Kenapa Victor Yeimo Tidak Bisa Dibebaskan Dari Tahanan Dan Kenapa Jakarta Menghendaki Paulus Waterpauw Harus Menjadi Wakil Gubernur Papua ?
Pertanyaan – pertanyaan publik yang menjadi isu seksi dan isu publik paling panas di Papua. Pertanyaan yang butuh jawaban ilmiah dan logis. Kemarin Rabu, 18 Agustus 2021, pertanyaan ini muncul dalam benak saya ketika terlibat dalam ujian komprehensif mata kuliah teori – teori hubungan internasional. Ujian komprehensif untuk mahasiswa – mahasiswi program studi hubungan internasional Fisip Universitas Cenderawasih, Papua.
Seorang mahasiswa ketika saya bertanya, teori hubungan internasional yang mana, yang kamu sukai dan kamu kuasai, dia menjawab, saya menyukai teori sekuritisasi atau teori – teori keamanan. Lalu saya memberikan sedikit pencerahan tentang beberapa teori – teori arus utama dan teori alternatif HI yang turunannya adalah teori – teori keamanan atau teori sekuritisasi.
Diskusi kami tentang teori sekuritisasi terbatas waktunya, karena masih banyak temannya yang harus diujiankan, maka saya memilih melanjutkan diskusi kami melalui tulisan ini. Diskusi yang bisa menjawab pertanyaan judul tulisan diatas. Karena teori sekuritisasi atau teori keamanan, sangat relevan dan kontekstual dengan isu Victor Yeimo dan isu panas kursi wakil Gubernur Papua yang tanpa pemiliknya.
Sekuritisasi isu adalah sebuah proses konstruksi suatu isu publik menjadi isu keamanan. Papua saat ini bukan lagi isu kemanusian, isu pelanggaran HAM atau isu politik yang dijadikan topik utama. Isu Papua adalah isu keamanan negara. Sekuritisasi isu Papua adalah portofolio politik negara terhadap Papua. Politik negara terhadap Papua adalah politik pertahanan dan keamanan negara.
Ketika terjadi sekuritisasi isu Papua, maka yang berlaku kemudian adalah praktek realisme politik. Kaum realisme memandang bahwa moral, etika dan hak asasi manusia tidak perlu atau diabaikan saja dalam praktek politik kekuasaan. Praktek politik kekuasaan untuk kepentingan keamanan negara di Papua, tidak harus menghormati etika, moral dan hak asasi manusia rakyat Papua. Inilah realita politik dari proses sekuritisasi isu Papua.
Lalu timbul pertanyaan dalam diskusi, bagaimana dengan keberadaan Komnas HAM Papua ?. Dalam perspektif realisme, keberadaan lembaga kemanusian seperti Komnas HAM, hanyalah instrumen manipulasi dan propaganda untuk menjaga ingatan dan dukungan publik terhadap proses sekuritisasi isu Papua. Proses mencapai kepentingan negara dengan menabrak rambu – rambu hak asasi manusia dan nilai – nilai demokrasi.
Pertanyaan berikutnya, kenapa Victor Yeimo tidak bisa dibebaskan ?. Karena sekuritisasi isu Papua telah menjadikan Papua adalah isu keamanan negara, maka status Victor Yeimo adalah ancaman terhadap keamanan negara di Papua. Sudah tentu moral, etika dan hak asasi Victor Yeimo bukanlah hal yang penting bagi kepentingan keamanan negara di Papua. Biar seluruh rakyat Papua bersama komunitas internasional bersuara untuk pembebasan Victor Yeimo, secara teoritas sulit untuk dipenuhi oleh negara. Karena demi kepentingan keamanan negara, aktor keamanan negara tidak bisa tunduk dibawa tekanan publik. Membebaskan Victor Yeimo yang memiliki dukungan massa radikal dan militan, adalah bentuk serangan langsung terhadap keamanan negara di Papua.
Pertanyaan terakhir, kenapa Paulus Waterpauw yang harus menggantikan Klemen Tinal ( alm ) sebagai wakil Gubernur Papua ? Kenapa Yunus Wonda dan Kenius Kogoya ditolak oleh DPP Partai Koalisi di Jakarta, meskipun mereka berdua pilihan Gubernur Papua Lukas Enembe ?.
Sekali lagi isu Papua adalah isu pertahanan dan keamanan. Proses sekuritisasi isu Papua sudah dan sedang berproses. Politik pertahanan dan keamanan adalah cara negara mengelola Papua saat ini. Penerapan bentuk politik ini karena persepsi ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan negara di Papua semakin meningkat. Penyebabnya pertama, meningkatnya kekuatan militer kelompok sipil bersenjata. Kedua, internasionalisasi isu Papua yang semakin menjadi bola liar komunitas internasional oleh kaum nasionalis Papua.
Karena meningkatnya persepsi ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan negara di Papua, maka kekuatan politik nasional di senayan Jakarta, sudah sampai pada kesimpulan bahwa Paulus Waterpauw harus mengisi kursi wakil Gubernur Papua. Ketua – ketua partai koalisi termasuk ketua Partai Demokrat, Agus Harimusti Yudhoyono, seorang mantan tentara perahi Adhi Makayasa tahun 2000, juga telah memiliki persepsi yang sama.
Dengan demikian, yang akan diajukan untuk divoting di DPRP Papua adalah Paulus Waterpauw dan Yunus Wonda. Jakarta menghendaki Paulus Waterpauw, Gubernur Lukas Enembe menghendaki Yunus Wonda sebagai wakil Gubernurnya. Silahkan DPRP Papua voting dan putuskan.
Jika anggota DPRP Papua memiliki persepsi yang sama dengan DPP Pusat, maka Paulus Waterpauw yang terpilih. Sebaliknya jika DPRP Papua memiliki persepsi yang berbeda dengan DPP Pusat, dengan resiko dipecat dari keanggotan partai, maka Yunus Wonda yang akan menjadi wakil Gubernur Papua.
Demikian akhir diskusi dari ujian komprehensif teori sekuritisasi mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Fisip Uncen. Terimakasih.