Jakarta, nirmeke.com – Memperingati 24 Tahun Reformasi Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua telah melakukan aksi Bersama GSBI, SDMN, GMNI Jaksel, GMNI Jakpus, GMNI Sukabumi, GMNI Papua, PMII Unas, PMII Pusat, Pembaru Jakarta. Dengan tema “Terus Perkuat Persatuan Gerakan Kelas Buruh dan Rakyat, Lawan Seluruh Kebijakan Rezim Anti Rakyat, dan Menangkan Tuntutan Rakyat “.
Selain itu Petisi Rakyat Papua juga bergabung dengan 9 organisasi di antarannya buru, tani. mahasiswa dengan tema Galang Persatuan Rakyat Sudahi Kekuasaan Oligarki telah melakukan aksi depan Patung kuda, Jakarta dengan tujuan aksi di Istana Presiden.
“Aparat melarang kami aksi dengan menutup pintu tujuan ke istana sehingga masa aksi melakukan demostrasi depan patung kuda,” kata Ambrosius Mulait,” Sekjen AMPTPI, melalui release persnya yang di terima media ini. Sabtu, (21/5/2022).
Kata Mulait, aksi bersama ini mengangkat berbagai isu sosial, lebih pada dampak UU Omnibus Law terhadap kelas bawah, di mana kebijakan pemerintah Jokowi yang berdampak buruk dalam kehidupan rakyat kecil harga bahak pokok, persoalan agraria, dan hak-hak buru yang tidak dipenuhi.
“Sesuai dengan kesepakatan aksi kami berjalan baik, ketika kami long march IRT Monas ke arah Patung kuda aparat sudah mengerakan pasukan ke arah masa aksi dan hadang kami, saat kami orasi depan patung kuda aparat mulai memprovokasi massa aksi dengan alasan surat, ijin, padahal syarat demostrasi hanya surat pemberitahuan bukan surat izin,” ujar Mulait yang juga Mantan Tapol Papua.
Pihak polisi gabungan dari Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya, mulai memaksakan massa untuk hentikan aksi padahal sudah memberikan surat pemberitahuan aksi bersama GSBI, SDMN, GMNI Jaksel, GMNI Jakpus, GMNI Sukabumi, GMNI Papua, PMII Unas, PMII Unsat, Pembaru Jakarta.
“Ketika massa aksi susul datang mau menjelaskan justru aparat menekan untuk memisahkan masa aksi Papua dengan massa aksi lainnya, karena situasi semakin memanas sehingga pendamping hukum dari Peradi melakukan negosiasi tetapi aparat respon cara bentak-bentak padahal pengacara sudah menjukan ID card. Dalam aksi kali ini polisi menujukan gaya premanisme terhadap sesama penegak hukum yang mana mau menjelaskan persoalan surat pemberitahuan yang dijadikan alasan untuk bubarkan massa aksi secara paksa dan lainnya, pihak aparat tidak punya itikad baik terhadap pengacara yang mendampingi massa aksi buru, tani, dan mahasiswa Papua yang tergabung dalam PRP,” katanya.
Mulait menjelaskan hal ini menujukan buah dari 24 reformasi itu tidak berbeda dengan situasi orde lama di mana menggunakan aparat untuk membungkam suara-suara rakyat Indonesia di mana hal tersebut jamannya Jokowi melalui aparat hendak menunjukan kepada orang Papua dengan cara membubarkan paksa, padahal hanya suara, pakai megafon kok takut ? jangan alergi dengan suara sebab undang-undang menjamin setiap orang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
“Dalam aksi kami juga menyoroti soal dampak onimbus law dan turunannya terhadap agraria, laju investasi asing terhadap rakyat, Indonesia maupun Papua. Untuk mewujudkan kepentingan ekonomi kapitalis pemerintah Jokowi hendak merevisi UU Otsus secara tergesa-gesa dan sekarang dorong pemekaran di Papua yang mana untuk memberikan akses masuk investasi asing, transmigrasi, masuk ke Papua yang mana akan merusak hutan, tanah adat rakyat Papua,” kata Mulait.
Lanjutnya, Daerah otonomi Baru (DOB) juga kepentingan pemerintah pusat untuk mendropkan militer secara besar-besaran ke Papua demi pengamanan investasi sebab kepentingan pemerintah jelas melalui pertemuan G-20 bagian dari agenda Kapitalisme internasional untuk mereguk hak-hak rakyat tertindas, maka rakyat Papua yang sadar menolak, menentang kebijakan pemerintah Indonesia dengan paket Otsus dan DOB di west Papua karena rakyat Papua, mengetahui kedok Jakarta dengan dalil kesejahteraan tetapi dibalik programOtsus dan DOB merupakan kebijakan penjajahan, pendudukan di Papua.
“jaman Jokowi orang Papua dibunuh dengan kebijakan, selain pendekatan militeristiknya, aparat terus menembaki rakyat Papua, ( situasi ini dialami oleh rakyat Nduga, Intan Jaya, Maybrat, Puncak Papua) maka wajar saja Papua penuh pelanggaran HAM selain itu tidak ada satu pun penyelesaian pelanggaran HAM oleh pemerintah Indonesia, walaupun Jokowi pernah janji menyelesaikan HAM di Papua tapi tipu orang Papua, karna hasilnya hanya janji di atas janji. Ketika orang Papua kritisi pemerintah justru aparatnya mengkriminalisasi, memenjarakan orang Papua,” ujarnya.
Sehingga kata Mulait, selama 24 Tahun reformasi dikorupsi oleh oligarki yang haus atas kekerasan dan kekuasaan, buah dari reformasi pemerintah terus menjajah rakyatnya sendiri dengan berbagai kebijakan, baik terhadap buruh tani dan orang asli Papua. (*)