Oleh: Benyamin Lagowan*
1. Pendahuluan
Tinjauan etimologis menjabarkan term pengkhianatan berasal dari kata dasar khianat, artinya perbuatan yang bertentangan dengan janji atau perbuatan tidak setia (KBBI V, 2022). Pada tulisan ini diksi pengkhianatan lebih dipilih dan digunakan untuk mendeskripsikan berbagai pengingkaran oleh pemimpin yang notabene dipilih oleh rakyat dengan beragam janji-janji politik semasa kampanye hingga pasca terpilih. Dimana seorang pemimpin selalu cenderung menjadi promotor yang dengan segala kewenangan dan kekuasaannya dapat mewujudkan harapan akan perubahan tertentu melalui berbagai narasi, janji dan visi misi menarik bagi rakyat. Jadi, poinnya adalah bahwa pengingkaran atas semua ucapan seorang pemimpin, merupakan pengkhianatan terhadap mandat rakyat yang dipercayakan melalui pengambilan sumpah janji sebagai pekerja bagi keterpenuhan kepentingan holistik publik.
Dalam konteks pengkhianatan Gubernur Lukas Enembe ini memang agak khas. Karena hampir semua pengingkaran dilakukan atas apa yang diucapkan oleh gubernur sendiri. Jadi dia yang bilang sesuatu selayaknya janji, lalu dia sendiri yang langgar/ ingkari. Istilah lainnya ialah pembohongan publik disertai pembodohan publik sebenarnya cukup tepat untuk melukiskan ini semua. Tetapi akan dipakai istilah pengkhianatan untuk lebih menunjukkan kultur pengingkaran atas kontrak politiknya bersama rakyat Papua yang jika dihitung sudah berulang kali terjadi. Memang, membahas ini sebenarnya tidak menarik, karena pengingkaran, pengkhianatan dan pembohongan serta pembodohan publik merupakan watak inheren para politisi dimana-mana. Karena bagi politisi, tiada kawan dan lawan abadi selain kepentingan yang abadi. Tetapi sebagai pemimpin yang dipilih oleh mayoritas rakyat selama 2 periode dengan komoditikan isu Papua merdeka dalam narasi “Enembe adalah gubernur terakhir Papua dll”, semestinya bisa memainkan etika politik populis dan santun untuk secara bertanggung jawab melaksanakan mandat dan kepercayaan rakyat yang telah didaulatkan.
Topik dan catatan ini mewakili hampir semua bentuk ekspresi kekecewaan dan kegetiran jiwa rakyat Papua yang tertuang di berbagai media sosial dan media massa, baik daring dan cetak dalam beberapa hari terakhir ini pasca Gubernur Lukas Enembe mendukung proses pemekaran Papua yang sementara didorong secara sepihak oleh rezim kolonial Jakarta [1]. Sekjen DPP Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Se-Indonesia (AMPTPI), Ambrosius Mulait adalah yang pertama melalui rilis persnya di suarapapua.com pada 21 Juni 2022, mengecam keras langkah Gubernur Papua tersebut. Apa yang melatar belakangi perubahan sikap politik gubernur Enembe tersebut masih menjadi tanda tanya. Tetapi secara faktual, pertama, sikap itu diambil pasca pengambilalihan dan pelantikan sejumlah karateker Bupati dan Walikota di wilayah Otonom Papua oleh pemerintah pusat yang mana berdasarkan isu yang beredar tidak sama sekali mengakomodir usulan gubernur Lukas Enembe dan kroninya [2]. Hal tersebut bisa dilihat dari tidak diundangnya gubernur dan MRP dalam surat undangan pelantikan karateker Bupati dan walikota oleh Mendagri. Kedua, pasca pemeriksaan Ricky Ham Pagawak sebagai terduga kasus Korupsi melalui gratifikasi [3]. Ketiga, perubahan sikap ini menandai kompromi politik atas tekanan dan intimidasi yang selama ini dilakukan pusat sebagaimana pengakuannya pada cnnindonesia pada 27 Mei 2022 lalu [4]. Tepat atau tidak alasan tersebut, disisi lain sikap Gubernur ini pun menunjukkan ketidaksinkronan pandangan politik dengan DPR Papua dan khususnya MRP yang tengah menggugat UU Otsus di Mahkama Konstitusi yang melegitimasi pemerintah kolonial Indonesia melakukan revisi sepihak dan mulai mengupayakan pemekaran wilayah Papua [5].
