Oleh: Benyamin Lagowan*
TANGGAL 21 Juli 2020 adalah hari tonggak bersejarah bagi semua umat dan para pastor Katolik Roma di tanah Papua–baik Papua dan Papua Barat. Mengapa? Sebab pada hari itu, semua biarawan Katolik khususnya para pastor asli Papua dari berbagai ordo telah mengeluarkan seruan atau pernyataan sikap yang monumental dan bersejarah–yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam persekutuan hidup umat Katolik di tanah ini. Adalah 57 pastor asli Papua (pribumi) sepeninggalan, Alm. Diakon Silverster Hisage Pr, Katekis Muda Rufinus Tigau, Alm. Pastor Frans Lieshout OFM, Alm. pastor Yulianus Mote Pr, Alm. Pastor Neles Tebay Pr, Alm. Pastor Nato Gobay Pr dan Alm. Pastor Jack Mote Pr. Empat nama Pastor yang disebut terakhir ini adalah pastor-pastor pertama orang Papua asal Pegunungan Tengah yang terbilang cukup senior dalam gereja Katolik Roma di tanah Papua. Jika mereka masih hidup, mestinya merekalah yang kini duduk menjabat sebagai uskup di tanah ini. Itulah harapan semua umat Katolik pribumi di tanah ini, meski harapan itu sirna dan tak pernah terjadi.
Aksi 57 Pastor Pribumi Papua itu yang selanjutnya akan diikuti oleh 147 Pastor se-Papua pada 10 Desember 2020, dalam mengeluarkan seruan moral historisnya tentu disebabkan karena ada masalah serius. Seruan dan pernyataan seperti itu adalah naif jika dikeluarkan tanpa didasari dan dilatari oleh karena adanya masalah-masalah, situasi-situasi dan kondisi-kondisi aktual yang berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku universal. Bagi seorang pastor, adalah jelas bahwa pasti terkait dengan realitas yang berkaitan dengan nasib umat atau domba-domba yang digembalakannya—terutama nasib, situasi dan kondisi yang menjadi masalah domba-domba pribumi dimana gereja Katolik itu diterima, diimani, dihidupi dan berkarya. Para Pastor Pribumi ini sebagai anak-anak asli yang dilahirkan, dididik dan ditahbiskan menjadi imam/gembala umat dari rahim orang-orang asli Papua sudah tentu mengerti dan memahami dengan baik serta utuh semua situasi, masalah dan kondisi real yang dihadapi saudara-saudara kandungnya (dibaca: domba-domba). Sebab mereka bukanlah pastor impor (asing) bukan pula pastor produk luar yang hanya diberi tugas pelayanan doa dan layanan formal pastoral belaka tanpa menghidupi situasi konkret dan kontekstual umat pribumi.
Mengapa seruan para pastor itu baru lahir sekarang? Jawabannya jelas, bahwa situasi hidup keumatan di tanah Papua tidak bisa lagi ditutup-tutupi atas nama jargon apapun. Peristiwa-peristiwa pertumpahan darah domba-domba Allah yang tak berdosa yang disebabkan karena distribusi ketidakadilan dan ketidakbenaran sudah terlalu kronik, meluas dan memprihatinkan, sehingga semua elemen tidak dapat lagi membungkamnya. Apalagi para pastor ini–yang mana mereka adalah pilar terakhir benteng harapan umat Allah akan adanya kedamaian lahir dan batin. Tentulah mereka akan merespon demi kebaikan bersama (bonum communne) dan demi keselamatan mahkluk ciptaan Tuhan—yakni Manusia sebagai insan paling sempurna yang merupakan gambar, citra dan rupa Allah sendiri (imago Dei) di tanah airnya yang kerap dijuluki “surga kecil” ini.
