Oleh: Ibrahim Peyon, Ph.D
Selama ini pemerintah Indonesia selalu bersandar kepada pemerintah Belanda, menyatakan bahwa Belanda mendukung Indonesia atas kedaulatan West Papua. Indonesia juga klaim, bahwa satu-satunya hukum Internasional yang dukung Indonesia atas Papua adalah hukum jurisprudensi, yang mengatakan daerah bekas koloni Belanda otomatis menjadi bagian dari Indonesia. Belanda menjadi tempat sandaran Indonesia itu telah terjadi perubahan. Parlemen dan pemerintah Belanda secara resmi dukung pemerintah sementara ULMWP dan perjuangan bangsa Papua.
Bila kita ikuti Dengar Pendapat kemarin di Parlemen Belanda ini, dan presentasi Presiden Wenda, Ketua IPWP Alex Sobe dan ketua ILWP, Tim Hansen tentang bergerakan di seluruh dunia, maka Papua telah mencapai pada tahap apa yang disebut Konsolidasi Dan Mobilisasi Dukungan Internasional Oleh Berbagai Negara Dan Pemerintah Resmi. Dalam tahun ini Madrid-Spanyol, UK/Inggris, Belanda, Uni-Eropa, Fiji, Selandia baru, dan ACP 79 negara.
Konsolidasi dan mobilisasi dukungan atas Papua sudah tingkat tinggi, sebagai contoh dalam 3 bulan terakhir tahun ini, dukungan dan mobilisasi masif dan meningkat. Di Melanesia khususnya PNG dan Piji sebagai tempat sandaran Indonesia telah terjadi perubahan sikap politik. Perdana menteri PNG resmi pidato di Sidang Umum PBB tahun 2021 lalu, dan awal bulan ini sebelum ke Jakarta bertemu Presiden Jokowi, Perdana Menteri Marape bertemu dengan Sekjend MSG yang juga dari PNG, salah satu pembicaraan mereka adalah dialog Konstruktif dengan Indonesia soal West Papua.

Kunjungan Marape ke Jakarta tidak lepas dari konsolidasi dan mobilisasi internasional tersebut. Sekaligus secara simbolik PNG mau mendidik Indonesia tentang cara-cara negara demokrasi, karena PNG telah selesai melaksanakan Referendum di Bogenville secara demokrasi, damai, adil dan permartabat. Orang Bogenville telah tentukan pilihan hak politik mereka sendiri dan memenangkan referendum untuk kemerdekaan. Pemerintah PNG tidak teror, bunuh dan langgar hak dasar mereka, karena mereka tahu demokrasi dan hak asasi Manusia. Tidak seperti Referendum di Timor-Leste yang penuh kekerasan, lumuran darah dan kriminalitas. Kunjungan Marape ke Jakarta dalam rangka memenuhi janjinya pada tahun 2020, bahwa setelah fasilitasi referendum di Bogenville, ia akan ke Jakarta bicara dengan Presiden Jokowi, dan kunjungan ini dapat memenuhi janji tersebut.
Bulan lalu perdana menteri Fiji bicara di Parlemen Fiji bahwa pemerintah Fiji dan pemerintah negara-negara lain dorong masalah Papua ke tingkat internasional dan Papua harus diselesaikan melalui mekanisme Internasional. Pada 26 Februari 2022 menteri luar negeri Selandia Baru, Nanaia Mahuta, mengumumkan dengan ditampilkan beberapa foto dalam switternya tentang pertemuan dengan Michelle Bachelet, ketua Komisi Tinggi HAM PBB untuk kunjungan ke West Papua. Pada 4 April 2022 Menlu Selandia Baru Nanaia Mahuta bicara dalam zoom-meeting dengan media Fiji, bahwa pemerintah Selandia Baru mendesak Indonesia segera umumkan jadwal untuk kunjungan ketua Komisi Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet ke West Papua.
Pada 16-18 Februari 2022, presiden Wenda dan Ambassador Ap ke Madrid bertemu Senat dan Parlemen secara kolektif dan resmi, dan tanggal 6 April 2022 ini sebelum beberapa jam dilakukan hearing di Parlemen, Presiden Wenda dan Ambassador Ap bertemu dengan perwakilan Uni-Eropa di Belanda. Bergerakan-bergerakan ini menunjukkan Konsolidasi dan mobilisasi internasional atas Papua sudah mencapai tingkat tinggi.

Perubahan sikap politik pemerintah Belanda terjadi beberapa tahun terakhir ini setelah terbentuknya ULMWP. Forum dengar pendapat pertama oleh Komisi Luar Negeri Parlemen Belanda dilakukan tahun 2017, yang dihadiri oleh Presiden Benny Wenda, Ambassador Uni-Eropa tuan Oridek Ap, dan Alex Sobe, ketua IPWP/anggota Parlemen Inggris. Pasca hearing itu, tahun 2021 Menteri luar negeri Belanda, Stef Blok resmi menyatakan dukung resolusi PIF dan dorong Komisi HAM PBB ke Papua. Pada selasa 1 Februari 2022, Parlemen Belanda secara resmi keluarkan resolusi mendesak kunjungan PBB ke West Papua. Mosi atau resolusi Parlemen Belanda itu adalah sikap politik untuk jaga integritas Belanda sebagai mantan kolonial Papua, karena PIF, ACP dan Senat Spanyol keluarkan resolusi resmi. Belanda sebagai negara bekas koloni secara moral harus bertanggung jawab atas situasi West Papua, karena itu resolusi dibuat dan dengar pendapat hari ini adalah agenda lanjutannya.
