Oleh: Soleman Itlay
Sebelumnya saya hanya ikuti masalah “jalan kolam-kolam–Jayapura-Depapre (pelabuhan Petik Emas) itu dari media massa. Salah satunya dari Facebook (Info Kejadian Kabupaten/Kota Jayapura).
Rasanya aneh, anak-anak kecil setingkat SD itu, entalah ambil dari kebun atau hutan adatnya, mereka menanam bibit keladi, kelapa, batang pisang dan lainnya di jalan raya pada siang terik.
Aksi anak-anak Papua yang tinggal di pinggiran kota sekelas Jayapura, dekat dengan ibu kota provinsi Papua ini cukup menarik perhatian saya. Selama saya tinggal di dalam kota yang mayoritasnya kaum migran. Dan jalan-jalannya, rata-rata baik adanya.
Karena anak-anak generasi penerus masa depan bangsa, yang tiap hari jalan kaki ke sekolah, kebun dan hutannya ini tanam pisang di badan jalan yang penuh dengan kolam-kolam. Bahkan kolam-kolam lebih dari 2.000 kolam.
Bagi saya ini sebuah fenomena baru. Dimana saya melihat mereka pertama kali sekitar awal Januari lalu di media massa. Saya percaya bahwa aksi mereka ini ada yang menggerakkan, tapi bukan provokatif.
Saya melihat mereka dibawah umur. Mereka tanam tumbuhan di tengah jalan nasional, jalan raya di Indonesia paling timur, Papua. Seperti dengan doa, pergumulan dan harapan agar pihak terkait buka mata hati.
Sebuah aksi setelah sebelumnya banyak orang mengagung-agungkan jalan trans Papua, termasuk jembatan merah (Youtefa) dibawah rezim Jokowi.
Mereka memperlihatkan fakta lain yang unik dan tak terbantahkan sambil menata masa depan mereka di Indonesia. Dari dunia “Marginalisme Manggis!!!”
Terus terang. Melihat itu, awalnya saya sangat marah dalam hati. Karena menurut pengamatan [dangkal] saya aksi tersebut sangat menganggu aktivitas lalu lintas, terutama bagi pengguna jalan ini.
Tapi juga menghambat pembangunan di kabupaten/kota Jayapura. Terutama di bidang infrastruktur dalam rangka meningkatkan aksesibilitas dan pendapat ekonomi negara ini.
Ternyata saya salah. Saya hanya mengandalkan mata sepihak dari jauh. Tidak tahu persis masalah sebenarnya di lapangan. Tidak mengerti juga apa yang menyebabkan masyarakat ini lakukan selama berminggu-minggu.
Saya sadar ketika berkunjung di Rumah Doa Spiritual St. Yohanes Paulus II, Dosai, Kabupaten Jayapura, Papua pada Rabu, (23/3/22), sekitar pukul 08:30 WIT.
Dari Susteran Marantha Waena, kami beberapa orang naik mobil. Sepanjang dari Waena hingga Doyo Baru atau sepanjang jalan Raya Sentani-Waena sampah di Gunung Merah, kantor bupati Jayapura, kami jalan baik.
Jalannya baik sekali. Beraspal. Semua orang yang lewat menggunakan angkot ataupun kendaraan pribadi cukup nyaman. Karena jalannya bagus. Selayaknya jalan di tengah-tengah kota di belahan bumi manapun.
Tetapi memasuki jembatan Doyo Baru, di ujung lapangan terbang milik Advent saya sudah rasa lain-lain. Mobil sudah mulai goyang sana sini.
Ke kiri ke kanan. Tak terkecuali. Kami semua yang ada di dalam mobil mulai goyang. Goyang tanpa lagu ataupun musik. Seolah-olah kami ada di tengah-tengah pesta.
Dari Doyo Baru sampai ke Kertosari, saya sangat penasaran. Akhirnya, lihat ke samping kiri kanan dan depan belakang. Check kira-kira ada pesat dan acara goyang atau tidak.
Sebab sepanjang jalan, sekitar 10-20 kilo meter itu tubuh saya tidak tenang. Saya melihat sopir di depan, apakah dia sedang memutar musik di mobil atau tidak m, ternyata tidak juga.
Saya coba melihat orang kiri kanan yang pegang hando, memastikan apakah mereka sedang memutar musik atau tidak. Ternyata juga mereka tidak memutar musik.
Saking penasarannya, saya mulai main mata di pinggir jalan, melihat pemukiman warga, dari celah-celah pohon, kendaraan yang lewat dan bahkan pinang, pisang dan kelapa yang berdiri di tepian jalan dan rumah.
Ternyata juga tidak ada pesat, tidak ada acara goyang dan tidak ada apa-apa. Lalu saya bertanya dalam hati: baru apa yang membuat tubuh saya dari pagi sampai mau masuk siang ini tidak tenang dan goyang terus?
Eh, sampai di pertigaan Kertosari, saya lihat ada aparat keamanan dari Polres Jayapura. Mereka pakai seragam lengkap, tongkat dan senjata api. Sebagian mata-mata berpakaian preman.
Lain duduk berdiri di pinggir jalan. Lain lagi di pinggir kios. Sambil duduk dan berdiri isap rokok, makan pinang, minum, makan buah-buahan yang enak disitu.
Sedangkan 200 meter ke depan, tepat di jembatan Kertosari yang sudah miring dan nyaris rubuh akibat bencana alam (hujan lebat) pada awal 2022 lalu, ada masyarakat.
Tempat yang dimaksud ini sebelum dapat (ke) taman makam Marthen Indey atau sebelum dapat jembatan (proyek) yang menggiring Bapak Maikel Kambuaya, kepala Dinas PU provinsi Papua masuk ke dalam bumi, pertigaan, ada sekitar 300-an orang.
