*Oleh Che Lee Q. Ghee
Tidak seperti itu. Justru fakta menunjukkan bahwa dari Merauke – Sorong menjadi situs pelanggaran HAM berat sejak “Operasi Militer Aneksasi” Soekarno mencetuskan “Trikora” pada 19 Desember 1961 guna merebut Irian Jaya [sekarang Papua] dengan tetap menggunakan sistem politik aneksasi.
Buktinya, pada 1969, populasi OAP tercatat 8 juta lebih. Saat ini berdasarkan data BPS berada pada kisaran 2 juta. Lebih dari itu tenggelam dalam proses genosida kilat yang sangat sistematis. Itukah yang disebut “Papua Penuh Damai?”
Papua Penuh Damai (PAPEDA) sendiri digagas, didorong, dan dikampanyekan oleh para pemuka agama di Papua yang memiliki hubungan erat dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan aparat keamanan dan militer serta pemerintah yang berwenang saat ini.
Organisasi yang paling aktif mengawal itu antara lain; FKUB, PGGP dan Satgas PAPEDA. Menurut mereka, Papua Penuh Damai itu bertujuan mengajak orang untuk ikut menciptakan Papua Tanah Damai. Artinya, bebas dari pelanggaran HAM dan genosida kilat.
Sejak gubernur Lukas Enembe menduduki Dok II, Satgas PAPEDA menjadi pelapis kedua dari Satpol PP di kantor gubernur Papua. Menurut K. Rika itu “keamanan pribadi gubernur Papua, Lukas Enembe yang secara tidak langsung menunjukan rezim otoriter selama masa kepemimpinannya”.
Ruang lingkup Satgas PAPEDA terbatas ketimbang FKUB dan PGGP. Namun, perlu memahami baik tentang bagaimana sebenarnya PAPEDA ini diupayakan oleh pemuka agama di Papua.
Perlu dilihat secara komperensif. Tak hanya dari sisi positif saja. Melainkan juga dari hal-hal lain yang berdampak buruk secara tidak sadar dan tidak langsung akibat kampanye PAPEDA itu sendiri.
Tujuan PAPEDA
Tujuan utama PAPEDA adalah kurang lebih mengkampanyekan Papua sebagai tanah damai. Dengan slogan ini, pimpinan agama di Papua melakukan semacam sosialisasi dan mengajak orang untuk menciptakan perdamaian di tanah Papua.
Sama halnya dengan mengajak orang untuk menghindari atau menjauhi kekerasan dan kejahatan yang merusak suasana kedamaian, slogan Papua sebagai tanah yang diberkati oleh Tuhan dan lain sebagainya. Tujuan ini nampak baik adanya.
Bentuk – bentuk kegiatan PAPEDA
Sering mengajak orang lewat diskusi, seminar, lokakarya, dialog interaktif dan lainnya. Papua Penuh Damai menjadikan judul/topik materi dan bahan pembicaraan di hadapan orang banyak.
Sekarang Papua Penuh Damai telah menjadi populer. Berbagai pihak, termasuk aparat keamanan dan militer sering meminjam istilah itu dalam konteks konflik tertentu.
Papua Penuh Damai tak hanya berlaku pada ruang publik. Dalam ruang – ruang tertutup dan rahasia tertentu menjadi nilai tawar tinggi. Pada pertemuan penting tertentu, PAPEDA (Papua Penuh Damai) dijadikan sebagai sarana untuk menyangkal realitas atas nama kebenaran, Tritunggal, Muhamad dan lainnya. Perannya tak kurang dan tak lebih berikut ini.
Sponsor PAPEDA
Di Papua, dapat upah 10 persen dari dana Otsus di samping ongkos pelayanan dari agama dan gereja masing – masing yang di kumpulkan dari persepuluhan dan persembahan umat yang penuh dengan kerja keras, keringat dan hosa.
Besar kemungkinan tangan – tangan besi ada dibalik layar. Karena jalan sama – sama dengan TNI/POLRI untuk tangani dosa tertentu.
Pemuka Agama Ibarat Pemadam Kebakaran
Perannya sangat besar di tengah – tengah umat/masyarakat. Acap kali diminta oleh pemerintah dan aparat TNI/POLRI untuk terlibat langsung guna mengatasi sejumlah konflik laten di Papua.
Kehadiran mereka di tengah gejolak sering membantu semua pihak. Karena turut meredam dalam konflik tertentu. Hal itu membuat mereka terkenal dengan label pemadam kebakaran.
lbarat air yang berfungsi untuk memadamkan api dalam kebakaran. Erat dengan mobil kaca gelap. Pakaian rapi. Jas dan dasi. Kaca riben dan kaca mata. Handphone di tangan. Sepatu baru.
Lalu menghampiri para korban dengan satu–dua ayat Firman Tuhan. Katanya itu ciri khas/cara untuk tenangkan situasi, hati dan perasaan para korban ala Papua Penuh Damai.
