Jayapura, nirmeke.com – Gubernur Papua Lukas Enembe menolak rencana Pemerintah Indonesia membentuk provinsi baru di wilayah Timur, Papua. Penolakan Gubernur Papua Lukas Enembe tersebut mengacu pada kelayakan wilayah yang nantinya akan dibentuk provinsi baru. Alasan Gubernur Lukas Enembe menolak rencana pembentukan provinsi baru karena kondisi kemiskinan.
Anggota DPR mengumumkan pada April bahwa mempertimbangkan untuk menambahkan tiga provinsi baru di wilayah tersebut, sehingga totalnya menjadi lima. Pengumuman itu memicu protes dari orang Papua di beberapa kota atas apa yang mereka lihat sebagai perambahan pemerintah pusat ke wilayah yang kaya sumber daya itu.
Gubernur Lukas Enembe mengatakan bahwa tidak ada cukup sumber daya untuk menjalankan provinsi baru dan bahwa orang Papua tidak dikonsultasikan secara memadai tentang rencana tersebut.
“Hanya sedikit orang kami di sini untuk membuat provinsi baru,” katanya, seraya menambahkan bahwa blok administratif baru dapat menyebabkan masuknya orang dari luar Papua, Jumat (27/5/2022).
Diketahui, Papua dan Papua Barat membentuk bagian barat pulau New Guinea, dengan luas daratan yang sebanding dengan Swedia dan populasi 5,4 juta.
Wilayah tersebut telah mengalami perjuangan kemerdekaan selama beberapa dekade sejak referendum 1969 melihatnya dimasukkan ke dalam Indonesia. Para kritikus mengatakan pemerintah pusat telah gagal mengembangkan wilayah tersebut, yang dibagi menjadi dua provinsi pada tahun 2003 dan memberikan dana kesejahteraan khusus.
Provinsi Papua dan Papua Barat secara konsisten menempati peringkat terendah di negara ini dalam beberapa indikator ekonomi seperti indeks pembangunan manusia.
Made Supriatma, seorang peneliti keamanan di ISEAS – Yusof Ishak Institute di Singapura, menyuarakan keprihatinan Enembe, mengatakan bahwa pendidikan yang buruk berarti tidak cukup personel yang memenuhi syarat untuk menjalankan provinsi baru.
Perwakilan penduduk asli Papua menentang rencana pembentukan provinsi baru, dengan mengatakan itu “tidak akan membantu orang Papua.”
“Ini adalah bentuk kekerasan negara yang berusaha menghapus kehidupan orang Papua,” kata pemimpin perwakilan Timotius Murib kepada Reuters bulan lalu.
Seorang juru bicara kementerian dalam negeri negara itu tidak menanggapi permintaan komentar. Kepala Menteri Keamanan Mahfud MD mengatakan 82% orang Papua menginginkan pemisahan administratif, tetapi angka ini telah dipertanyakan oleh perwakilan adat. (*)
Sumber: https://manado.inews.id/