Jayapura, nirmeke.com – Sebanyak 72 orang yang merupakan eks karyawan PT. Freeport Indonesia telah meninggal dunia sejak pemutusan hubungan kerja sepihak akibat aksi mogok 8.300 karyawan PT. FI pada 2017.
Jumlah 72 orang meninggal dunia yang merupakan eks karyawan PT.FI tersebut dihitung sejak tahun 2017 hingga 2020.
Aser Gobai, Ketua Pengurus Cabang Serikat Pekerja Kimia, Ekosob, Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPKEP SPSI) Kabupaten Mimika mengatakan, akibat dari pelanggaran hukum serta hak asasi manusia dari pekerja berdampak sangat besar, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun ekonomi.
“Sehingga dikatakan ada pelangaran HAM serius terhadap 8.300 tenaga kerja yang alami ini. Terjadi banyak anak putus sekolah, perceraian, dan 72 karyawan yang meninggal ini baru kami ajukan, belum melaporkan keseluruhan dari dampak korban yang dialami anak dan istri dari tiap karyawan,” katanya kepada suarapapua.com, Jumat (4/9/2020).
Ia mengatakan, permasalahan yang dialami para buruh adalah masalah kemanusiaan demi perbaikan orang Papua. Bila Manajemen PT. Freeport Indonesia mengatakan mogok kerja yang dilakukan tahun 2017 silam tidak sah, maka SPSI siap mejau ke ranah hukum.
“Kami SPSI siap menghadapi hukum, bila terjadi pembiaran maka negara terus melindungi para penjahat ini, terutama kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua yang belum juga menindaklanjuti nota ke II sesuai anjuran Gubernur Papua,” tegas Gobai.
“Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua harus memberikan jaminan kepastian kepada para korban yang ditelantarkan Freeport selama 3 tahun di atas tanah Papua.”
Luis Madai, Ketua Tim Kerja HAM OAP MRP mengakui, 8.300 karyawan yang telah dirugikan mengadu kepada MRP yang didampingi pihak LBH Papua sebagai kuasa hukum.
“Dari dokumen yang diterima sudah membenarkan terkait aturan mogok kerja, termasuk aturan hukum yang ada di Indonesia. Gubernur Papua juga sudah mengeluarkan satu surat nota I, dimana dalam surat tersebut meminta hak-hak karyawan segera dibayarkan dan karyawan dikembalikan aktif sebagai pekerja di Freeport. Namun hingga saat ini realisasinya belum dilakukan oleh Freeport,” tuturnya.
Sementara katanya, MRP melihat adanya putusan nota I yang dikeluarkan oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua belum juga ditindaklanjuti dinas terkait, sehingga hal ini telah merugikan para karyawan dan keluarganya.
Dengan demikian, MRP berinisiasi untuk mengundang serta meminta pertanggungjawaban Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua.
“Kami akan meminta mereka segera mengeluarkan nota II guna menolong para karyawan ini sesuai dengan surat yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua, agar nasib karyawan ini bisa kembali bekerja,” imbuhnya.(*)
Sumber: Suara Papua