Sejak Gubernur Lukas Enembe menyatakan sikap mendukung upaya pemekaran wilayah (baca: daerah otonomi baru), maka selain menambah deret panjang catatan buruk gubernur Papua dengan manuver politiknya, juga menjadi sikap penghianatan atas harapan, aspirasi dan kehendak tulus rakyat Papua yang dimeteraikan dengan tangisan, darah dan nyawa sejak tahun 1960an hingga sekarang. Sikap politik yang tidak bijak dan tak konsisten ini kemudian menjadi potret nyata dari kualitas kepemimpinan ambisius yang dibalut narasi utopia apik: ingin mengukir sejarah peradaban orang Papua. Ini juga memberikan sebuah sintesa atas slogan gubernur moderat dan pluralis yang menembus perbedaan dengan kasih namun sarat ambiguitas. Dan bila keterpilihan LukMen pada 2012 dianggap telah mengangkat harkat dan martabat orang Papua-gunung, maka ini sebaliknya menjadi titik balik bahwa itu hanya wacana kosong dan nihil prestasi dan konsistensi, sebab justeru akan dikenang sebagai pelopor utama dari kehancuran permanen bangsa Papua. Ini sangat kontradiktif dengan budaya orang gunung, dimana sikap seorang bigman jelas: sebagai pemimpin orang gunung pasti bijak, berani pasang badan dan adil dalam sikap serta tindakan. Seorang bigman jika ada satu anggota masyarakat/klennya yang hilang atau mati dibunuh. Ia tidak segan-segan balik menyerang pihak musuh melalui perang (wim). Tidak pernah hanya banyak bicara. Apalagi bersekutu dengan para pembunuh anggota klen/masyarakatnya. Itu hal mustahil, tidak mungkin terjadi. Selain itu jika di lihat lebih jauh, sikap ini sama seperti perilaku kooptasi yang sedang terjadi di tubuh organ perjuangan ULMWP. Sungguh miris memang. Lebih-lebih pernyataan dan sikap Gubernur Papua tersebut menunjukkan bagaimana orang Papua gunung pertama pemecah mitos bahwa orang Papua-Gunung tidak bisa menjadi gubernur itu, seakan mengalami kemunduran, bahwa orang Papua-gunung memang benar-benar belum bisa, dan akhirnya seakan terbukti.
2. Review Legacy Para Pemimpin Nasionalis Sejati Papua
Pada tahun 1964 Gubernur pribumi pertama Irian Barat (nama Papua kala itu), Elizer Yan Bonay akhirnya mengundurkan diri dan lepas garuda ketika menyaksikan pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat (Netherland New Guinea) kepada otoritas pemerintah Indonesia dan pelaksanaan PEPERA akan dimanipulasi untuk memenangkan Indonesia [6]. Gubernur Bonai, relah menanggalkan tahta, jabatan dan kekuasaannya demi cita-cita luhur bangsanya untuk bebas dan merdeka. Ia tidak dapat menerima harkat dan martabat bangsanya diinjak-injak oleh rezim penguasa Kolonial Indonesia yang sejak masuk pertama kali, sudah bergelagat bagaikan hewan buas yang dilepaskan oleh Soekarno untuk memangsa rakyat bangsa Papua.
Pada tahun 1999 sejarah bangsa Papua mencatat hanya sosok Gubernur J.P Solossa yang berani membiaya memfasilitasi dan bergabung dalam tim 100 yang dipimpin oleh Tom Beanel dan Theys Eluay berangkat ke Istana negara bertemu Presiden B.J Habibie untuk meminta pamit atau merdeka [7]. Gubernur Solossa berani mengambil resiko itu karena kecintaan dan penghormatan kepada rakyatnya yang sudah terkonsolidasi lewat wakil-wakil mereka dalam Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI) [8].