Perubahan sikap politik Belanda ini penting karena secara legal West Papua adalah bekas koloni Belanda, maka Belanda memiliki posisi resmi dan tanggung jawab moral terhadap kejahatan hak asasi manusia dan kemerdekaan bangsa Papua, negara lain mengikuti kebijakan Belanda dan dukung kebijakan tersebut. Prinsip dasar negara-negara mantan kolonial adalah saling hargai kebijakan atas bekas koloni mereka masing-masing, dan tanggung jawab moral terhadap wilayah bekas koloni tersebut. Mereka masih hargai batas kolonial dibuat dulu. Prinsip dasar inilah, maka perubahan sikap politik Belanda ini sangat penting karena itu akan menjadi ukuran dukungan negara-negara lain.
Salah satu hal penting dalam dengar pendapat ini adalah pengakuan parlemen Belanda tentang posisi pemerintahan sementara ULMWP, dalam forum ini dipanggil “Selamat Datang Presiden Sementara Benny Wenda” dan “selamat datang Ambassador Uni-Eropa tuan Oridek Ap”. Bulan lalu Senat dan Parlemen Spanyol juga panggil Presiden Sementara dan Ambassador. Sebutan Presiden Sementara dan Ambassador, memiliki nilai politis tinggi dan tahap awal dimulainya pengakuan atas posisi politik. Pengakuan anggota parlemen Belanda atas posisi ini sangat penting karena implikasi politis luas.
Dalam Dengar Pendapat Ini, Muncul Lima Agenda Penting:
Pertama, agenda buka kembali sejarah Papua masa lalu. Hearing mendorong pemerintah Belanda harus buka kembali sejarah masa lalu, terkait New York Agremmen, Roma Agremmen, rekayasa pepera, dan Resolusi PBB No. 2405. Kita lihat di atas meja, salah satu anggota Parlemen Belanda terletak buku profesor PJ. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas, buku ini dan banyak dokumen lain menjadi referensi untuk buka kembali sejarah Papua masa lalu.
Kedua, agenda dekolonisasi. Agenda dekolonisasi menjadi satu agenda penting yang muncul dalam hearing ini, bagaimana pemerintah Belanda mendorong agenda itu secara sistematis mengikuti langkah Timor-Leste, Kaledonia Baru, dan Prancis Polinesia.
Ketiga, Peluang kasus Papua diajukan ke Mahkamah Internasional. Terkait dengan proses sejarah masa lalu, secara hukum kekuasaan Indonesia atas Papua tidak sah dan ilegal menurut hukum internasional. Proses sejarah yang ilegal ini berimplikasi kepada berbagai kejahatan kemanusiaan dan kriminalitas Indonesia terhadap orang Papua. Pelanggar HAM di West Papua, genociede, ecocide, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan pengungsian, dll. Atas dasar itu, pelanggaran hukum internasional terhadap West Papua ini dapat diajukan ke makahmah Internasional untuk memperoleh opini hukum legal.
Keempat, tinjau kembali Investasi di Papua. Dalam hearing juga mendorong negara-negara anggota Uni-Eropa ditinjau kembali perjanjian dengan Indonesia tentang investasi Ekonomi di West Papua. Karena Papua sebagai status pendudukan Ilegal, maka hukum internasional larang negara-negara lain menanamkan investasi mereka di wilayah pendudukan/ masih status ilegal. Aturan ini juga telah diterapkan dalam kasus Sahara di Afrika Barat, negara-negara yang memiliki saham di Sahara telah ditarik kembali karena status politik masih bermasalah. Dengan Hearing ini diharapkan negara-negara anggota Uni-Eropa evaluasi kembali investasi mereka di West Papua.
Di atas Meja dalam hearing terletak juga satu peper kecil warna putih, dan green state vision berwarna hijau, peper putih merupakan laporan ecocide di Papua akibat eksploidasi sumber daya alam, kelapa sawit, tambang, kehutanan, dll. Seorang anggota parlemen dalam hearing ini mengatakan perubahan iklim menjadi perhatian partainya dan parlemen Belanda. Ecocide di Papua itu menjadi perhatian dari banyak pihak, untuk misi itu pemerintahan Sementara ULMWP telah luncurkan misi negara sebagai Greend State Vission. Sebuah visi revolusioner terhadap ecocide akibat investasi ekonomi dan eksploidasi SDA. Visi itu menjadi paket politik dalam diplomasi internasional, dan visi ini juga muncul dalam hearing kemarin.
Kelima, Kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB. Dalam hearing mendesak pemerintah Belanda melalui perwakilannya di PBB desak Komisi Tinggi HAM PBB segera kunjungi ke West Papua, untuk melakukan investigasi lengkap. transparan dan kredibel tentang berbagai kekerasan.
Perubahan sikap politik pemerintah Belanda atas West Papua ini terkontribusi pada enam hal: Pertama, pemerintah Indonesia menjadikan Belanda sebagai tempat sandaran atas eneksasi Papua telah runtuh dan tidak ada tempat. Kedua, klaim Indonesia atas aneksasi Papua sebagai miliknya karena bekas koloni Belanda berdasarkan asas hukum Jurisprudensi, tidak berdasar dan tidak dukung posisi Indonesia di Papua. Ketiga, sikap resmi pemerintah Belanda dijadikan sebagai dukungan kedaulatan Indonesia atas Papua dan Indonesia bersembunyi di balik sikap Belanda dari berbagai kejahatan kemanusiaan di West Papua telah runtuh. Keempat, memungkinkan pemerintah Belanda buka kembali sejarah masa lalu. Kelima, memungkinkan pemerintah Belanda ambil sikap untuk mendorong agenda dekolonisasi West Papua ke PBB. Keenam, memungkinkan negara-negara Uni-Eropa akan evaluasi investasi mereka di West Papua mengikuti kasus Sahara Barat.
Dengan demikian, tidak ada tempat bagi Indonesia bersandar dan bersembunyi atas Papua. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri. (*)