Jayapura, nirmeke.com – Pemerintahan Jokowi saat ini memandang Papua dengan cara kaku sehingga persoalan masalah kekerasan di Papua terus mengulang sebab Papua memiliki memori passionisme yang panjang.
Kebijakan yang di buat negara untuk mensejahterakan rakyat Papua malah membuat rakyat Papua marah sebab kebijakan yang diambil negara adalah kebijakan rasis, otoriter melalui perubahan kedua UU Otsus Papua dan Pemekaran DOB.
Hal tersebut disampaikan Ambrosius Mulait, Sekjen AMPTPI, Jumat, (22/4/2022). Ia menilai negara terus memaksakan kebijakan atas nama pembangunan dan kesejahteraan, namun nyatanya rakyat Papua saat ini terus menolak semua kebijakan tersebut.
“Kebijakan Otsus dan Pemekaran DOB di Papua rasis dan memaksakan kehendak oleh pemeritahan Jokowi, sebab kebijakan tersebut tidak akan menjawab rintihan penindasan, penderitaan rakyat Papua selama 60 tahun setelah dilakukan aneksasi paksa kedalam NKRI,” tegas Mantan Tapol Papua ini.
Lanjutnya, Persoalan Papua tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan militer, apalagi Jendral Andika Perkasa mengubah pendekatan Menagkawi diubah dengan Cartens
“Inikan nama saja yang diubah pendekatan yang dilakukan militer dalam pelaksanaanya sama saja, tidak merubah keadaan malah masih ada korban yang berjatuhan,” kata Mulait.
Sedangkan aparat memanfaatkan mahasiswa Papua diluar Papua untuk sosialisasi operasi Cartens di Jawa Barat Bandung, Jakarta walaupun pelaksaan operasi Cartens di Papua kenapa tidak dilakukan sosialisasi kepada masyarat di Papua.
“Praktek operasi militer di Papua tapi sosialisasi di Jawa Barat itu konyol atau pembenaran atas tidakan pelanggaran HAM di Papua. Orang Papua tidak bisa dibodohi lagi dengan cara-cara busuk sebab orang Papua memiliki harkat dan martabat telah ikuti sejak lama,” ujarnya.
Kebijakan Otsus dan pemekaran akan memakan korban jiwa, senjata api aparat akan terus memakan korban rakyat Papua, meskipun rakyat Papua menuntut negara untuk menegakan harkat dan martabat OAP namun akan dibalas dengan operasi militer.
Laporan terbaru Amnesty International Indonesia mengungkapkan, 95 warga sipil di Papua menjadi korban pembunuhan di luar hukum dari 2018 hingga 2021.
Menurut Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, pelaku pembunuhan di luar hukum itu umumnya diduga aparat keamanan.
“Jumlah warga yang dibunuh oleh aparat negara mayoritas adalah orang asli Papua. Jumlah ini seluruhnya merupakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang asli Papua dengan jumlah 94 orang. Sedangkan, bukan orang asli Papua ada satu korban warga sipil,” kata Usman dalam konferensi pers daring, Senin (21/3).
Usman memaparkan, pada tahun 2018 tercatat ada 12 kasus dengan korban 18 orang, sementara tahun 2019 ada 16 kasus dengan korban 32 orang.
Masih menurut Usman, pada tahun 2020 ada 19 kasus dengan jumlah korban 30 orang dan pada tahun 2021 ada 11 kasus dengan korban 15 orang. “Ini semuanya dilakukan oleh aparat keamanan negara,” ujarnya.
Usman menjelaskan, operasi aparat keamanan militer menimbulkan paling banyak korban, yakni 37 orang, diikuti oleh operasi Polri dengan jumlah korban 17 orang, dan operasi gabungan TNI-Polri dengan korban 39 orang. Aksi petugas penjara dilaporkan mengakibatkan jumlah dua warga sipil tewas.
“Kalau kita lihat per tahun dibandingkan siapa pelakunya. Maka kita lihat di dalam kasus-kasus yang dibagi per tahun untuk tahun 2020 banyak dilakukan oleh aparat militer. Kalau tahun 2019 banyak dilakukan oleh aparat kepolisian, demikian pula di tahun 2018. Sementara di tahun 2021 masih didominasi oleh aparat militer,” ungkapnya. (*)