Jayapura, nirmeke.com – Ketua Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua, Pdt. Dr. Benny Giay dihadang polisi dari Polresta Jayapura saat hendak bertemu dengan anggota DPR Papua untuk melakukan doa dan membacakan renungan terkait masalah-masalah sosial yang terjadi di Tanah Papua.
Tindakan polisi terhadap Pdt. Benny Giay pada Senin (16/8/2021) berpotensi merusak citra kualitas demokrasi Indonesia di mata publik Internasional. Tindakan yang dilakukan polisi pada hari ini juga yang selalu dilakukan terhadap orang Papua ketika hendak menyampaikan pendapat di muka umum.
Dalam konteks Negara Hukum, HAM dan Demokrasi, demonstrasi atau unjuk rasa menjadi salah satu indikator kemajuan demokratisasi di suatu negara. Bilamana demonstrasi/unjuk rasa dihalang-halangi, dan justru direspon secara represif oleh aparat penegak hukum, hal tersebut akan menurunkan citra kualitas demokrasi negeri ini di mata publik dunia internasional.
Polisi menggunakan dalil tidak ada izin untuk menghadang dan membatalkan rencana Pdt. Benny untuk ketemu anggota DPR Papua dan melakukan doa dan membacakan renungan.
Polisi selalu menggunakan dalil “surat izin” untuk menggagalkan upaya orang Papua menyampaikan pendapat di muka umum.
Pdt. Benny Giay dan sejumlah Gembala dan pengurus di tingkat Klasis Kingmi Tanah Papua berencana untuk melakukan aksi Jalan Salib dari kantor Sinode Kingmi di Tanah Papua yang terletak di samping Bank Indonesia di Kota Jayapura menuju ke kantor DPR Papua.
Tujuan Jalan Salib adalah membangun kesadaran seluruh lapisan masyarakat terutama para gembala dan pekerja gereja terhadap perkembangan situasi menyangkut tanah dan orang asli Papua. Salah satunya adalah keputusan terhadap perubahan UU Otsus untuk 20 tahun kedua [2021-2024].
Menurut Gereja Kingmi di Tanah Papua, pengesahan UU Otsus Jilid II yang dilakukan pada 15 Juli lalu terdapat bahaya yang lebih besar dari keputusan Jakarta bagi keberlangsungan hidup orang asli Papua di tanahnya.
“Kami berpendapat perubahan kedua atas UU Otsus yang baru disahkan lebih berbahaya dari UU Otsus yang pertama. Karena selama 20 tahun ke depan gereja Kingmi melihat pemerintah akan implementasikan usulan Hendropriyono. Yaitu memindahkan 2,5 juta orang Papua ke Sulawesi Utara untuk menghabiskan orang Papua, tetapi dengan cara membuka jalan bagi jutaan atau lebih banyak pendatang untuk masuk ke Tanah Papua,” tulis Pdt. Benny dalam suratnya yang diterima suarapapua.com pada 15 Agustus 202.
Usulan itu, menurut Pdt. Benny, memungkinkan untuk dilakukan karena ada pasal dalam UU Otsus perubahan yang ‘melegalkan’ pemerintah pusat untuk membentuk provinsi baru di tanah ini, tanpa konsultasi dengan orang Papua.
Tujuan lain dari Jalan Salib yang digagalkan polisi tersebut adalah berdoa kepada Tuhan yang menciptakan manusia serupa dengan-NYA dan memberikan keberagaman suku budaya, tetapi orang Papua—di atas tanahnya sendiri—masih saja mendapatkan perilaku rasis dari sesamanya sendiri. Dan, yang membuatnya menjadi lebih parah, ada pemerintah yang dipandang menjadi ‘wakil Allah’ di bumi—seperti pemerintah Indonesia, tetapi ‘dia’ yang kami lihat seolah sengaja dan membiarkan situasi ini terus dipelihara.
“Jadi, kami mau Jalan Salib dalam rangka hari rasisme Indonesia terhadap bangsa Papua,” terang Pdt. Benny.
Kronologis Penghadangan
Pada 16 Agustus 2021, sesuai dengan rencana, aksi Jalan Salib dilakukan dengan rute dari halaman Kantor Sinode Kingmi di Tanah Papua berjalan kaki menuju kantor DPR Papua, pada Senin, 16 Agustus 2021.
Pdt. Benny dengan rombongan melakukan Jalan Salib dengan rute yang sudah ditentukan bersama sejumlah pendeta dan warga dalam jumlah terbatas. Aksi itu dilakukan dengan memperhatikan anjuran pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan: wajib memakai masker, menjaga jarak, dan tidak melakukan salam fisik.
Sebelumnya, Pdt. Benny telah menyurati pihak kepolisian sebagai pemberitahuan bahwa aka nada aksi Jalan Salib ke kantor DPR Papua.
