Jayapura, nirmeke.com – Sejumlah organisasi kepemudaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengkritik tindakan Represif aparat keamanan hingga berujung pada pembubaran paksa dan penangkapan sejumlah aktivis yang dinilai membungkam hak demokrasi menyampaikan pendapat di muka umum secara damai bagi masyarakat Papua.
Sementara itu Elsham Papua menyikapi perlakuan represif Aparat Keamanan dalam penanganan demonstrasi tolak Otonomi Khusus (Otsus) dan Daerah Otonomi Baru (DOB) 10 Mei 2022 di Jayapura sangat berlebihan dan bungkam ruang demokrasi.
Direktur Elsam Papua Pendeta Metheus Adadikam, S. Th mengatakan Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, maupun tulisan secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hakhak Asasi Manusia.1 Negara Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia (UU) Nomor 9 Tahun 1998 (9/1998) Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum 2 telah menjamin hal ini. Namun pada kenyataanya pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dimuka umum di Papua masih menjadi salah satu isu dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Papua,” katanya melalui rilis Elsam Kamis, (12/5).
Lanjutnya, tindakan juga secara berlebihan seperti mobil water cannon, menembakan gas air mata, menembakan peluru karet, menggunakan pisau/sangkur, melakukan pemukulan dengan tongkat kayu dan tameng, menendang, menginjak dan melakukan pengejaran kepada peserta aksi.
“Karena itu Elsham Papua meminta kepada kepolisian sebagai penegak hukum untuk memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi di Tanah Papua dan Stop melakukan kekerasan dan represi terhadap massa aksi yang melakukan demonstrasi damai diatas Tanah Papua,” katanya.
Selain itu Elsam meminta, Polisi baru yang diterjunkan dalam penanganan aksi demonstrasi harus diberikan pendidikan tentang Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi.
“Menghentikan penggunaan alat-alat kepolisian yang sangat militeristik dalam penanganan aksi demo damai di Tanah Papua 5. Hentikan militerisasi institusi Polisi di Tanah Papua,” katanya.
Di tempat terpisah, Alboin Samosir selaku Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh pihak keamanan dan terkesan berlebihan dalam mengamankan aksi massa.
“Tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan menjadi bukti betapa pemerintah anti terhadap kritikan dan sedang menutup pintu demokrasi yang sesunguhnya harus dijunjung tinggi oleh pemerintah dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik,” jelasnya.
Ia menuturkan, pada dasarnya setiap warga negara indonesia tanpa terkecuali dijaga dan dilindungi haknya dalam menyampaikan pendapat. hal ini terwujud dalam Pasal 5 UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan dan Pasal 25 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Berlandaskan perlindungan ini sudah patut dan seyogianya pihak keamanan dalam menghadapi massa aksi massa dapat bertindak persuasif dan humanis dengan tetap membiarkan para demonstran menyampaikan pendapatnya di muka hukum dengan menghormati pranata yang ada,” ujarnya.
Oleh karena itu, lajutnya perlu ada evaluasi di tubuh pihak keamanan untuk lebih memperhatikan hak-hak para demonstran yang ingin menyampaikan permasalahan yang sedang mereka alami. Sehingga isu dan substansi yang mereka suarakan dapat tersampaikan dengan baik dan kemudian tidak tertutupi oleh tindakan represif yang dilakukan oleh pihak polisi.
berkaitan dengan aksi yang disuarakan oleh mahasiswa dan masyarakat Papua tentang penolakan terhadap Daerah Otonomi Baru, Alboin menyampaikan,
Ia mengatakan sudah seharusnya pemerintah mendengarkan dan memperhatikan aspirasi yang telah disampaikan oleh warga Papua. Sesuai dengan amanat Pasal 76 ayat (1) UU No 2 tahun 2021 dimana pemekaran wilayah harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia,kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
Dimana hal ini hanya bisa terwujud apabila terjadi musyawarah mufakat antara pemerintah pusat dengan MRP, DPRP, dan tokoh-tokoh Papua. Namun sampai saat ini terdapat nuansa sentralistik terhadap daerah otonom Papua dan Papua barat dan ingin mengabaikan peran Majelis Rakyat Papua dalam memberikan pertimbangan dan masukan dalam pembentukan daerah otonomi baru.
“Tentu saja hal ini akan merugikan masyarakat Papua dimana secara antropologis, sosial, dan budaya, masyarakat papua lebih mengerti apa yang saat ini mereka inginkan. Dan Di tengah situasi pemerintah yang sedang memoratorium pemekaran di seluruh Indonesia , tetapi bersikap lain dengan Papua dan Papua Barat tentu saja meninggalkan sejumlah pertanyaan dimana pemekaran wilayah ini rawan ditunggangi oleh pihak-pihak lain dan di tengah situasi keuangan negara yang belum sepenuhnya pulih, maka wacana ini harusnya dipertimbangkan kembali.” ujarnya. (*)