Demikian halnya, Agus Alue Alua adalah ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) pertama, yang berani menggelar Musyawarah Besar (MUBES) MRP dan seluruh OAP pada tahun 2010 atas kegagalan 10 tahun implementasi Otsus dan menghasilkan 10 resolusi penting yang kesimpulannya menyatakan rakyat Papua ingin berpisah dari negara republik Indonesia melalui referendum atau pengakuan kedau-latan politik [9]. Jauh sebelum sikap Agus Alua itu, sikap nasionalis patriotik oleh orang Papua di Lapago mula-mula ditunjukkan oleh Abraham Iliokot Itlay yang merupakan putra pribumi pertama anggota DPRD Jayawijaya pada pemilu 1971. Abraham adalah seorang guru agama cum katekis Katolik didikan Belanda di Kota Silver City (Wamena) kala itu. Abraham mengundurkan diri karena ia tidak terima perlakuan rasis dan diskriminatif yang dialami oleh orang Wamena dari kaum pendatang. Semua aspirasi masyarakat pribumi yang disampaikannya ke DPRD selalu diabaikan. Justeru lambat laun, terlihat dan terdengar ejekan bahwa orang Wamena bodoh, pemalas, bau, tidak tahu mandi, monyet, primitip dll. Akhirnya ia memutuskan keluar dan mengundurkan diri dari posisi dewan lalu memimpin gerakan perlawanan bawah tanah untuk menggugat hasil PEPERA 1969 [10].
Keempat tokoh ini adalah contoh dari beberapa tokoh Politik Papua yang pernah berada dipusaran kekuasaan rezim kolonial Indonesia, sejak aneksasi hingga dekade lalu. Meski nasib setiap mereka berakhir berbeda-beda, namun ada legacy yang ditinggalkan bagi eksistensi perjuangan bangsa dan rakyat Papua. Maka mereka selalu dan senantiasa dikenang oleh sejarah, karena berani melawan ketidakadilan dan penindasan atas rakyat Papua tanpa gentar sekalipun nyawa mereka menjadi taruhan. Mereka tidak pernah mengkapitalisasi isu Papua merdeka demi kepentingan politik pribadi atau golongan. Mereka adalah pahlawan nasional bagi bangsa dan rakyat Papua.
3. Gubernur Lukas Enembe: “Bicara Lain Main Lain”
Sebagaimana perilaku penguasa Kolonial Indonesia di Jakarta yang gemar “tulis lain bikin lain”, Gubernur Papua lebih unggul sedikit karena lebih terampil dalam hal “bicara lain main lain”. Artinya antara pernyataan dan realisasi tidak pernah sejalan. Pernyataan yang dimaksud di sini tentunya adalah pernyataan-pernyataan (politis) yang sifatnya seolah berpihak pada aspirasi kepentingan dan kehendak rakyat Papua. Untuk mendeskripsikan itu, Alleb dalam tulisannya pada tahun 2020 di jubi. co. id berjudul “Inkonsistensi dan urgensi sikap Gubernur Papua Dalam Meresolusi Konflik Papua” sudah membahas ini sebagai sikap inkonsistensi Gubernur Papua [11]. Di bawah ini adalah beberapa kutipan tadi yang penulis kembali sadur dari pernyataan gubernur Enembe yang dinilai sebagai bentuk inkonsistensi yang mengerucut pada sikap pengkhianatan terhadap amanat dan mandat rakyat Papua; serta merupakan bentuk paling nyata dari “bicara lain main lain” tersebut.
a. Ancaman Melepas Garuda dan Mundur 2014
Gubernur Papua Lukas Enembe pernah mengancam Pemerintah Pusat bahwa dirinya akan mundur dari jabatan gubernur, apabila draf UU Otonomi Khusus Plus (disebut Draf 14) tidak diakomodir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam prolegnas DPR masa bakti 2009-2014. “Kemarin UU Otsus sudah kita bicara keras… Saya sampaikan kami datang dengan damai menyampaikan pasal krusial yang menyangkut politik sudah kita hapus sejak awal, kenapa pasal ekonomi yang kita perjuangkan terjadi perubahan banyak. Melihat itu saya langsung kembalikan, buka baju, letakkan lambang garuda di depan Mendagri. Jadi saya bilang, saya siap mundur kalau tidak mengakomodir aspirasi draf 14”, tegas Enembe kala itu sebagaimana dilansir suarapapua.com pada 17 Agustus 2014 [12].
