Jayapura, nirmeke.com – Memperingati tragedi Nduga berdarah 19 Desember 2019, atas meninggalnya Hendrik Lokbere, Elias Karunggu, Saru Karunggu, dan lima korban lainnya, sejumlah kerabat mereka dan para mahasiswa memperingati 2 tahun penembakan yang menewaskan mereka dengan malam renungan dan pemasangan lilin di Asrama Nimin, Abepura Kota Jayapura, Minggu (19/12/2021).
Mereka meminta kasus pembunuhan Hendrik Lokbere dan warga sipil Nduga lainnya diungkap tuntas. Hendrik Lokbere adalah warga sipil Nduga yang berprofesi sebagai sopir angkutan umum di Kenyem, Kabupaten Nduga, Papua.
Ia tewas ditembak pada Desember 2019, saat dalam perjalanan ke perbatasan Kabupaten Asmat untu menjemput penumpang.
Para saksi mata menyatakan Hendrik Lokbere diduga ditembak aparat keamanan TNI/Polri, namun hal itu dibantah pihak TNI/Polri. Hingga dua tahun berlalu, kasus penembakan yang menewaskan Hendrik Lokbere itu belum juga diungkap, dan tidak ada proses hukum atas kasus itu.
Malam renungan dan pemasangan lilin di lilin di Asrama Nimin itu diikuti kerabat korban penembakan, para aktivis Komite Nasional Papua Barat, mahasiswa, dan warga. Mereka mengikuti malam peringatan Hendrik Lokbere untuk mengenang sejumlah warga sipil Nduga lainnya yang juga menjadi korban penembakan, termasuk Elias Karunggu, Saru Karunggu, dan lima korban lainnya.
Para peserta malam renungan itu menyatakan akan melupakan para warga sipil Nduga yang tewas karena ditembak. Para peserta renungan menyatakan kasus penembakan warga sipil di Nduga serupa dengan berbagai kasus penembakan warga sipil oleh aparat keamanan di Papua.
“Fakta dan bukti yang menunjukan indikasi kuat bahwa dalam peristiwa Nduga 19 Desember 2019 terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Keluarga korban serta rakyat Papua tidak lupa dengan kasus Nduga Berdarah. Sama seperti tragedi Nduga Berdarah, semua kasus yang terjadi di atas tanah ini [diabaikan], seakan Negara menyembunyikan kejahatan mereka terhadap orang asli Papua,” kata koordinator peringatan itu, Wekcho Kogoya.
Ia menyebut hingga kini tidak ada upaya Negara mengungkap satupun kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua.
“Sampai sekarang kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua belum pernah diungkap. Sudah 60 tahun Papua bersama dengan penjajah Indonesia, tragedi Nduga terjadi tetap saja dilupakan begitu saja. Di saat bersamaan, rentetan pelanggaran HAM terus dilakukan oleh Negara dan aparaturnya,” katanya.
Kogoya menegaskan sejumlah saksi menyatakan dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam penembakan Hendrik Lokbere. Ia menyatakan Hendrik Lokbere saat mengemudi dan tidak melakukan tindakan yang membahayakan siapapun.
“Korban merupakan seorang sopir angkutan umum, dan saat itu dalam perjalanan menjemput penumpang ke Batas Batu. Saat menuruni Jalan Yosema, almarhum menyalakan lampu panjang, memberikan tanda ke beberapa mobil dan truk. Ternyata itu [truk aparat keamanan], langsung lepaskan tembakan, tembus dada Hendrik lokbere. Paman korban yang berada dalam mobil pun melompat keluar. Korban masih berupaya memundurkan kendaraan, tetapi kesulitan karena berada di tanjakan. Aparat kemudian mengepung mobil, dan meminta Hendrik Lokbere keluar, lalu menembaknya lagi,” jelas Kogoya.
Kogoya menyatakan kerabat korban, aktivis Ikatan Mahasiswa Nduga Kota Studi Jayapura, para aktivis kemanusiaan serta KNPB Wilayah Numbay, serta seluruh rakyat bangsa Papua Barat tidak lupa dengan kasus pelanggaran HAM di Papua.
“Kami akan ingat, setiap tahun ke tahun, tragedi 19 Desember 2019, Nduga berdarah,” ucapnya.
Keluarga korban dan serta peserta malam renungan meminta pemerintah menarik pasukan TNI/Polri yang ada di Nduga. Mereka menyatakan penempatan pasukan TNI/Polri membuat masyarakat tidak bebas beraktivitas, tidak bisa berkebun, beternak babi, maupun aktivitas sehari-hari lainnya.
“Negara kesatuan republik Indonesia dalam hal militer segera hentikan kekerasan terhadap orang asli Papua. Apalagi bulan Desember ini [kami] tidak merasakan suasana Natal sama seperti dunia lain dengan adanya TNI/Polri sedang beroperasi saat ini. Kolonial Indonesia segera hentikan tindakan ekspansi sumber daya alam dan manusia di Tanah Papua. Papua bukan tanah kosong,” tutur Kogoya.
Salah satu mama Papua yang mengikuti malam renungan itu, Erkab Tabuni mengatakan sebagai perempuan ia merasa sakit melihat anak-anak Papua dibunuh. Ia menyatakan seorang ibu tidak melahirkan anaknya untuk disikda dan dibunuh.
“Hendrik Lokbere lahir bukan untuk disiksa dan di bunuh. Sembilan bulan ada di dalam rahim ini, waktu yang sangat tidak gampang. Kenapa harus anak saya yang disiksa dan dibunuh seperti itu? Negara harus tuntaskan kasus itu. Negara harus buka dan jelaskan kasus itu hingga tuntas. Saya sebagai seorang mama sakit ketika melihat kejadian itu,” kata Tabuni. (*)
Reporter: Liwan Wenda
Editor: Aguz Pabika