Per 15 Juli 2021, Rancangan Undang-undang (RUU) Otonomi Khusus (Otsus) Papua resmi disahkan. Sejumlah rakyat Papua teguh menolak.
Pengesahan UU Otsus Papua disambut protes dari warga asli Bumi Cenderawasih tersebut. Di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejumlah masa aksi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan mahasiswa Papua melakukan demo pada Rabu (14/7) pagi. Mereka menolak perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II.
“Rakyat Papua tidak mengakui hasil pembahasan otonomi khusus yang dibahas oleh DPR dan pemerintah,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia, Ambrosius Mulait pada Tirto.id.
Dalam keterangannya, Ambrosius mengatakan, pembubaran peserta aksi dilakukan oleh polisi dengan alasan pandemi COVID-19 dan tidak ada surat izin keramaian. Ia mengklaim surat pemberitahuan aksi sudah disampaikan kepada kepolisian sebelumnya pada Selasa (13/7).
“Kami pulang juga percuma, karena pembahasan otonomi khusus ini membuat kami lebih menderita,” kata Ambrosius.
Tak hanya di Jakarta, sejumlah peserta aksi yang menolak Otsus Papua juga berlangsung di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/7). Aksi ini diikuti oleh Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua. Mereka melakukan aksi bisu di depan kantor Gubernur Jawa Barat itu.
Peserta aksi menyikapi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang dianggap ilegal dan tidak demokratis, dan menegaskan bahwa otonomi khusus bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan Papua.
Bukan tanpa alasan, aksi bisu ini menurut Koordinator Lapangan Sey Wanimbo, dilakukan sebagai representasi bagaimana sampai saat ini rakyat Papua dibungkam dari berbagai sisi kehidupan, seperti sisi politik, hak, aspirasi, kedaulatan dan hak esensial lainnya.
“Aksi bisu ini merepresentasikan keadaan riil yang terjadi dan dialami oleh rakyat Papua,” kata Sey kepada Tirto.id.
Selain Jakarta dan Bandung, demo penolakan Otsus Papua Jilid II juga dilakukan oleh mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen), Selasa (13/7), aksi ini diwarnai tindakan represi oleh aparat. Sekitar 23 mahasiswa ditangkap polisi di beberapa lokasi berbeda dan diboyong ke Mapolres Jayapura.
Dalam mekanisme pembahasan UU ini pun dinilai ada pelanggaran konstitusi secara serius dalam prosesnya. Sebelumnya, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), didampingi Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (17/6), dilansir Harian SIB.
“Masalahnya bukan pada dana Otsusnya, namun bagaimana masyarakat adat diberikan wewenang untuk diikutsertakan sebagai subyek utama sasaran Otsus, tidak hanya dianggap sebagai obyek saja,“ jelas Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib melalui laman mrp.papua.go.id
Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) itu didaftarkan dengan nomor pokok perkara 2085-0/PAN.MK/VI/2021.
Mereka mengajukan permohonan itu karena menilai, pemerintah pusat secara sepihak mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, tulis Harian SIB.
“Sesungguhnya dalam Pasal 77 UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, tertulis apabila ada perubahan dalam UU ini, maka mekanismenya adalah melalui MRP dan MRPB yang kemudian disampaikan kepada DPR dan presiden,” jelas Perwakilan Peradi, Saor Siagian, dinukil Harian SIB.
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib mengatakan, perubahan kedua UU Otsus Papua hendaknya merujuk pada Pasal 77 UU Otsus Papua.
“Dimana usul perubahan atas UU ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,“ tegas Timotius.
Timotius mengatakan, presiden seharusnya tidak semata-mata mengusulkan perubahan kedua UU Otsus Papua ini dengan berlandaskan Pasal 5 UUD 1945, namun juga harus melihat secara khusus Pasal 18 b UUD 1945, yang kemudian diaturkan dalam Pasal 77 UU Otsus Papua.
UU Otsus Papua yang telah disahkan ini juga dinilai tidak akan menjamin pemerataan pembangunan dan mengakhiri kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Bumi Cenderawasih.
“Perubahan positifnya (Otsus Papua) anak-anak Papua bisa belajar dan mendapat beasiswa ke luar negeri. Tapi realitasnya dalam 20 tahun itu terjadi kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, rasisme,” kata Elvira Rumkabu kepada BBC.
Selain Elvira, ada Markus Haluk selaku Direktur Eksekutif dari kelompok pro-kemerdekaan yakni Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), mengatakan disahkannya UU Otsus Papua tidak mampu meredam aspirasi kemerdekaan dan konflik senjata Papua.
“Kalau besok UU Otsus ditetapkan apakah akan membunuh ideologi perjuangan Papua merdeka? Konflik Papua selesai? Bendera Bintang Kejora di luar negeri tidak berkibar? Senjata tidak berbunyi? Kan tidak. Justru akan ada,” ucap Markus Haluk pada sumber yang sama. (*)
Sumber: https://www.matamatapolitik.com/