Namun faktanya draf Otsus Plus tersebut tetap gagal/ tidak dimasukkan dalam prolegnas alias kandas. Jakarta rupanya keberatan dengan substansi Otsus Plus yang diduga hanya dicopy paste dari UU Pemerintahan Aceh. Jakarta juga keberatan karena ada pasal yang mengatur tentang referendum yang dimasukkan dalam salah satu pasal RUU Otsus Plus tersebut. Walaupun pasal yang mengatur tentang permintaan referendum itu kemudian dihapus atas permintaan Jakarta, sampai dengan masa berakhirnya pemerintahan Presiden SBY, nasib RUU Otsus Plus tamat dengan memiluhkan karena tidak pernah dibincangkan lagi. Ironisnya, penolakan Jakarta atas draf RUU Otsus Plus tersebut, tidak direspons dengan aksi melepas garuda dan pengunduran diri Gubernur Papua bersama ketua DPRP dan MRP sebagaimana pernyataan mereka sebelumnya. Gubernur justru menerima ‘harapan angin’ Jakarta bahwa RUU Otsus Plus itu akan dimasukkan dalam prolegnas DPR periode berikutnya. Akan tetapi apa yang terjadi? Sampai masa bakti DPR RI 2014-2019 berakhir, draf RUU Otsus Plus tersebut sirna dari perbincangan DPR bahkan oleh pemerintah Indonesia sekalipun.
Menanggapi itu, sekjen Gempar Samuel Womsiwor dkk dalam berita tabloidjubi [13] bertajuk “ Gertak Sambal Gubernur, DPRP dan MRP karena Otsus Plus Gagal” mengatakan bahwa Gubernur Papua, DPRP dan MRP hanya bikin ‘gertak sambal’ kepada pemerintah pusat. “Gubernur kalau Otsus gagal mau gantung burung garuda yang ada bilang mana? Lalu kenapa minta maaf kepada rakyat Papua karena Otsus plus gagal masuk prolegnas. Memangnya orang Papua minta itu jadi kah?”, tanya Alfa, aktivis Gempar lainnya. Selanjutnya menanggapi ancaman MRP untuk melumpuhkan aktivitas pemerintahan di tanah Papua jika Otsus Plus tidak diterima, Ismael salah seorang aktivis Gempar berkata: “Mana buktinya. Jangan hanya bikin gertak sambal kepada pemerintah pusat. Buktikan. Jangan hanya omong saja. MRP hari ini berjalan aman-aman. Tidak ada mogok. Pak Timotius harus buktikan di MRP”, tegasnya.
b. Melapor ke PBB Jika Ada Orang PAPUA Mati Lagi
Pada September 2018 di Kampung Harapan Sentani, Gubernur Papua sesaat sesudah acara syukuran atas pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Puncak, mengatakan bahwa jangan lagi ada orang Papua yang mati sia-sia. Apabila ada yang mati ditembak TNI/Polri, dirinya tidak segan-segan langsung melapor ke PBB. “Ko mau TNI kah, Polisi kah kalau bunuh orang Papua, saya langsung lapor PBB [14]”. Menurutnya populasi orang Papua sudah sangat sedikit, sehingga jangan ada lagi pembunuhan-pembunuhan yang dapat semakin menghabiskan jumlah orang Papua. Namun tak disangka, tak lama kemudian pernyataan tegas LE tersebut seperti angin lalu. Sebab hanya berselang dua bulan, 1- 2 Desember 2018, konflik Nduga pecah antara TPNPB dan TNI yang menelan banyak korban jiwa. Hingga pada saat itu sudah lebih dari 185 warga sipil tewas, 54.000 lebih masyarakat mengungsi di kamp-kamp pengungsian di Wamena-Lanny Jaya dan operasi militer masih berlangsung hingga sekarang. Tidak ada yang tahu secara pasti kondisi akhir di Nduga karena minimnya akses pers dan aktivis kemanusiaan. Lalu, guna mempertanggungjawabkan pernyataannya sebagai pemimpin rakyat Papua, rakyat Papua bertanya: apakah LE sudah melapor ke PBB? Kapan? Skema penyelesaian model apa yang sudah dipresentasekan: apakah perundingan Jakarta dengan OPM-ULMWP untuk referendum atau Otsus Plus? Tidak ada yang tahu. Konflik Nduga belum berakhir, meletus lagi aksi rasisme di Surabaya yang kemudian mengeksitasi demo besar-besaran yang menelan puluhan korban orang asli Papua dari Sorong, Manokwari, Fakfak, Deiyai, Jayapura, hingga Wamena pada tahun 2019. Dengan melihat fakta-fakta konflik seperti ini, maka sekali lagi pertanyaannya: apakah Gubernur Papua yang terhormat sudah memberikan laporan ke PBB untuk kemudian segera digelar sebuah forum perundingan segitiga?