Mereka tak hanya orang dewasa. Sebagian kecil anak-anak kecil ada di dalam truck. Lain lagi dalam mobil, taxi dan sebagian tumpah ruah di jalan sambil makan pinang dan isap roko.
Mereka ada pegang kertas putih, dan spidol. Ada juga spanduk dan kertas yang berbunyi: “Bapak Presiden Joko Widodo tolong lihat kami (jalan raya Jayapura-Depapre)”.
Saya suruh sopir, Frengky berhenti di pinggir jalan. Lalu pergi mencari koordinator lapangan atas berkat bantuan dari seorang umat katolik, asal NTT yang seperti masyarakat trans yang cukup lama tinggal di Dosai.
“Pak koordinator, ini saya punya umat. Mereka ada kegiatan retreat dari gereja katolik. Sekarang mereka mau pergi ke pastor Jhon Bunay, Rumah Doa Spiritual St Yohanes Paulus II, Dosai”. Mereka boleh lewat kah”, kata lelaki berkulit hitam, berambut lurus keras dan yang posturnya tinggi itu kepada Koorlap.
“bisa… Bisa… Tapi ingat, malam kita palang. Jadi harus pulang tempo”, dia, Koorlap itu memberi ‘warning’ kepada kami sambil kunyah pinang di mulut yang membuat bibirnya merah, yang kelihatan seperti perempuan yang menggunakan lipstik merah, tapi ini alamiah.
Saya minta kertas austuro dan minta spisol. Setelah mereka bawah dan kasih saya, saya beritahu mereka bahwa:
“saya ini orang luar, tapi sebagai pengguna jalan ini, setelah merasakan sendiri betapa banyaknya kolam-kolam di jalan raya nasional ini, saya mendukung aksi masyarakat untuk menuntut pemerintah segera meningkatkan kualitas jalan ini”.
Mendengar itu, masa aksi yang tinggal disitu sangat senang. Kemudian saya akhiri dengan menulis di kertas “Pak Jokowi Tolong Perhatian Tuntutan Masyarakat”.
Sepertinya mereka hendak melakukan demo di kantor bupati Jayapura secara damai. Tapi aparat keamanan membatasi mereka di jalan. Akibatnya, mereka bertahan hingga malam dan memilih tidur di jalan selama 1-2 hari.
Bagi saya apa yang mereka lakukan adalah karena jalan rusak. Sepanjang Doyo Baru hingga Depapre banyak kolam-kolam. Orang yang jalan tidak nyaman.
Saya sendiri rasakan itu. Jadi, masyarakat pantas menanam pohon, keladi, batang pisang dan lainnya di tengah jalan sebagai bentuk untuk mengetuk hati nurani Presiden Joko Widodo, Gubernur Papua, Lukas Enembe, bupati Jayapura, Matius Awaitouw dll.
Terlepas dari indikasi (benar/tidak) ada kepentingan atau tidak, jalan tersebut harus diperhatikan. Segera melakukan penanganan karena selama berbulan-bulan, sejak akhir 2021 lalu, masyarakat sudah mulai mengeluh.
“Tanah Merah itu kawasan wisata, pantai yang indah. Jadi, saya pikir waktu menjelang pelaksanaan kegiatan PON kemarin pemerintah sudah memperhatikan itu. Ternyata tidak juga e”, kata pastor Yan pada Senin, (28/3) di STFT Fajar Timur.
“Kita ini bosan bicara soal jalan ini. Kasihan masyarakat, karena jalan tidak baik, ada yang muntah dalam taxi, dan pulang pergi sakit-sakit”, kata seorang yang saya tidak tahu namanya ketika kami bicara pada Rabu lalu.
Kami berhasil lewat. Selama dua hari kami ada di Rumah Doa, mengorganisir dokumen dan merumuskan agenda kerja terkait Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Tanah Papua.
Tetapi teman-teman kami yang dari belakang mengalami hambatan. Karena masyarakat sudah palang selama satu malam. Orang dan kendaraan roda empat, enam dan besar tidak biasa lewat. Kecuali motor dan pejalan kaki.
Tim kami, seperti bapak Berry Renwarin dkk dan masyarakat lain, terutama pakai kendaraan besar yang pada malam hari hendak pulang ke Sentani, Waena dan Abepura juga mengalami kendala.
Mereka harus putar ke Genyem dan ikut pinggiran danau, jalan Jayapura–Genyem–Sarmi. Hingga keluar, tembus di pertigaan, dibawah Gunung Merah, Sentani.
Syukur, karena pada malam berikutnya kami bisa lewat. Tapi dalam kondisi jalan yang tetap sama. Yaitu, rusak, banyak lubang atau kolam-kolam. Tidak nyaman. Sampai pulang badan sakit-sakit.
Mereka tahu bahwa itu (tanam keladi, kelapa, pisang dan lainnya) tidak akan tumbuh baik. Karena penuh dengan pasir, tanah bebatuan, dan jalan raya yang bisa saja kalau kendaraan lewat bisa kasih hancur, bahkan mati.
Tetapi ada pesan tertentu yang hendak meraka sampaikan lewat aksi-aksi sederhana yang cukup menyentuh hati nurani ini. Lewat cara demikian, mereka ingin kasih tahu bahwa jalan tersebut sudah tidak layak dan pemerintah harus tangani baik.
Mereka tidak minta apa-apa. Mereka hanya minta Presiden Joko Widodo, Gubernur Papua, Lukas Enembe, Bupati Jayapura, Matius Awaitouw dan pihak terkait lainnya segera menangani “jalan kolam-kolam” sepanjang Doyo Baru hingga Depapre, pelabuhan Petik Emas.