Asep Nayak lahir di Wamena pada 11 Januari 1999. Ia merupakan seorang mahasiswa broadcasting dan fotografi. Sehari-hari, sepulang dari kampus, Asep sering melanjutkan kegiatannya dengan hunting foto. Malamnya, ia akan suntuk dengan software Fruity Loop untuk menciptakan nada-nada Wisisi.
Bagi Asep, panggilan akrabnya, fotografi adalah minat kedua yang ditempuh secara akademik, setelah musik yang dipelajari secara otodidak. Untuk mengasah minat yang kedua, ia mengikuti komunitas fotografi di mana anggotanya terdiri dari beberapa daerah seperti Pulau Jawa, Papua Barat, dan beberapa lainnya, yang paling tidak pernah tinggal di Papua. Di komunitas yang berbasis di media sosial Facebook inilah, Asep kemudian memamerkan karyanya. Meski demikian, yang melambungkan namanya adalah minat pertamanya, hingga terlibat dalam gelaran Biennale Jogja (BJ) XVI Equator #6 2021.
Keterlibatan Asep di BJ bukan sesuatu yang ujug-ujug. Beberapa tahun sebelumnya, ketika Asep keranjingan menciptakan musik Wisisi dan mengunggahnya di YouTube, muncul notifikasi komentar yang mengajak berdiskusi. Perkenalan berlanjut hingga bertukar nomor telepon.
Adalah Wok The Rock (Radio Isolasido) yang menghubunginya untuk datang ke Jogja dan tampil dalam Opening Ceremony Biennale Jogja XVI. Tawaran itu disambut Asep dengan senang hati. Tepat pada 3 Oktober 2021, ia tiba di Yogyakarta. Sepanjang di kota budaya ini, ia tinggal di Ruang Mes 56 dan ditemani oleh Kaler.
Bersama Kaler, kegiatan pertama Asep adalah hunting foto di bilangan Gunung Merapi, dua jam perjalanan dari kota Yogyakarta. Setelahnya, selayaknya wisatawan, ia mengunjungi Malioboro.
Tiga hari berselang, Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 resmi dibuka. Pada malam Opening Ceremony, Asep Nayak tampil di urutan terakhir dan berhasil menghentak panggung Jogja National Museum (JNM). Ia menampilkan kemampuannya dalam memainkan musik Wisisi dengan menggunakan DJ set untuk kali pertama, setelah sebelumnya hanya menggunakan komputer jinjing.
Musik Wisisi merupakan musik instrumental yang digunakan sebagai hiburan. Sejarah Wisisi atau Sapusa merupakan sebuah tarian dan budaya yang secara turun-temurun diwariskan oleh leluhur. Sebagaimana dilansir berita.papua.us, Wisisi adalah suatu ritual untuk melambangkan kebersamaan, kekompakan, dan antusiasme. Namun pada dasarnya, ritual ini digunakan untuk menghibur keluarga yang berduka.
Sekitar 1998, Wisisi ini dibawa oleh siswa-siswi Suku Moni dan Dani dari Intan Jaya ke Paniai untuk menempuh pendidikan. Pada 2002, Wisisi ini mulai popular dan kemudian diadopsi oleh masyarakat umum. Tidak hanya tarian dan nyanyiannya, musiknya pun kemudian diinovasikan oleh para pemuda, bedanya musik Wisisi sekarang tidak diperbolehkan diputar atau dimainkan pada acara duka, melainkan hanya digunakan untuk bersenang-senang. Wisisi dipandang sebagai suatu tradisi multifungsi, artinya ia bisa ditampilkan di mana saja, kapan saja, dan dalam situasi apa saja. Secara tidak sadar, akulturasi budaya akan menciptakan sebuah momen “dicoba” dan “mencoba”.1
Asep Nayak menjadi salah satu pemuda yang menciptakan musik Wisisi sesuai versinya, mengaransemen musik modern yang kemudian ia inovasikan sendiri. Berawal dari karya-karya Nikolas Wiligma, musisi Wisisi yang pertama kali didengar oleh Asep, yang dirasa keren dan bagus, ia tergugah untuk membuatnya juga. Mengulik-ngulik bagaimana cara membuatnya, apakah membutuhkan keyboard atau alat lainnya, atau apa saja yang diperlukan.
Beruntunglah ada yang membantu Asep dan memperkenalkannya dengan software Fruity Loops. Ia kemudian mempelajarinya sendiri secara otodidak. Sebagai dasarnya, Asep mengandalkan kemampuannya dalam bermain gitar sehingga lebih mudah dalam memainkan nada-nada dalam musik Wisisi.
Sudah sejak 2014 ia mempelajari musik Wisisi. Tak jarang ia mengerjakannya hingga larut malam, bahkan hingga pagi menjelang karena keasyikan dalam menciptakan musik tersebut.
Perjalanan Asep bersama musiknya itu tidak selalu diterima oleh masyarakat. Ada orang-orang yang tidak menyukai, menyepelekan, hingga dianggap hanya membuang-buang waktu karena hanya di depan laptop sepanjang hari. Namun hal tersebut tidak mematahkan semangatnya dalam berkarya. Ia yakin, apa yang dilakukannya bukan suatu hal yang merugikan orang lain.
Pada 2018, saat kuliah ke Jakarta, ia mendekati seorang. Dari perkenalannya itu, ia kemudian dikenalkan dengan barang asing berupa handphone dengan segala fitur dan fasilitasnya. Asep pun disarankan untuk mengunggah karya-karya musiknya ke media sosial. Dari sanalah awal mula Asep membuat akun YouTube.
Melalui Channel “Asep_Nayak”, karya-karya itu diunggah dan sekarang sudah memiliki 2.007 subscribers serta 271 video Dengan berbekal kesenangan dalam mengaransemen musik Wisisi, Asep berharap musiknya juga dapat dinikmati orang banyak. Kesuksesan Asep dalam memperkenalkan Wisisi ini rupanya memancing kemunculan musisi Wisidi lainnya, khususnya dari Papua.
Pada 2019, Asep Nayak mulai dikenal banyak orang, salah satunya adalah Ican Harem, yang berkomentar positif mengenai karyanya. Dari Ican, tumbuh pertemanan dan persahabat lainnya yang juga membawanya ke kota pelajar ini.
Tidak hanya tampil di pembukaan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, kegiatan Asep lainnya adalah lokakarya musik Wisisi yang diselenggarakan pada Ahad, 17 Oktober 2021 di JNM. Pada forum itu, ia akan membagikan ilmunya tentang proses pembuatan musik wasisi menggunakan aplikasi Fruity Loops atau FL Studio yang memiliki berbagai versi. Aplikasi ini dipilih karena dirasa tidak terlalu berat jadi dapat diinstal pada laptop dengan spesifikasi yang tidak terlalu tinggi.
Di samping itu, Asep juga merasa dirinya sudah lebih menguasai aplikasi tersebut dibanding aplikasi lainnya. Durasi yang dialokasikan dalam lokakarya yaitu selama 3 jam, dengan pembagian waktu 2 jam untuk belajar menggunakan aplikasi Fruity Loops dan 1 jam untuk belajar tari Wisisi. Musik dan tari Wisisi bagai dua sisi mata uang yang memang tidak bisa dilepaskan .
Asep mengaku senang di Yogyakarta, khususnya dalam kegiatan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Terinspirasi dari perkenalannya dengan banyak orang di Jogja, ia berharap dapat membentuk komunitas di Papua, dengan fokus utama mengembangkan musik Wisisi. (*)