c. Dialog Internasional Difasilitasi Pihak Ketiga
Saat ditanya wartawan tirto.id, Gubernur LE menyatakan bahwa untuk menyelesaikan persoalan Papua, dibutuhkan dialog internasional yang difasilitasi pihak ketiga yang netral–sebagaimana yang dilakukan Jakarta terhadap GAM tahun 2005 [15]. Lukas juga menyatakan bahwa orang Papua tidak membutuhkan pembangunan, tetapi kehidupan yang layak. Gubernur menyatakan bahwa pemerintah Provinsi Papua bersama Provinsi Papua Barat sedang menyiapkan rencana dimaksud. Namun, hingga sejauh ini progress dari pernyataannya belum diketahui publik Papua, padahal eskalasi kekerasan dan jatuhnya korban warga sipil sebagai dampak persoalan laten politik ideologis terus terjadi. Apakah itu hanya sebatas wacana kosong? Rakyat Papua sedang menunggu. Apalagi disaat mencuatnya wacana revisi Otsus hingga munculnya wacana DOB saat ini, ketegangan dan konflik makin tak terhindarkan. Tetapi Gubernur justeru mendukung langka pemerintah pusat untuk memekarkan provinsi Papua menjadi 7 Provinsi baru.
d. Tuntutan Referendum Saat Demo di Kantor Gubernur Papua
Kamis, 19 Agustus 2019, ribuan rakyat Papua tumpah ruah ke jalan menggelar long march dari Sentani, Abepura, Kotaraja hingga seluruh kota Jayapura, Keerom dan Sarmi menuju kantor gubernur Papua. Dalam orasi yang dipimpin BEM Uncen dan BEM se-Kota Jayapura bersama seluruh OKP itu menuntut referendum (walaupun pernyataan sikap yang dibacakan pimpinan mahasiswa tidak tegas). Gubernur Enembe yang kala itu mendengar aspirasi tersebut menyatakan akan meneruskannya kepada pemerintah pusat di Jakarta. Gubernur berjanji dan meyakinkan massa aksi bahwa semua aspirasi tersebut sudah diakomodir dan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, dirinya bersama Ketua DPRP dan MRP yang juga hadir saat itu, siap bertemu Presiden Jokowi untuk menindaklanjutinya. Juru bicara internasional KNPB yang hadir ketika itu menyatakan bahwa gubernur adalah rakyat, kita semua sama-sama rakyat yang sedang berada di bawah sistem kolonialisme Indonesia, maka sudah saatnya gubernur mendengar suara rakyat; mendengar apa yang mereka mau. Gubernur saat itu menyatakan bahwa tugasnya sebagai gubernur sudah selesai. Oleh karena itu, ketika Otsus berakhir ia akan mengatakan kepada pemerintah pusat, agar mendengar apa yang rakyat Papua inginkan. “Tugas saya sudah selesai, selanjutnya kembali kepada rakyat Papua, apa yang rakyat Papua mau, itulah yang harus di dengar oleh pemerintah Pusat,” ketusnya kala itu.
