Jayapura, nirmeke.com – Menjelang selesainya Pendanaan dalam UU Otonomi Khusus Papua pada 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah melibatkan kementerian terkait hingga saat ini masih melaksanakan pembahasan terkait rencana perpanjangan dana dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Hal ini menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan aktivis maupun masyarakat asli Papua itu sendiri.
Pasalnya, implementasi UU No. 21 Tahun 2001 tersebut dinilai kurang membawa perubahan yang signifikan pada sektor sumber daya manusia di Papua selama kurang dari 20 tahun diberlakukan. Salah satu wadah protes dan tuntutan tidak di lanjutkannya pendanaan UU Otsus Papua tersebut tertuang dalam gerakan kolektif yang menamai diri sebagai Petisi Rakyat Papua.
Petisi tersebut berisi penolakan terhadap rencana pendanaan lanjutan yang sering disebut sebagai Otsus Jilid II, serta telah dikembangkan pula di Wilayah Bali di inisiasi oleh Pembina Aliansi Mahasiswa Papua Komite Bali, Jeeno. Pada Deklarasi Petisi Rakyat Papua Tolak Otsus Jilid II Wilayah Bali yang digelar pada kamis (26/11/2020), Jeeno menyampaikan bahwa 19 tahun penetapan UU Otsus Papua telah gagal karena banyaknya konflik dan pelanggaran HAM.
Petisi Rakyat Papua Tolak Otsus Jilid II sendiri telah diluncurkan pada pertengahan Juni 2020 di Kota Jayapura dan meluas hingga membentuk 37 organisasi PRP baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam konferensi pers yang dilaksanakan serentak termasuk di Wilayah Bali, disampaikan bahwa PRP telah mengumpulkan 520.261 suara dari 90 organsisasi gabungan. Di Bali sendiri, petisi dilakukan sejak 23 November 2020 di tiga lokasi utama yakni Dempasar, Badung, dan Singaraja sebagai basis keberadaan mahasiswa dan masyarakat Papua.
Disamping membawa isu penolakan terhadap Otonomi Khusus Jilid II atau yang disebut pemerintah sebagai Pendanaan Otonomi Khusus Papua, PRP juga mengatasnamakan tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan pendudukan militer di tanah Papua sebagai dampak negatif adanya Otsus.
“PRP pada dasarnya menuntut agar pemerintah tidak lagi secara sepihak memberikan akses luas bagi investor yang merusak sumber daya alam di Papua secara semena-mena,” terang Jeeno.
Jika memang pemerintah tidak turut andil dalam investasi yang merusak lingkungan tersebut, lanjut Jeeno, seharusnya akses media di Papua dapat dibuka seluas-luasnya sehingga masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia bisa memperoleh perkembangan situasi terkini untuk menilai apakah UU Otsus Papua tersebut telah berjalan dengan baik atau justru sebaliknya, menyengsarakan masyarakat asli Papua.
Dalam membagikan petisi sendiri, PRP Bali mengaku tidak melakukan pemaksaan sama sekali. “Kami membagikan petisi dengan damai, jika memang merasa keberatan dengan Otsus silakan diisi, jika tidak kami juga tidak akan memaksa. Itu adalah hak tiap-tiap masyarakat untuk bersikap,” jelasnya.
Deklarasi PRP tersebut juga diikuti konferensi pers dari PRP Pusat Jayapura. Diharapkan melalui PRP, pemerintah dapat terketuk nuraninya untuk kembali mempertimbangkan urgensitas perpanjangan dana Otsus serta mengkaji kembali secara menyeluruh apakah akan terus menutup akses masyarakat dalam memperoleh informasi di tanah Papua atau akhirnya bersikap demokratis terhadap pendapat masyarakat asli Papua. (*)
Sumber: https://harapanrakyatonline.com/