Jayapura, nirmeke.com – Amnesty Internasional Indonesia menilai perubahan kedua undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang di sahkan sepihak oleh negara (Jakarta) banyak mengandung masalah cacat formal prosedural dan mengandung cacat material subtansial.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasiol Indonesia menegaskan rapat-rapat yang sekarang mulai intensif di gelar oleh wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin harusnya mempertimbangkan proses persidangan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan yang baru terkait Papua.
“Wapres harus menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan baru atau tindakan-tindakan yang dilakukan seperti pemekaran wilayah (DOB), karena berdasarkan UU Otsus amandemen kedua yang sebenarnya banyak mengandung masalah,” kata Usman.
Ia menegaskan, Perubahan kedua UU Otsus Papua banyak mengandung masalah baik syarat formal yang artinya mengandung cacat formal procedural dan mengandung cacat material subtansial.
“Jadi isinya bermasalah, prosesnya juga bermasalah, karena itu kita mendesak kepada pemerintah pusat di Jakarta untuk menghormati proses persidangan di MK sampai adanya keputusan dalam waktu 2 – 3 bulan kedepan,” tegas Usman.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP). Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Timotius Murib mengatakan Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum. (*)
Reporter: Aguz Pabika