Namun, sebulan kemudian, ketika mengeluarkan imbauan kepada mahasiswa eksodus, Gubernur Enembe menyatakan Papua adalah bagian sah dari NKRI dan final. Ia justru dengan nada tegas mengatakan mahasiswa eksodus tidak usah bicara referendum lagi di Papua karena itu percuma [16]. Enembe seolah-olah lupa bahwa usulan referendum sebelumnya pernah disebutkan oleh tim asistensi RUU Otsus Plus yang diperju-angkannya sendiri pada 2014. Ia juga berpura-pura amnesia, padahal saat demo damai di kantor gubernur Papua, seluruh perwakilan mahasiswa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan yang berorasi menyatakan secara langsung bahwa referendum merupakan satu-satunya solusi demokratis bagi rakyat Papua setelah kegagalan Otsus 2001. Gubernur Papua harusnya sadar bahwa setiap pernyataan yang keluar dari mulutnya di era ini akan senantiasa terekam baik oleh media massa, masyarakat, alam Papua, dan tulang-belulang rakyat tak berdosa. Maka sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, ia memiliki kewajiban moral dan iman untuk mempertanggungjawabkan setiap ucapannya secara baik dan konsisten.
e. Menolak Pemekaran Tetapi Terima Lagi
Pada 28 Mei 2022 Gubernur Enembe menyatakan bahwa rakyat Papua menolak pemekaran wilayah Papua [17]. “Tidak ada cukup orang di sini (Papua), untuk membuat provinsi-provinsi baru”, kata Gubernur Enembe seperti di kutip suara.com dari reuters. Demikian pula ketua MRP, Timotius Murib menyatakan penolakannya dengan tiga alasan yaitu saat ini Indonesia sedang berlakukan moratorium, pemekaran ini tidak ada kajian ilmiah dan pemekaran tidak menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun, hanya berselang 2 minggu kemudian, sikap itu berubah. Pada 17 Juni, Gubernur Papua menemui Mendagri dan menyetujui proses pemekaran wilayah Papua menjadi 7 provinsi, alasannya pemekaran wilayah sudah di dorong sejak tahun 2014 [18]. “Harapannya ketika pemekaran ini terjadi, maka otomatis diikuti dengan percepatan pembangunannya dan kebijakan anggarannya sebagaimana kemauan pemerintah pusat,” ucap Enembe kepada antaranews.com.
4. Kesimpulan
Sikap dan tindakan Gubernur Lukas Enembe yang berubah-ubah (inkonsisten) dengan ‘bicara lain main lain’ mungkin dapat mengambarkan betapa intensifnya tekanan yang barangkali sering dihadapi sebagaimana pernyataannya bersama amnesti internasional pada bulan lalu. Akan tetapi sebagai wakil rakyat, pemimpin politik dari rakyat Papua (bigman), Gubernur Enembe memiliki kewajiban moril untuk mengutamakan semua aspirasi rakyat Papua mendahului kepentingan apapun. Jika memang ada tekanan dan intervensi yang berlebihan dari elit nasional, mestinya bisa disampaikan secara terbuka kepada publik agar rakyat Papua dapat mengambil sikap. Akan tetapi jika perubahan sikap yang bernuansa inkonsistensi ini bila terus terjadi begitu saja dan lebih diwarnai kontradiksi kepentingan politis, maka tidak lain semua upaya dan sikap populis seolah memihak rakyat selama ini hanyalah sandiwara belaka. Oleh karena itu, perubahan sikap Gubernur Enembe yang mendukung sikap Jakarta dalam memekarkan Papua tidak lain adalah sebuah pengkhianatan (sebagaimana pernyataan Sekjen AMPTPI) terhadap seluruh entitas rakyat Papua.*
* Penulis Merupakan Aktivis Mahasiswa Papua
Kepustakaan
1.Makawaru, (2022). Mendagri dan Gubernur Papua Sepakati Tujuh Pemekaran Provinsi. Diakses pada 17 Juni 2022 dari https: //papuainside.com/mendagri-dan-gubernur-papua-sepakati-pemekaran-tujuh-provinsi /html
2.Rzr/Pmg, (2022). Tito Lantik 5 Pejabat Bupati dan Walikota di Papua. Diakses pada 3 Juni 2022 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220527185935-20-801978/tito-lantik-5-penjabat-bupati -dan-wali-kota-di-papua/amp
3.Ade/Nat, 2022. RHP Dianggap Tidak Merugikan Negara. Diakses pada 20 Juni 2022 dari https://www. Cenderawasih pos.jawapos.com/beritautama/14/06/2022/rhp-dianggap-tidak-merugikan-keuangan -negara/amp/html
4.Iam/Fra, (2022). Gubernur Papua Minta Perhatian Jokowi: Setiap Hari Saya Diintimidasi. Diakses pada 19 Juni 2022 dari http://amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20220527183851-32-801957/gubernur-papua-minta-perhatian-jokowi-setiap-hari-saya-diintimidasi/amp
5.Riana Friska, (2022). Tak Dilibatkan Revisi UU Otsus Papua MRP Gugat Jokowi dan DPR ke MK. Diakses pada 20 Juni 2022 dari https://www. nasional.tempo. co/ amp/1473833/tak-dilibatkan-pembaha san-revisi-uu-otsus-papua-mrp-gugat-jokowi-dan-dpr-ke-mk/html
- Bdk. Postingan laman Facebook atas nama PapuaPapua pada 18 Juli 2012 berjudul: E.Y.Bonay Gubernur Termuda Dalam Sejarah Provinsi Papua.
