Jayapura, nirmeke.com – Tokoh Adat Sentani prihatin terhadap implementasi Otonomi Khusus (Otsus) yang telah berjalan selama 20 tahun di tanah Papua. Pasalanya selama Otsus berjalan pemerintah tidak serius mensejahterahkan rakyat Papua.
Hal tersebut dikatakan Nells Monim, Ondoafi kampung Putali dan juga mewakili Dewan Adat Sentani (DAS) ketika menghadiri sosialiasi penjaringan aspirasi pelaksanaan Otsus dari Majelis Rakyat Papua (MRP) beberapa waktu lalu.
Ia juga menilai pemerintah tidak serius membackup persoalan yang terjadi di tanah Papua.
“Dari 20 tahun ini, kami melihat banyak masyarakat orang asli Papua yang menganggur. Banyak anak Papua putus sekolah karena biaya yang begitu mahal, dan juga PHK yang besar-besaran yang di alami karyawan orang asli Papua di PT Freeport Indonesia,” tuturnya.
Sebagai masyarakat adat, kata Monim, pihaknya prihatin atas banyak anak-anak Papua yang kehilangan lapangan pekerjaan karena didominasi oleh imigran dari luar Papua.
“Kami melihat Otsus selama 20 tahun tidak ada apa-apanya,” tegasnya.
Ia menambahkan, keberpihakan Otsus terhadap orang asli Papua tidak ada, dimana terlihat dalam jabatan-jabatan pemerintah maupun legislatif. Salah satu contoh adalah ketua DPR Papua yang dijabat oleh orang luar Papua.
“Ini ranahnya orang Papua, kenapa gubernur dan bupati orang Papua, tapi DRP Papua saja orang non Papua. Sehingga kami katakan bahwa Otsus sama sekali tidak berjalan,” tuturnya.
Kegagalan Otsus ini juga terlihat dengan tidak berjalannya Perdasi dan Perdasus yang di buat dan diusulkan yang tidak pernah disahkan untuk dijalankan. Aspirasi rakyat Papua seharusnya disampaikan melalui Perdasi dan Perdasus, namun nyatanya tidak pernah di terima oleh pemerintah pusat.
“Sebagai tokoh adat, kami sangat peduli sehingga perlu di evaluasi (Otsus) dengan benar, karena pembangunan selama 20 tahun dalam era Otsus yang terlihat hanya infrastruktur seperti jalan, jembatan tapi masyarakatnya tidak pernah di perhatikan,” tuturnya.
Ia mencontohkan bila jembatan merah Youtefa di Jayapura rusak, bagi orang Papua hal itu bukan soal. Karena masyarakat Papua bukan hidup dari jembatan yang megah itu. Tetapi lebih penting adalah bagaimana pemerintah membangun orang atau manusianya.
“Sebagai tuan rumah di erah Otsus ini, kami hanya sebagai penonton saja. Proyek- proyek besar selalu jatuh ke orang non Papua bukan ke orang Papua. Uang kecil beli uang besar dan sistem ini yang berlaku di Papua.”
Ia lalu mempertanyakan eksistensi keberadaan Otsus di Papua. Menurutnya, orang asli Papua yang anggota DPRD di tanah Tabi, Kabupaten Jayapura hanya 8 orang, sisahnya orang dari luar Papua.
Oleh sebab itu katanya, Otsus tidak bisa disebut berhasil dan dilanjutkna.
Serupa disampaikan kumpulan aktivis se-Sorong Raya yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Kemanusiaan Bagi Orang Asli Papua (SPKB-OAP) yang mana meminta agar hentikan perpanjang Otsus yang telah berjalan selama 20 tahun, yang perpanjang penderitaan orang Papua ini.
Ando Sabarofek, Sekertaris SKPB-OAP kepada suarapapua.com dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya menolak Otsus jilid II.
“Kami menolak tegas segala bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melanjutkan Otsus jilid II, karena sudah 20 tahun rakyat Papua tidak pernah merasakan manfaat dari Otsus itu,” kata Sabarofek. (*)
Sumber: Suara Papua