Sebuah siasat pemerintahan Indonesia
PAPEDA tak hanya ajakan untuk menjaga Papua Tanah Damai. Tetapi juga untuk menutupi duka dan air mata kemanusiaan orang Papua, menghapus atau membersihkan dosa dan kesalahan, memperbaiki citra busuk aktor – aktor pelanggaran HAM, dan genocida.
Lebih dari pada itu, sebenarnya hanya sebuah siasat untuk menutupi dosa dan kesalahan. Tujuan terselubungnya adalah memperpanjang umur kekuasan, turut membantu dalam rangka meneggakan wibawa kolonial, menindas, memperbudak, membunuh orang Papua, melanggar HAM dan ikut campur proses depopulasi (genocida).
Bahkan ikut merusak segala ciptaan dan keutuhan alam Papua atas nama Papua Penuh Damai. Hal itu terungkap dalam ragam jejak langkah pemuka agama sekeliling FKUB dan PGGP dalam diskusi, seminar, lokakarya, dialog interaktif maupun ruang – ruang tertutup dan rahasia, termasuk dalam pertemuan penting tertentu.
Baik itu di dalam maupun luar negeri. Kadang hadir atau bicara (kampanye) atas nama individu dan organisasi. Berikut adalah buktinya.
Kampanye “PAPEDA” di dalam negeri
Pada waktu dan momen tertentu mengajak orang di Papua untuk menjaga Papua Tanah Damai. Tetapi pada waktu dan momen lain main di luar batas.
Dalam momen penting– khusus–rahasia tertentu, kampanye dengan kepentingan tertentu. Tidak lagi menjaga sikap netral atau independensi dari Papua Penuh Damai.
Di dalam negeri, para pengagas dan pengawal ide Papua Penuh Damai sering memainkan isu “Papua Penuh Damai” di luar konteks dan realitas hidup orang Papua.
Salah satu buktinya aksi PGGP pada Jumat, 17 Maret 2017 di kantor DPR Papua. Tajuk demonya “Selamatkan NKRI dan Pancasila”. Demonstrasi itu dipimpin langsung oleh Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM.
Dalam sejarah penderitaan hidup orang Papua (Gereja Katolik di Papua), aksi yang dinakodai oleh Uskup Keuskupan Jayapura itu merupakan sesuatu hal yang baruh (aneh).
Aksi ini hendak menolak gerakan radikalisme (ISIS, FPI, HTI dan Iainnya) di Papua. Namun isi pernyataan sikapnya bertolak belakang. Pada nomor 6, meminta bebaskan Ahok.
Bertolak belakangnya begini.
Pertama, temanya lain dan isi pernyataan nomor 6 itu di luar konteks temanya. Kedua, cepat merespon Ahok yang berada di luar Papua dengan jarak ribuan mil. Ketiga, lupa orang Papua yang teraniaya, tertindas, tertembak, terbunuh dan menjalani proses hukum di dekatnya yang membutuhkan wujud nyata dari “Papua Penuh Damai”.
Kampanye “Papeda” di luar negeri
Para uskup di Pasifik Selatan pernah mengundang Uskup Jayapura, untuk hadir menceritakan terkait situasi. Pada saat itu, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM menjabat sebagai ketua PGGP.
Namun dalam rapat para uskup Oceania itu, dia menyangkal pelanggaran HAM dan masalah di sektor ekosob di Papua. Dia justru mengakui “Papua Tanah Penuh Damai”.
Di sana ia mengajak para pemimpin Gereja Katolik Oceania untuk tidak terpengaruh dengan kampanye politik ULMWP dan LSM di Papua yang mendorong isu terror, intimidasi, penangkapan, penculikan, penyiksaan, pemukulan, penembakan, penikaman, pembunuhan, kecelakaan (tabrak lari), pelanggaran HAM, genocida dan lain sebagainya.
“Kami dengar dari para pastor di sebelah (PNG) dan berita Gereja Katolik di Australia. Mereka bilang Uskup Jayapura menyangkal pelanggaran HAM dan masalah ekosob di Papua. Dia juga membatasi para uskup di Pasifik Selatan agar tidak menginterfensi masalah Papua”, ujar Chrido di Rumah Studi Keuskupan Jayapura, Marvin, Padang Bulan, Abepura baru – baru ini.
Dari sini bisa lihat. Di dalam negeri, Papua para pemuka agama dan Gereja aktif mengajak orang untuk menjaga Papua Tanah Damai. Tetapi di luar negeri dan ruang – ruang penting yang terbatas dan tertutup, mereka menutupi dan menyangkal realitas di Papua dengan “Papua Tanah Damai”. “Papua Tanah Damai” dijadikan sebagai bahan kampanye hitam.
Kenyataan hidup sehari-hari
Judul di atas didukung oleh kenyataan sehari – hari. Hampir setiap hari orang Papua tinggal dalam keadaan duka, sedih dan air mata. Hari – hari diwarnai dengan lumuran darah tindak kekerasan.
