Oleh: Paulina Pabika
Perjalanan hidup setiap orang di muka bumi ini terkadang amat indah bagi mereka yang berbahagia serta memiliki keluarga yang berada. Sebaliknya bagi mereka yang tidak beruntung, mereka harus terus berjuang untuk mempertahankan hidupnya dengan bekerja keras, Begitulah Debora (23).
Ia adalah seorang mahasiswa Universitas Cenderawasih Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) semester IV.
Debora adalah anak dari keluarga yang sederhana, ayah dan ibunya bekerja sebagai petani .Namun, hal itu sama sekali tidak membuatnya putus asa. Dengan bermodalkan niat dan keinginan ia rela berjualan di pinggiran jalan, ia biasa berjualan di sekitar Perumnas 3, Waena.
Awal perjalan hidupnya di Jayapura ini terasa begitu rumit dengan keterbatasan finansial untuk menjamin kelangsungan hidupnya.” Awalnya saya merasa minder terhadap teman-teman saya, tapi apa boleh buat, tidak ada pekerjaan lain yang dapat saya kerjakan, hanya ini pilihan saya,” ungkap nya.
Bermodalkan uang seratus ribu rupiah, Debora yang akrabnya di panggil Desi ini biasanya mulai berjualan pada jam 16.30 sore sampai 21.00 malam setiap hari sepulang kampus ia akan bersantai di rumahnya beberapa jam kemudian ia akan pergi berjualan seperti biasanya.
Buah pinang yang ia peroleh biasanya ia beli di pasar dengan harga yang agak relative murah kemudian ia akan menjualnya dengan harga yang agak tinggi. Sedangkan penghasilan yang ia peroleh dalam sehari sekitar Rp150ribu – Rp200 ribu jika dikalikan dengan sebulan sekitar Rp4.500 ribu Penghasilan yang ia dapatkan tersebut ia gunakan untuk membayar uang sewa kos, untuk membeli keperluan sehari-harinya dan uang transport ke kampus.
Selain itu desi juga aktif dalam beberapa organisasi gereja dan ikatan, ia juga tidak lupa dengan setiap tugas yang diberikan oleh para dosen di kampus, ia akan mengerjakannya disela-sela kesibukannya. Penilaian yang diberikan oleh dosen dan temannya juga baik, dan ia juga memiliki kemampuan pendidikan yang cukup baik.
Semua itu membuat ia tidak terlalu berharap kepada kedua orang tuanya tapi, ia bertekad untuk menjadi anak yang mandiri yang suatu saat nanti bisa membayar utang-utang ayah dan ibunya walaupun hanya dengan menyelesaikan studinya.
Pada suatu hari, ia hendak pergi berjualan seperti biasanya. Tiba-tiba hand phonenya bordering, Desi terpaksa meninggalkan pinang yang akan dijual kemudian ia pergi menemui kakaknya. “Saya kaget ketika kakak saya mengajak saya untuk harus segera pulang ke kampung”, kata desi.
Sejak awal kakaknya tidak memberitahukan sebuah kabar dari kampung, tapi kakaknya hanya menyampaikan kalau mereka harus pulang untuk mengambil ijazah nya desi.
Setibanya di Wamena ia mendengar kabar dari orang-orang yang disampingnya kalau ibunda tercintanya telah di panggil Tuhan ke pangkuannya.
“Saya tidak tau apa yang terjadi selanjutnya, ketika terbangun saya sudah berada di tempat duka, tak ada sepatah katakun yang keluar dari mulutku, “ kata Desi.
Harapanpun sirna dalam sekejap, tidak ada lagi harapan orang sangat ia cintai harus pergi meniggalkannya. Ia berjanji untuk menepati janjinya pada ibunda tercinta untuk terus berjuang mencapai cita-citanya.
Kepergian sang bunda membuat ia harus lebih bekerja keras tanpa mengenal lelah. Sekembalinya dari kampung halaman setelah pemekaman ia kembali beraktifitas seperti biasa. “Tidak ada kata menyerah buat saya, saya akan menunjukan kalau saya bisa jadi yang terbaik untuk ayah dan ibu yang kini berada di surg,” tegas Desi.
Sampai saat ini, ia masih berjualan seperti biasa sambil mengejar cita-citanya. “Buah pinang yang membuat saya bisa bertahan sampai sejauh ini, semoga usaha yang saya tekuni ini berjalan dengan baik hingga usaha ini membuahkan Buah Pinang Sarjana,” Ungkap desi dengan penuh harapan.
___ The And ___