Jayapura, nirmeke.com — Mulai 3 Maret 2023, Global Climate Strike (GCS) kembali digaungkan di Indonesia. Aksi menyuarakan permasalahan iklim yang diinisiasi anak-anak muda dari berbagai elemen terus bergulir dan dilaksanakan di 15 kota di Indonesia.
Selain di 13 kota, diantaranya Jakarta, dua kota lainnya, Solo dan Kutai Timur pada 5 dan 8 Maret 2023, juga termasuk di Papua. Aksi dalam rangka GCS di Jayapura dilaksanakan Jumat (3/3/2023) di kawasan Taman Imbi, Kota Jayapura, Papua.
Beragam persoalan menyangkut perubahan iklim dan dampaknya terhadap bencana alam dikemukakan dalam aksi yang diikuti puluhan orang pada pukul 15.00 WIB.
Dalam orasinya sejumlah aktivis lingkungan mengungkapkan kondisi darurat iklim yang terjadi saat ini juga terasa di Tanah Papua. Ekses dari perubahan iklim berdampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem melalui pemanasan global.
Aksi orasi maupun teaterikal GCS dilakukan untuk mengingatkan kepada semua pihak agar menjaga dan memelihara lingkungan mengingat dampak lingkungan terhadap ekosistem terasa nyata hingga saat ini.
Disebutkan dalam siaran pers, tahun ini akan menjadi pertaruhan masa depan anak-anak muda Indonesia. Pemilu 2024 akan menjadi penentu siapa pemimpin Indonesia dalam iklim kedaruratan mendatang. Generasi muda akan menjadi saksi, sekaligus menentukan apakah krisis iklim yang sedang kita alami bersama akan menjadi perhatian utama para politikus di Pemilu 2024.
Selama dua bulan pertama tahun 2023, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya sudah ada 152 bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim. Mulai dari banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, hingga kebakaran hutan.
Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengumumkan peringatan dini potensi terjadinya kekeringan terdah pada tahun ini di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan, kenaikan suhu rata-rata bumi sudah mencapai 1,2°C dan pada delapan tahun terakhir tercatat sebagai tahun-tahun terpanas. Kenaikan suhu global yang terjadi telah berdampak pada semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari sektor ekonomi, pangan, sosial hingga politik.
Fakta saat ini bumi sedang tidak baik-baik saja karena banyak yang akan meringankan. Krisis iklim telah melahirkan dampak katastrofe yang mengancam keberlangsungan hidup di bumi dan akan terus bertambah, mulai dari gagal panen, penyebaran wabah penyakit, peningkatan konflik sosial, dan kekerasan seksual. Hal-hal ini pada akhirnya menempatkan umat manusia berada dalam kondisi yang sangat genting.
Dipfano, aktivis Mapala USTJ menyatakan, isu krisis iklim dan berbagai dampaknya harus menjadi perhatian bersama mengingat banyak kasus telah melanda daerah dan negara lain.
“Kami dari UKM Mapala juga sangat peduli terhadap alam, dan menurut kami aksi ini juga merupakan peluang yang baik untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat dan teman-teman yang ada di Jayapura dengan harapan mereka dapat menyadari bahwa ini tanggung jawab kami bersama untuk menjaga alam Papua tetap hijau,” ujarnya.
Lanjut Dipfano, “Harapan saya pribadi saya tidak mau nasib buruk kota Jayapura, Papua, sama dengan Jakarta yang sudah tercemar. Kami sangat senang dapat mengikuti aksi ini.”
Riset Indikator Politik dan Yayasan Indonesia Cerah pada tahun 2021 menemukan sebanyak 82% anak muda perubahan di Indonesia sudah sadar dan tahu akan iklim. Apalagi, 4 dari 5 anak muda merasa bahwa pemerintah Indonesia belum melakukan upaya yang cukup untuk pengendalian perubahan iklim.
Berdasarkan survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), proporsi pemilih muda berusia 17-39 tahun diprediksi mendekati 60%, terdiri dari generasi Z (17-23 tahun) dan milenial (24-39 tahun).
Dalam melakukan aksi iklim, Dina Danomira, pendiri Papua Trada Sampah, juga menyampaikan pentingnya melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat adat.
“Perlu ada pengakuan bahwa masyarakat adat adalah garda depan penjaga alam dan lingkungan. Ilmunya sudah ada, bahkan sejak ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Tinggal diberikan izin, kesempatan, dan ruang yang aman agar masyarakat adat bisa mengeringkannya untuk menjaga kelestarian alam,” kata Danomira.
Sementara itu, Rafaela Xaviera, aktivis Jeda Untuk Iklim, menilai anak muda selalu menjadi sasaran yang didambakan politikus dalam meraih suara di ajang Pemilu.
“Setiap Pemilu, pemilih muda selalu menjadi pasar yang didambakan politikus. Kami harap, tidak ada lagi kebijakan maupun omongan tipu-tipu soal komitmen iklim. Tipu-tipu itulah yang kemudian menambah masalah baru,” ujarnya.
Lanjut Rafaela, “Aksi anak muda dalam Global Climate Strike ini merupakan pernyataan tegas bahwa anak muda kini mengutamakan pengendalian krisis iklim yang adil demi masa depan kami yang aman dari bencana. Pemilu 2024 akan menentukan nasib Indonesia selama lima sampai sepuluh tahun ke depan.”
Rafaela mengatakan, anak muda menolak dengan tegas dan bersuara untuk menghentikan kampanye hijau palsu dan gimmick yang dilakukan banyak politisi.
“Dalam aksi ini kami anak muda juga menolak dan memohon hentikan kampanye hijau palsu dan gimmick yang dilakukan banyak politisi partai hanya untuk membuat seolah-olah memprioritaskan lingkungan dan generasi muda alias greenwashing dan youthwashing . Kami ingin memastikan pengambil keputusan dan kebijakan melakukan tugasnya dan bertanggung jawab atas dampak kerusakan yang pernah dilakukan generasi sebelumnya,” ujar Rafaela.
Aksi untuk GCS 2023 di kota Jayapura diinisiasi sejumlah komunitas, organisasi, dan lembaga peduli lingkungan yang tergabung bersama melakukan kegiatan positif. Antara lain: Papua Trada Sampah, Rumah Bakau Jayapura, Mapala USTJ, BEM USTJ, Greenpeace Indonesia, Pemulung Sampah Jayapura, dan Komunitas #savelembahgrimenawa.