Jika meninjau ke belakang adalah jelas, bahwa suara-suara kenabian para pastor Katolik memang pernah ada. Tetapi tidaklah sekolektif saat ini. Dahulu, Uskup Jayapura, Mgr. Herman Muningghoof, OFM dikenal sebagai salah satu uskup/pemimpin otoritas Katolik yang vokal memihak umat Katolik pribumi Papua–menyuarakan hak-hak asasi manusia yang dilanggar oleh semua kekuatan represif negara Indonesia. Telah diakui bahwa sepeninggalannya beliau, suara kenabian pastor Katolik di tanah Papua memasuki ruang vakum. Apalagi oleh otoritas Katolik di lima Keuskupan, kecuali Uskup Keuskupan Timika. Dalam banyak catatan dan narasi yang beredar, gereja Katolik selama kepengurusan Mgr. Leo Laba Ladjar OFM telah lebih diarahkan pada urusan-urusan teknis oleh bidang-bidang terkait–dalam hal ini oleh Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua juga komisi tertentu yang berada di bawah administrasi Keuskupan Jayapura. Tetapi rupanya itu saja tidak cukup. Tidak mempan dan tidak banyak menghentikan lajunya dehumanisasi dan destruksi alam serta kebudayaan pribumi di tanah ini. Jelaslah seperti itu menurut mantan direktur SKPKC, Bruder Theo Van De Broek, OFM dalam surat terbukanya beberapa waktu lalu menanggapi pernyataan Uskup Agung Merauke. Menurut Bruder Theo, sudah saatnya otoritas gereja bersuara keras dan lantang secara langsung untuk membela persoalan kemanusiaan dan persoalan keumatan di tanah Papua yang makin memprihatinkan beberapa waktu terakhir ini. Ia secara tegas mempertanyakan posisi dan sikap otoritas gereja Katolik Roma di lima Keuskupan se tanah Papua dalam memandang persoalan terkini di tanah Papua.
Apa yang perlu dipahami dari situasi semacam ini? Jelaslah bahwa para gembala-gembala gereja Katolik telah mulai menemukan jalannya dalam membela dan memihak umatnya yang tertindas. Kontraproduksi yang melingkupi otoritas gereja Katolik Papua, adalah suatu pertentangan internal yang lebih bersifat hierarkis dan kait kelindan dengan politik kepentingan yang mendera tubuh gereja Katolik Papua sejak lama. Ini mungkin pula berkaitan dengan wajah Gereja Katolik yang erat dengan Pemerintah Belanda sebagai saudara Tua dan eks afiliasi pemerintahan Papua di masa silam. Meskipun demikian, langkah para pastor pribumi Papua untuk membentuk forum komunikasi pastor pribumi untuk menyuarakan penderitaan keumatan di tanah Papua adalah langkah sinyal kebangkitkan dan gebrakan emansipatoris yang sungguh mulia. Para Uskup di tanah Papua sebagai pemimpin yang diangkat dan dipilih dalam forum kaum biarawan-biawarawati musti harus mendukung, bahu-membahu dan menjadi satu suara, satu hati dan satu iman dalam bertindak menyikapi situasi sosial-politik keumatan bangsa Papua dewasa ini.
Adalah suatu kecerobohan jika suara-suara keras para penyambung lidah Tuhan di lapangan keumatan ini dibungkam. Apalagi dilawan secara senyap dari dalam struktur hierarkis Gereja Katolik. Sebab gerakan semesta para pastor pribumi ini adalah sinyalemen bahwa posisi pastoral gereja dan otoritas gerejawi sudah tidak bisa lagi bermain mata dengan otoritas kekuasaan negara dalam menghambat atau mengsimplifikasi apalagi menutupi semua kasus-kasus tindak kekerasan yang berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di tanah Papua selama setengah abad lebih ini. Para Uskup, akan makin tak berkutik dan makin teralienasi iman dan imamatnya jika berupaya menekan atau turut bersama-sama dengan unsur mata-mata titipan negara memainkan peranan reduksionis dalam melawan gerakan para pastor pribumi di tanah ini.
Semua peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa gereja Katolik Papua sudah makin mandiri dan makin misioner. Ia bukan lagi gereja yang perlu terus disusui dan digendong untuk mewartakan kabar keselamatan kepada umatnya. Ia jelas makin dewasa dan dewasa ! Oleh karena itu, kedewasaan itu haruslah diakui dan diberikan kepercayaan untuk mengatur umat pribuminya sendiri tanpa adanya paksaan, dikte atau suapan secara terus menerus. Jejak Alm. Pastor Albertus Sugiyapranata, SJ yang menjadi uskup pertama orang Katolik Pribumi Indonesia yang menjadi kepala gereja Katolik di Indonesia, Uskup Agung Jakarta pada 1896 sedang menggerogoti semua pastor – uskup di Indonesia dan Vatican untuk menyerahkan tongkat estafet Uskup kepada salah satu pastor putra pribumi Papua untuk menjadi uskup di setiap Keuskupan di mulai dari Uskup Jayapura dan Timika. Slogan dan semangat pastor Albertus yang mengebu-ngebu tentang: “ 100% Katolik, 100% NKRI !” sudah mestinya dikontekstualisasikan dalam lingkup Papua. Ini nubuatan yang sulit ditolak. Ini adalah konsekuensi logis dari kemajuan ilmu iman dan ilmu pengetahuan manusia. Tidak bisa dicegah. Ia akan tergenapi. Hanya tunggu waktu !
