Jayapura, nirmeke.com – Papua, tanah tertimur Indonesia resmi menyandang status darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Status ini tentu saja tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang terjadi di Papua belakangan ini, yang mirisnya, sang pelaku merupakan orang terdekat korban.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Merauke, ayah kandung menghamili anaknya sendiri. Apalagi sang anak sudah melahirkan sebanyak dua kali. Kasus ini diketahui setelah ibu angkat korban melaporkan kejadian ini di Polsek Kurik pada awal Januari lalu.
Selain itu, pada kasus lainnya, seorang oknum prajurit TNI Yonif 757/Ghupta Vira Merauke berinisial Prada HT diduga melakukan pembunuhan terhadap seorang perempuan di Merauke pada awal Januari lalu.
Tak hanya di Merauke, kasus tindak pidana asusila di Kabupaten Mimika naik tajam sejak akhir 2021 lalu hingga dua bulan diawal 2022, terutama yang menimpa anak-anak sebagai korbannya. Akibat tingginya angka tindak pidana pencabulan ini, pihak kepolisian hampir setiap minggunya menerima laporan pelecehan seksual dari warga.
“Hampir tiap minggu ini kami menerima laporan maupun mengungkap kasus penganiayaan anak di bawah umur,” papar Kasatreskrim Polres Mimika, Iptu Berthu Haridika Eka Anwar, dikutip dari siaran pers Kominfo, Jumat (18/11).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jayapura Nur Aida Duwila mengatakan, kasus pelemahan dan kekerasan terhadap anak di Papua dalam kurun waktu 2019-2022 terus meningkat.
Kebanyakan kasus kekerasan dan kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang-orang terdekat korban karena tidak ada kesadaran dari para pelaku bahwa anak-anak perlu dilindungi karena mereka adalah generasi bangsa.
Menurut catatan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Provinsi Papua Barat dan Polda Papua Barat, ada lebih dari 400.000 anak berusia di bawah 18 tahun yang memerlukan perlindungan khusus.
Anak Papua Juga Jadi Korban Eksploitasi dan Nikah Din i
Dari jumlah itu, kondisinya masih cukup memprihatinkan. Berdasarkan hasil dari Diskusi Perlindungan Anak dan Permasalahannya yang diselenggarakan Komnas Perlindungan Anak dan Polda Papua Barat di Mapolda Papua Barat pada 28 April lalu, ditemukan banyak anak dieksploitasi sebagai pekerja di berbagai tambang-tambang di Manokwari.
Terdapat juga fakta di lapangan bahwa terdapat berbagai laporan sejumlah anak terpaksa tinggal dan dieksploitasi di rumah bordiran di Manokwari sebagai pekerja seksual komersial. Ada banyak juga anak-anak dinikahkan pada usia dini, anak dalam stunting, kurang gizi dan terhambatnya pertumbuhannya.
Dalam kunjungan kerja Komnas Perlindungan Anak di Sorong dan Manokwari pada 25-29 April 2022, banyak warga dan para pekerja media yang melaporkan sejumlah fakta derita anak dan perempuan yang penanganannya sangat lemah. Hal ini dipastikan langsung Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait melalui rilis tertulis pada 30 April.
Upaya Memutus Rantai Kekerasan Seksual Anak
Selain itu, penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual ini banyak mengalami kesulitan, terutama dalam memutus mata rantai pelanggaran hak anak.
Terutama penyelesaiannya yang melalui jalan damai dan adat yang difasilitasi tokoh adat bahkan institusi agama, sehingga banyak kasus diselesaikan tidak berpihak pada korban. Faktor inilah yang menyebabkan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Papua masih sangat lemah.
Tentu saja, Komnas Perlindungan Anak tak tinggal diam melihat fakta lapangan yang terjadi di tanah Papua. Komnas Perlindungan Anak memaparkan apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kasus-kasus ini.
Yang pertama adalah perlu dengan segera koordinasi antara perempuan dengan para kepala suku dan tokoh adat serta pimpinan sinodal gereja, pejabat pemerintah pengambil keputusan, pegiat perlindungan anak dan perempuan aparat penegak hukum yang dikoordinir kepolisian, Kejaksaan Agung dan pengadilan untuk menyamakan visi dan misi yang sama dalam penanganan kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual anak di tanah Papua.
Kedua, perlunya membangun gerakan perlindungan Anak berbasis keluarga dan kampung serta memanfaatkan Kampung Tangguh yang telah dibangun pemerintah dan Polda Papua, dengan melibatkan Bhabinkamtibmas, Karang Taruna dan aktivis gereja dan peduli anak.
Selain itu, pemerintah daerah juga harus menyediakan anggaran perlindungan anak dan perempuan yang cukup dengan program dan kegiatan berbasis desa dan kampung khususnya penguatan organisasi di pedesaan.
Terakhir untuk memutus rantai mata pelanggaran hak anak, perlu segera dibentuk Forum anak di setiap desa dan kampung sebagai pelopor dan pelapor. (*)
Sumber: Kumparan