7.Tokoh Indonesia. 2005. Wafat Saat Bertugas. Diakses pada 20 Juni 2022 dari http://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/ wafat – saat-bertugas/
8.Ibid, Wafat Saat Bertugas
9.Yoman Socrates Sofian. 2012. Otonomi Khusus Papua Telah Gagal. Jayapura: Cendera-wasih Press. pp 142-145
10.Asso Mazmur. 2015. Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Asal Jayawijaya. Jayapura: Penerbit Deiyai
11.Marten Timotius, (2019). Inkonsistensi dan Urgensi Sikap Gubernur Papua Dalam Meresolusi Konflik Papua. Diakses pada 19 Juni 2022 dari https://jubi.co.id/ inkon sistensi-dan-urgensi-sikap-gubernur-papua-dalam-meresolusi-konflik-papua/amp/
12.Belau Arnold, (2014). Gubernur Papua Ancam Mundur Jika RUU Otsus Plus Tidak Diakomodir. Diakses pada 21 Juni 2022 dari http://suarapapua. com/ 2016/ 01/29 /gubernur-papua-ancam-mundur-jika-ruu-otsus-plus-tidak-diakomodir /amp?
13.———(2015). “Gertak Sambal” Gubernur, DPRP dan MRP Karena Otsus Plus Gagal. Diakses pada 20 Juni 2022 dari https:// jubi.co.id/gertak-sambal-guber nur-dprp-dan-mrp-karena-otsus-plus-gagal/amp/
14.Wally Engelbert, (2018). Gubernur Enembe: Jangan Lagi Ada OAP yang Mati Sia-Sia. Diakses pada 20 Juni 2022 dari https://jubi.co.id/gubernur-enembe-jangan-lagi-ada-oap-yang-mati-sia-sia/html
15.Abdi Alfian Putra, (2019). Menunggu Dialog Jakarta Papua: Referendum atau Otsus? Diakses pada 20 Juni 2022 dari http://amp.tirto.id/menunggu-dialog-jakarta -papua-referendum-atau-otsus-ehfv
- Papua.go.id, (2019). Gubernur : Papua Sudah Final Bagian dari NKRI. Diakses pada 20 Juni 2022 dari http://www.papua.go.id/view-detail-berita-6862/gubernur-papua-sudah -final-bagian-dari-nkri.html
17.Jemadu Liberty, (2022). Gubernur Lukas: Rakyat Papua Tolak Pemekaran. Diakses pada 19 Juni 2022 dari http:// amp. Suara news.com/amp/news/2022/05/28/070500/gubernur-lukas-rakyat-papua-tolak-pemekaran/html
18.Qadri Pratiwi, (2022). Mendagri dan Gubernur Papua Menyepakati Pemekaran Provinsi. Diakses pada 19 Juni 2022 dari http://m.antaranews.com/amp/berita/2947417/mendagri-dan-gubernur-papua-menyepakati-pemekaran-provinsi/html