Lihat saja, mengapa kolonial Belanda yang terkenal sadis dan kejam bisa menyekolahkan dan mendidik pastor Albertus sehingga bisa menjadi Uskup pribumi Indonesia pertama yang justeru menjadi salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda. Dan kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional. Bukankah itu telah menjawab dan membuktikan bahwa siapapun pastor Papua yang kelak terpilih jadi uskup dapat mengikuti jejaknya? Bukankah ia juga bisa dicap separatis, penghianat dan juga makar tetapi mengapa hal itu tidak dilakukan pemerintah Hindia Belanda? Beberapa pertanyaan ini membuktikan bahwa “Tuhan Allah tidak pernah melarang Bangsa Papua Merdeka” sebagaimana seru-seru Pdt. Socratez Sofyan Yoman, Presiden gereja Baptis West Papua selama ini, dan itu benar dan telah akan terbukti.
Oleh karena itu, mungkin adalah bijak dan tepat pula, jika gerakan pastor Pribumi Papua yang kurang didukung otoritas gereja Katolik Roma di tanah Papua itu, memikirkan bagaimana membentuk suatu dewan, kongregasi, forum bahkan komite atau apapun namanya yang menghimpun seluruh pastor Papua minimal seluruh pastor pribumi. Dengan demikian, posisi dan peran kolektif mereka dalam memihak umat Tuhan di atas tanah ini benar-benar menyentuh langsung ke bawah dan dapat menyuarakannya langsung ke pusat—Vatikan. Berbagai usulan dan teriakan umat penuh kekecewaan terhadap orientasi dan kinerja Komisi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan menyerukan keluarnya Lima keuskupan Papua dari otoritas tersebut, merupakan realitas yang tak akan mungkin lagi dinafikkan. Suara-suara itu akan makin lantang bergema terdengar, jika arah dan orientasi Otoritas gereja Katolik tanah Papua makin tak sejalan dengan harapan umat tersebut ke depan.
Apapun alasannya, Gereja Katolik Papua dewasa ini telah memperlihatkan dan mulai harus menelanjangi ‘loyalitas’ sesuai umpetan kata Romo Prof. Franz Magnis Suseno dan juga semakin dituntut tegas bukan saja karena telah mempelopori upaya dialog damai yang panjang, namun juga telah dinubuatkan oleh para misionarisnya bahwa ada kesan orang Papua sejak lama telah diperlakukan bagaikan binatang oleh negara. Silahkan baca, renung dan aktualisasikan ungkapan Pastor Franz Liehout OFM dan Pastor Franz Magniz Suseno, SJ mengenai perlakuan penguasa Indonesia terhadap orang Papua selama ini. Akhirnya adalah suatu tindakan dan reaksi gegabah jika kematian beberapa biarawan Katolik pribumi akhir-akhir ini turut memiliki korelasi dengan upaya membungkam suara gereja Katolik, sebab itu akan terkesan atau sama halnya dengan tindakan “menggarami lautan” atau bahkan “menyiram bensin dibara perapian”.
Jayapura, 07 Januari 2021
*Penulis adalah salah satu umat Katolik Papua
—————————————————
REFERENSI:
1. SKPKC Fransiskan Papua, 2014. Memoria Passionis Papua: Kronik HAM 2014. SKPKC Keuskupan Jayapura: Jayapura.
2. Bdk. Theo Van De Broek OFM, Br 2020. Surat Terbuka Br.Theo Van De Broek,OFM kepada Uskup Mandagi. Jayapura (Diakses pada 30 Desember 2020)
3. Wikipedi.org. Albert Soegijapranata (Diakses pada 5 Januari 2020)
4. Bdk. Socratez Sofyan Yoman, Dr. 2020. Surat Terbuka Kedua Menanggapi Pidato Presiden Republik Indonesia Pada Hari HAM. Jayapura (Diakses pada 05 Januari 2020)
5. Lih. Magnis Suseno Franz. 2015. Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: Bunga Rampai Etika Politik Aktual. PT.Kompas Media Nusantara: Jakarta
6. Lih. Haluk Markus Et Al. 2020. Pastor Frans Lieshout,OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua. SKPKC Fransiskan Papua: Jayapura.