu ini. Sebentar lagi ia akan merendah dan menghilang di bukit belakang rumahku. Aku berharap pada senja tuk mendengar gema suara hatiku. Gemuruh kepak cendrawasih yang terbang di atas atap rumahku memberi suatu tanda baik. Kabut putih kembali melingkari kesepian ini. Aku putus harapan. Putihnya kabut tak mampu menghilangkan hitam kerinduan di hati ini.
Mentari telah hilang. Sebentar lagi senja akan berubah menjadi malam. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Saat hendak membukakan pintu, hatiku memaksaku tuk menoleh ke ujung jalan. Mataku tak mampu melihat dengan jelas. Malam telah menguliti tubuhnya menjadi gelap. Ketika banyak orang tak mampu melihat dengan jelas lelaki di ujung jalan itu, mata hatiku mampu melihatnya.
“Yuliana!” teriak lelaki itu.
Aku kaget dan terhentak. Badanku gemetar. Hatiku kembali hidup. Agin segar kenyelubungi diri ini. Air mataku kembali mengalir. Tanganku tak sanggup mengatup lagi. Sukacita terpancar dari wajah ini. Aku seperti tulang bernapas. Aksara jiwaku kembali bernyanyi. Burung nuri melantunkan lagu hati dari kepak cendrawasih ke lagu adat para tetua kampung.
“Juan? Engkaukah itu?” teriakku sekuat tenaga.
Suaraku membelah kesunyian kampung. Suara yang selama ini merintih dalam hati. Suara yang sering menyebut satu nama di hadapan Tuhan. Suara yang selalu protes terhadap foto kenangan indah bersamanya. Suaraku kembali bernada indah. Jengkrik-jengkrik menyimpan suara bahagiaku yang hilang dari beberapa tahun yang lalu. Senja yang bertolak menjadi malam memotret bahagiaku dan menyimpan di ujung kokok sang jago.
Juan berlari ke arahku. Dia melepaskan baju yang dikenakan. Aku membuang air sedih di wajahku. Aku melompati beberapa anak tangga rumahku. Juan masih seperti dulu. Dia tak pernah berubah. Kekurangannya tetap menjadi kekurangannya. Dia kembali seperti saat dia pergi.
Aku memeluk Juan dalam kasih yang berlimpah. Kucurahkan kerinduan dalam getaran jantungnya. Napasnya masih hangat seperti dulu. Kulit tubuhnya lembut dan hangat. Dialah kesempurnaan dalam ketidaksempurnaanku. Air mata kembali tercurah dari pelupuk mataku. Aku merasakan belaian cinta dari tangannya di wajahku.
“Yuliana, aku kembali karena engkau. Aku memang bahagia. Namun, tanpamu aku belum sempurna,” ungkapnya sambil mengelap air mataku.
“Juan, wajahku selalu menyimpan wajahmu. Tak ada yang bisa menyempurnakannya selain dirimu seorang. Kini aku sadar bahwa Tuhan selalu adil untuk sebuah ketidakadilan di mata manusia. Kita dilahirkan dengan sebuah keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Tetapi aku yakin bahwa kita memiliki hati yang tulus mencintai satu sama lain. Juan, tetaplah menjadi kesempurnaanku,” bisikku padanya.
Di depan tangga rumah aku memeluk kesempurnaanku. Di sinilah aku meneteskan air mata kesedihan saat melihatnya pergi. Di tangga ini pula aku meneteskan air mata kebahagiaan saat dia kembali di pelukanku.
“Sayang, di luar sana banyak orang memanggilku vitiligo. Aku terpukul atas panggilan itu. Kamu tahu aku kuat ketika mengingat kata-katamu saat kita ditolak oleh banyak orang,” ungkap Juan.
“Aku lupa apa yang telah kukatakan padamu, Juan,” balasku.
“Panggil saya cacat. Yuliana, aku selalu menyimpan kata-katamu dalam hatiku. Ketika menangis bersama aku, engkau pernah berkata dan berteriak kepada mereka ‘panggil saya cacat’. Aku sadar bahwa suara kita yang menyerukan ‘panggil saya cacat’, mewakili seribu satu suara dari sesama saudara yang mengalami cacat seperti kita. Mereka melihat satu kekurangan yang tampak namun tidak melihat sembilan puluh sembilan kelebihan yang kita miliki. Salah satunya adalah doa kita bagi hidup mereka,” ungkapnya sambil merangkulku penuh cinta.
Sekian.
Tulisan ini sudah di publish di: https://www.kompasiana.com/