Dengan dasar surat yang dikirim kepada pihak kepolisian itu, Pdt. Benny bersama sejumlah anggota berjalan kaki menuju ke kantor DPRP pukul 10.30 WPB.
Ketika rombongan Pdt. Benny tiba di depan pintu masuk ke halaman kantor DPR Papua, mereka dihadang polisi. Tepatnya persis di depan pos satpam kantor DPR yang terletak di pintu masuk.
“Surat Tidak Ada Izin” Menang
Polisi menghadang Pdt. Benny dan rombongannya di depan Pos Satpam pintu masuk utama kantor DPRP dengan dalil aksi itu tidak diperbolehkan. Polisi dari Polresta Jayapura berdalih bahwa aksi yang dilakukan itu tidak ada izin.
Mendengar alasan penghadangan yang dilakukan Polisi, Pdt. Benny menjelaskan bahwa rencana kedatangan mereka telah disampaikan lewat surat kepada kepolisian.
Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua itu menjelaskan dengan tenang, sopan dan cara yang elegan namun tegas. Polisi tutup telinga dan tetap meneruskan upaya penghadangan.
Alasan polisi yang pertama dilontarkan polisi dari Polresta Jayapura kepada rombongan Pdt. Benny adalah dengan alasan para anggota DPRP sedang ada agenda Nasional. Saat itu para anggota DPRP sedang mengikuti pidato presiden Jokowi di Senayan.
Merasa alasan pertama tidak kuat, selanjutnya seorang anggota polisi mengeluarkan sebuah surat. Surat yang dikeluarkan seorang anggota polisi itu diklaim surat balasan dari Kapolresta Jayapura atas surat yang dikirim Pdt. Benny.
Pdt. Benny dan rombongan tidak terima respon polisi yang berusaha menghalang-halangi dan menghadang itu. Harusnya jika ada surat balasan dari pihak kepolisian, surat itu diantar ke kantor Sinode Kingmi yang ada di jantung Kota Jayapura itu. Inilah alasan yang membuat Pdt. Benny harus berdebat dengan polisi di tempat itu.
Tindakan polisi ini mencederai nilai demokrasi. Memberikan surat balasan di jalan-jalan juga menunjukkan polisi tidak tahu aturan dan tidak paham aturan. Padahal polisi adalah penegak hukum dan aturan itu sendiri.
“Polres sudah salah. Sebagai lembaga penegak hukum, harusnya antara surat ke kantor. Bukan di jalan-jalan. Polisi sendiri tidak mengerti prosedur. Surat Sinode sudah dikirim secara resmi kepada Kapolda Papua sebagai pemberitahuan tiga hari sebelum aksi ini dilakukan. Polisi tidak tahu prosedur dan etika surat menyurat,” ungkap Pdt. Benny kepada polisi yang saat itu terus melakukan upaya penghadangan.
Akibat penghadangan yang dilakukan polisi, jalan raya di depan kantor DPRP sempat terjadi kemacetan kurang lebih 5 menit. Melihat tindakan itu, sejumlah anggota DPRP pun mendatangi tempat itu.
Polisi Memaksa untuk Berdoa di Halaman DPRP
Melihat kondisi yang kurang kondusif akibat tindakan polisi demi ‘surat ajaibnya’ itu, tiga anggota DPRP tiba. Mereka adalah Namantus Gwijangge, Nason Uti dan Feriana Wakerkwa.
Mereka keluar dari gedung DPRP dan bertemu dengan para polisi serta rombongan dari Pdt. Benny.
Ketiga anggota DPRP itu memberikan pemahaman kepada polisi. Mereka sampaikan bahwa Pdt. Benny dan rombongan hendak bertemu dengan para anggota legislator untuk melakukan doa dan membacakan renungan.
Kemudian mereka masuk ke dalam halaman kantor DPR Papua. Polisi justru makin menjadi-jadi. Mereka menekan Pdt. Benny dan rombongannya untuk berdoa di parkiran mobil kantor DPR Papua. Polisi juga abaikan penjelasan yang diberikan tiga anggota DPRP.
Tindakan tidak sopan dan tidak beretika polisi menimbulkan adu mulut antara Polisi dan anggota DPRP. Sang legislator bilang, Pdt. Benny adalah Ketua Sinode dan pimpinan jemaat gereja KINGMI di Tanah Papua. Dia tidak pantas untuk diperlakukan seperti ini. Apalagi memaksanya untuk berdoa di parkiran mobil anggota DPR Papua.
Karena polisi dari Polresta terus menekan dan menghadang, perdebatan negosiasi antara Polisi dan Pdt. Benny, maupun Polisi dengan anggota DPR Papua pun terjadi. Namun polisi tetap berusaha dengan berbagai cara dan menggagalkan rencana Pdt. Benny dan rombongannya.