Setiap hari diselimuti dengan rasa takut dan trauma besar meskipun di atas tanah leluhurnya sendiri. Bukan hidup dengan aman, nyaman dan damai.
Satu peristiwa belum selesai, datang lagi satu peristiwa sedih yang baru. Satu duka cita belum hilang, tiba pula satu kabar tangisan baru.
Pipih dalam satu kejadian belum kering, turun lagi air mata bercampur ingus baru yang membasahi muka. Tak ada cerita hari yang cerah bagi orang Papua bersama kolonial Indonesia selama 67 tahun.
Kenyataannya adalah “Papua Zona Darurat militer, kekerasan dan kejahatan, penembakan dan operasi militer, pelanggaran HAM berat, genocida dan lainnya”.
Faktanya, seperti Wamena Berdarah (2006), operasi militer kolonial Indonesia di Nduga, menangkap dan menetapkan masyarakat sipil, mahasiswa dan aktivis yang melakukan unjuk protes atas “rasisme negara kolonial Indonesia” pada akhir Agustus 2019 lalu. Tentu masih banyak lagi.
Jika Papua penuh damai
Misionaris tidak akan pernah datang ke Papua. Ottow dan Gesller tidak akan memberkati tanah Papua di Mansinam, Manokwari, Papua Barat.
Pasti tidak mungkin ada tuntutan orang Papua untuk Merdeka. Tidak akan ada aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia di Papua. Tidak mungkin, TNI, POLRI, BIN, BAIS, KOPASSUS dan lainnya cepat naik pangkat.
Kalau Papua Tanah Damai?
Tidak mungkin orang Papua hidup penuh dengan darah, luka, penderitaan, korban jiwa, duka cita, kesedihan, kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, trauma panjang dan lain sebagainya. Tidak mungkin ada Undang – Undang Otsus 2001, UP4B, pemekaran DOB dan lainya.
Kalau benar Papua Tanah Damai, mengapa anggota organik dan non organik membangun jalan trans Wamena – Nduga -Mumugi dan lainya–yang sebenarnya adalah tugasnya orang di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) pada daerah setempat?
Atau memata – matai orang Papua di bandara udara, pelabuhan, pasar, perbatasan, kampus dlsb.
Tidak mungkin ada penembakan–operasi militer–kekerasan dan kejahatan–korban jiwa–masyarakat mengungsi di hutan – hutan–pelanggaran HAM, genocida dan lain sebagainya.
Justru karena Papua Bukan Tanah Damai itulah yang membuat orang Papua–semenjak dipaksakan gabung dengan kolonial Indonesia–hingga saat ini tidak pernah menyambut dan merayakan hari – hari besar negara dan keagamaan dengan rasa aman.
Papua Zona Genocida Kilat Sejak 1960-an
Semenjak “perjanjian tanpa tuan: New York Agreement dan Roma Agrement, MoU Freeport, yang puncaknya di mana kolonial Belanda menyerahkan tanah Papua ke UNTEA dan diteruskan ke tangan kolonial Indonesia pada 1 Mei 1963 hingga saat ini orang Papua hidup dalam ancaman genocida kilat dari kolonial Indonesia”.
Pesan Dari Ondoafi Besar
Kata Ondoafi Besar, Jhon di seberang danau Sentani: “Jangan mengacaukan Papua dengan atas nama apa pun. Jangan tambah – tambah bumbu. Jangan menyebarkan berita bohong (hoax). Jangan kampanye hitam. Jangan berdusta di bawah matahari. Jangan tipu muslihat di atas alam semesta.
Jangan bicara lain, sedangkan kenyataannya lain. Jangan berkata lain, sementara faktanya lain. Jangan bikin cerita lain setelah belajar “teologi” lain.
Jangan baca Firman atau Alquran lain dan menjelaskannya lain. Kalau tidak ada pekerjaan diam saja. Jangan manfaatkan Yesus, Muhamad dan lainnya untuk palsukan kenyataan dengan kepentingan tertentu.
Papua itu Zona Darurat militer, kekerasan dan kejahatan, pelanggaran Ham, genocida dan lainnya. Kalau “ya” katakan “ya”. Kalau “tidak” katakan juga “tidak”.
Ada banyak cara untuk hidup. Saksi mata boleh dibunuh. Tapi saksi hidup tidak bisa kamu bunuh. Orang Papua boleh kamu bunuh. Tetapi Tuhan, alam Papua dan kebenaran tidak bisa kamu bunuh.”
Ketiganya akan bersaksi pada suatu hari. Secepat – cepat kebohongan itu berlari, menurut S. Ismail, kebenaran pasti akan mendahuluinya.
Siapa yang benar dan salah pun akan diadili menurut takaran kampanye hitam: “Papua Penuh Damai” oleh Tuhan dan alam semesta karena terbukti menyebarkan hoax: “Papua Penuh Damai”.
*Penulis adalah masyarakat. Tinggal di Jayapura.