Oleh; Soleman Itlay
Nama “Wamena” ini seharusnya tidak digunakan sebagai ibu kota ataupun apapun juga. Karena pada hakekatnya itu salah diartikulasikan secara historis, mitologis dan filosofis tua yang pernah dimiliki di kota ini.
Saya pernah tinggal dengan orang tua Wenehule Huby, seorang kepala suku besar dari aliansi Mukoko di “Jantung Kota Dingin”, di Wesaput.
Dia adalah anak kandung dari mama Togaleke Itlay, seorang perempuan dari suku Yali yang kawin dengan ayahnya, yang pertama kali bertemu dengan seorang Belanda di pinggiran kali Wesak, yang kemudian ikut melahirkan nama “Wamena”.
Dia tidak sekolah, tidak pernah menempuh pendidikan tinggi, tidak tahu baca, tidak tahu tulis dan tidak tahu hitung juga. Tetapi perihal pengetahuannya tentang sejarah dan mitologi di kota ini sungguh tidak perlu diragukan lagi.
Seorang profesor, doktor, magister dan sarjana bertitel dan yang pernah menempuh pendidikan tinggi setinggi langit sekalipun, menurut saya, kalau bicara sejarah dan mitologi kota ini harus tunduk kepala kepada orang-orang tua, termasuk orang tua ini, Wenehule Huby.
Pengetahuan yang mereka miliki bukan pengetahuan palsu, bukan juga pengetahuan rekayasa apalagi imitasi. Tidak!
Pengetahuan empiris dan rasionalitas mereka adalah murni dan alamiah. Sungguh teruji di mata tetua adat, dapat dipercaya, diterima dan dipertanggungjawabkan secara alamiah maupun di permukaan umum–dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada kaitannya dengan pengetahuan yang didapatkan dari hasil transaksi pemikiran di bak “sampah” monopoli pendidikan monoton yang asing bagi mereka dan dijadikan sebagai pasar untuk jual beli ilmu pengetahuan dalam sebuah sistem yang dibangun sedemikian rupa dan amat kapitalistik.
Mereka mendapatkan pendidikan, pengajaran, pelatihan dan pembinaan secara spontan dan alamiah. Tentu saja itu menitikberatkan pada dunia lisan.
Dimana orang tua hanya bicara dan menceritakan, sedangkan anak-anak hanya mendengar, melihat, mengingat dan menghafal diam-diam.
Semua ada di kepalanya, walaupun orang tua dulu beritahu kepadanya secara lisan. Secara tidak langsung ini menunjukkan kelebihan dan kekuatan pikiran [orang-orang tua] kita yang luar biasa.
Saya termasuk orang yang mendapatkan pengajaran, pelatihan dan pembinaan dari proses pendidikan lisan itu.
Salah satunya saya pernah berguru secara tidak sadar pada seorang profesor, doktor dan ahli strategi perang yang bernama Wenehule Huby itu. Saya banyak dengar cerita darinya tentang “Wamena” satu ini.
Semasa mudanya pernah mengendalikan situasi di jantung kota dari berbagai serangan yang datang dari berbagai sudut kota, bahkan dari mana-mana, yaitu; timur, barat, utara dan selatan.
Dia pernah ada di posisi itu, mengendalikan kota ini dari segala macam ancaman dan bahaya yang menghantui aliansi Mukoko. Namun, dengan segala keahlian dan strategi yang dia maupun pendahulunya terapkan mampu mengendalikannya.
Biasanya, untuk mengendalikan itu, salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang kepala suku (kainj) adalah mengetahui akan sejarah dan segala sesuatu yang ada di wilayah kekuasaannya.
Tujuannya, agar segala sesuatu yang hidup dan mati yang ada dalam maupun di luar permukaan tanah, udara, kali dan lainnya mendengar, dan mendukung segala kehendaknya.
Kalau tidak didasarkan pada sejarah dan mitologi itu, maka sangat berbahaya. Bahayanya, bisa saja mereka diserang dan dihancurkan oleh pihak lawan ataupun ditimpakan bencana alam, kelaparan dlsb.
Dia tahu banyak hal tentang segala yang ada di jantung kota ini. Beberapa kali pernah menceritakan tentang nama-nama kali, tempat keramat, perbukitan, dan cerita di balik semua nama asli itu.
Dia tak hanya ingin agar nama ibu kota ini dikembalikan pada namanya yang sebenarnya, akan tetapi juga nama-nama kali, tempat, bukit, pegunungan dan jalan-jalan di dalam maupun di luar kota “Wamena* dikembalikan menurut namanya masing-masing–sesuai sejarah dan mitologi kuno.
Karena hanya dengan cara itu–mengembalikan nama-nama sesuai dengan sejarah dan mitologi, menurut dia, kita akan saling menghargai dan menghilangkan.
Dimana kita sebagai manusia menghormati dan menghargai Tuhan melalui karya di alam semesta, dan melalui pesan-pesan yang diturunkan lewat leluhur agar diberikan nama kali, tempat keramat, perbukitan, pegunungan dlsb.
Dia yakin bahwa dengan cara menghargai dan menghormati Tuhan, leluhur dan nenek moyang dengan cara demikian, maka mereka pun akan senang dan mendukung penuh apa yang sedang kita lakukan dan ingin capai di dalam kota ini.
Sebelum akhirnya meninggal dunia, dia pernah mempersoalkan nama “Wamena” sebagai ibu kota. Karena bagi dia itu tidak cocok dan bukan nama sebenarnya, walaupun nama itu melibatkan peran mamanya di balik peristiwa di belakang Museum Wesaput.
Nama ibu kota yang tepat menurut dia adalah Wio Silimo dan Agamua. Wio dan Agamua memiliki cerita masing-masing dan tentu saja bagi dia, itulah yang cocok untuk diangkat sebagai nama ibu kota.
Dari kedua nama ini yang lebih tenar ialah Agamua. Tetapi dia lebih suka menggunakan Wio Silimo. Karena baginya Wio lebih tepat ketimbang Agamua.
Sama-sama mempunyai sejarah dan mitologi. Akan tetapi bagi orang tua ini, Wio Silimo itu mengandung mitologi, sejarah dan filosofi dasar yang sangat kuat.
Bagi dia kalau orang menggunakan nama Wio atau Wio Silimo sebagai ibu kota, maka Tuhan, leluhur, enek moyang dan alam akan senang dan mendukung apa yang terjadi di kota ini.
Tatapi kalau tidak, terutama kalau kita membalikkan nama-nama kali, jalan, bukit dan lainnya, juga semuanya kita kasih nama dari luar dan yang asing, maka sebagus apapun keinginan kita, segala yang bisu dan terdiam di balik kota ini tidak akan pernah memberikan restu.
Yang ada pasti kita ini akan kehilangan sejarah, mitologi, filosofi, prestise, dan segala keagungannya. Untuk menjadi hari esok lebih baik dari hari ini atau masa lalu, harus dibangun diatas sejarah, mitologi dan filosofinya.
Wio atau Wio Silimo adalah nama ibu kota yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan kembali. Semoga kita ini semakin jaya, kokoh dan agung karena kita membangun diatas sejarah, mitologi, dan filosofi yang tepat.