Karena negosiasi menemui jalan buntu, maka Ketua Sinode KINGMI Papua, Pdt. Dr. Benny Giay dan rombongannya meninggalkan halaman kantor DPR Papua sekitar pukul 12.00 WPB menuju ke kantor Sinode.
Aparat Keamanan Makin Represif
Pdt. Benny Giay usai dihadang pihak kepolisian dari Polres Jayapura itu mengutarakan bahwa apa yang ia alamai itu bukti bahwa aparat semakin represif di Papua untuk menutup ruang-ruang demokrasi agar dapat menyampaikan pendapatnya di muka umum.
“Saya kira, ini tanda-tanda aparat ke depan akan semakin represif. Mesti ada paradigma baru bagaimana negara dan aparatnya melihat orang Papua,” kata Pdt. Benny Giay seperti dilansir Jubi.
Dia mengutarakan, mereka melakukan Jalan Salib ke kantor DPRP bertujuan untuk menyampaikan refleksi, harapan pihak gereja dan berdoa di gedung wakil rakyat untuk orang Papua dan para anggota dewan agar dapat memainkan perannya dalam situasi Papua yang makin tak menentu.
“Kemarin, sudah satu bulan Undang-Undang Otsus disahkan. Hari ini (16/8/2021), hari penting bagi orang asli Papua, yakni hari rasisme. Itu landasan saya untuk melakukan refleksi. Menyampaikan harapan sebagai pimpinan gereja. Namun, saya diadang. Sejak jam 11.00 WP, kami dari kantor Sinode KINGMI ke DPR Papua. Namun, sesampainya di sana saya dihadang polisi di gerbang masuk,” ungkapnya.
Pdt. Benny Giay sempat melakukan protes terhadap sikap polisi yang tidak mengizinkannya bertemu anggota DPR Papua. Cara itu dinilai tidak benar, sebab ia mewakili umat gereja datang ke kantor wakil rakyat.
Legislator Papua Sesalkan Tindakan Kepolisian
Feriana Wakerkwa, Ketua Pansus Kemanusiaan DPR Papua mengaku kesal dan menyayangkan sikap kepolisian dari Polresta Jayapura yang menghadang Sinode KINGMI Papua untuk bertemu dengan anggota DPR Papua.
“Mereka datang hanya empat orang. Ini tokoh agama diperlakukan seperti itu. Kami DPR Papua juga tak dihargai di kantor kami sendiri. Ini rumah rakyat, bagaimana perlakuan terhadap masyarakat biasa di luar sana,” kata Feryana Wakerkwa seperti dikutip media ini dari Jubi.
Dia menilai, sikap polisi sudah melewati batas. Padahal negara ini adalah negara demokrasi. Menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
“Tujuan mereka hanya berdoa. Tidak hanya akan mendoakan kami yang beragama Kristen, tapi semua anggota dewan apapun agamanya. Supaya lebih bijak melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan. Saya percaya, apalagi di tengah pandemi ini mereka ke sini mau mendoakan kami agar selalu sehat dan bisa melaksanakan tugas kami,” ujarnya.
Dia berharap, kejadian ini menjadi pembelajaran untuk pihak keamanan, agar ketika menangani suatu masalah dilihat dulu tujuannya apa, dan apa yang mau didapat dari kunjungan seperti itu.
Feryana Wakerkwa mengaku kesal, sebab saat tidak mengizinkan Pdt. Benny Giay bertemu pihaknya, polisi sempat menyatakan jangan sampai nanti doanya mengandung muatan tertentu.
“Muatan apa? Orang mau berdoa kepada Tuhan kok ada muatan muatannya. Kalau memang doa itu mengandung muatan atau bertujuan tidak baik, apakah Tuhan akan mengabulkan doa itu. Sampai mau melihat dokumen doa,” ucapnya.
Wakerkwa menegaskan, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hak orang untuk beribadah. Ia pun berharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
“Supaya wibawah kepolisian itu juga di mata masyarakat terjaga. Kami juga bukannya tidak mau terima beliau. Kami mau menerima tapi polisi yang halangi. Tidak mengizinkan. Bahkan kami sempat berdebat dengan aparat keamanan,” katanya.
Ia menambahkan, salah satu alasan aparat keamanan tidak mengizinkan Pdt. Benny Giay karena pada saat bersamaan pihak DPR Papua sedang mendengar pidato kenegaraan dari Presiden Joko Widodo.
Padahal katanya, agenda itu berlangsung di ruang lain, dan pihaknya akan menerima Pdt. Benny Giay di ruang lain.
“Lucunya lagi, pak pendeta disuruh berdoa di luar, di hadapan polisi. Memangnya polisi Tuhan. Kan bapak pendeta ke sini mau mendoakan negara ini juga, termasuk bapak polisi. Kan TNI Polri selalu didoakan juga,” ujarnya.
Sumber: Suara Papua