Jayapura, nirmeke.com – Gubernur Lukas Enembe, Wakil Gubernur Kelmen Tinal, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewana Perwakilan Rakya Papua, (DPRP) di angap duduk diam dan tidak berani membicarakan Persolan Pelangaran HAM Di Papua khususnya Nduga dan Intan Jaya yang suda memakan korban dan kerugian harta benda.
Hal ini dikatakan, sejumlah Relawan Pengungsi, Tokoh Aktifis HAM, dan Gereja pada acara rapat konsultasi tim kerja perlindungan pemenuhan hak asasi orang Asli Papua yang di gelar MRP, di Hotel Horison Padang Bulan, Kamis, (18/3/2021).
Penegasan awal disampaikan mewakili masyarakat Nduga dan juga selaku relawan Pengungsi Nduga, Raga Kogoya mengatakan Gubenur Lukas Enembe, wakil Kelemen Tinal, Ketua DPRP, John Banua Rouw, Ketua MRP Thimotius Murib kenapa tingal diam terkait persolan Nduga, dan Intan Jaya.
Ia mengatakan, masyarakat Nduga hari ini terus mengalami kematian khususnya di daerah pengungsi bahkan yang lebih parah pengungsi Nduga khususnya anak anak belum ada yang sekolah baik hingga saat ini.
“Konflik bersenjata antara TPNPB dengan TNI – Polri yang sudah terjadi di Nduga sejak Desember 2018 hingga kini, masih membuat ribuan warga mengungsi di kabupaten tetangga seperti Wamena, Lanny Jaya dan daerah lainnya,” katanya.
Lanjutnya, dari pengungsian ini, tercatat 243 sejasejak 2019 orang asli Nduga meninggal dunia hal ini belum terhitung korban sampai 2021 ini.
“Gubernur Papua, DPRP dan MRP kalian dimana kapan mau bersatu kami di orang Nduga, suda habis,” Kata Raga yang menyesali sikap lembaga – lemabaga ini yang pasif soal pengungsi Intan Jaya dan Nduga.
Hal senada dikatakan, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua ( Pembelah HAM Internasional), Theo Hesegem.
Dia mengatakan, laporan lengkap pengungsi dan dampaknya sudah diserahkan kepada Kedutaan RI, Panglima TNI, DPRP, Kepresidenan, Kapolda Papua, Komnas HAM namun tidak ada respon untuk ditindaklanjuti.
“Jadi semua institusi ini saya sudah kasih tidak ada yang tidak untuk 2019 data yang korban pengungsi Nduga capai 243 jumlah korban belum data yang sekarang 2020 -2021 dan kita sudah publis jilid satu dan jilid dua,” katanya.
Ia mengatakan data yang disampaikan tersebut sesuai dengan hasil kroscek langsung di lapangan dengan bertanya langsung ke setiap Hamba Tuhan yang mengetahui jemaatnya sehingga akurat.
“Kita klarifikasi setiap nama-nama pengungsi yana meningal 243 orang itu pengakuan para hamba Tuhan benar dan ini pertangung jawabkan dan ini yang kita tetapkan sebagai data kebenaran dari hasil kelarifikasi, nama korban dimana masyarakat Nduga , 243 dan 17 orang dari para pekerja yang sempat dibantai, jadi jumlah korban suda lebih,” katanya.
Data tersebut juga kata Hesegem telah dipaparkan oleh dirinya di Jerman Swiss dan Belanda, dengan anggota parlemen Jerman dengan menjadi narasumber.
“Data yang diberikan ke dunia internasional diberi apresiasi oleh mereka karena lewat data tersebut mereka akan menegur pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM dan masalah lainnya namun untuk Papua sendiri belum ada penyelesaian meski sudah diberikan laporan,” katanya.
Untuk itu Dia menyarankan agar pemerintah, DPR Papua dan MRP, masyarakat untuk dapat meningkat kongres soal HAM yang bisa memberi 1 kekuatan baru agar orang betul-betul melihat HAM secara serius yang terjadi di Nduga maupun di Intan Jaya.
“Kasus Nduga dan Intan Jaya harus jadi pintu masuk untuk kita gelar Kongres soal HAM di Papua, agar kasus HAM ini bisa di anggap serius karena banyak laporan sudah di serahkan tapi belum juga berkurang kasus HAM di Papua, sekarang apa yang kita buat, harus ada Kongres Soal HAM saya usul,” katanya yang bergarap MRP, DPRP dan Gubernur berpikir hal ini.
Sentara itu, Markus Kayoi Ketua Tim Kerja Ham dan Perlindungan OAP mengatakan Rapat koordinasi tersebut bertujuan melihat persoalan hak asasi manusia di beberapa wilayah konflik yang ada di Papua karena kewenangan MRP memastikan bahwa hak asasi manusia dilindungi oleh negara.
“Sesuai konstitusi negara kita negara wajib melindungi setiap segenap bangsa berdasarkan demangan konstitusi, MMRP menggelar rapat bersama masyarakat dan gereja kita minta ada perlindungan hak asasi manusia di daerah daerah konflik, di Nduga, Intan Jaya dan Puncak,” katanya.
Ia mengatakan hasil ini akan menjadi laporan dari MRP yang akan menjadi laporan resmi lembaga untuk disampaikan agar ada dapat perhatian.
“Selain itu hal ini juga bertujuan agar membangun sinergitas antara pemerintah dprp dan mrp untuk melihat kasus ini secara serius, dengan duduk bersama dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat Papua terkait HAM di daerah konflik,” katanya. (*)