)* Oleh Soleman Itlay
Perintahkan panglima TNI dan Kapolri untuk menangkap, mengadili dan menghukum otak dibalik Tri Susanti dan Syamsul Arifin serta anggota TNI-POLRI, dan milisi kolonial Indonesia yang menyebut—menyamaratakan kaum budak West Papua di depan asrama mahasiswa Papua, Kamasan III, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia pada 15-17 Agustus 2019 lalu.
Mereka itulah yang harus diungkap, diadili dan diproses hukum. Mengapa, karena mereka itulah yang jelas pelaku rasis. Sehingga aparat kepolisian tidak perlu memutarbalikkan fakta, mengkambinghitamkan Tri Susanti dan Syamsul Arifin guna mengalihkan perhatian. Atau dengan kata lain, tidak perlu merekayasa kenyataan dalam logika hukum yang tidak masuk di akal.
Tri Susanti dan Syamsul Arifin itu ibarat benih yang lain. Lantaran karena benih itu berada dalam lingkaran itu, maka dengan mudah dan cepat menjustifikasi mereka. Tetapi sekali lagi mereka bukan pelaku utama. Pelaku utama besar kemungkinan merupakan para jenderal berbintang, elit politik dan penguasa serta anggota TNI-POLRI bersama milisi kolonial Indonesia yang menghina harkat dan martabat orang West Papua.
Mereka itulah yang harus negara kolonial Indonesia ungkap sampai menjatuhkan hukuman setara dengan perbuatannya. Negara tidak boleh membiarkan, apalagi sengaja menyembunyikan mereka dengan alasan tertentu. Pemerintah kolonial Indonesia harus pahami baik. Bahwa melindungi pelaku utama rasisme negara sama halnya dengan menguburkan benih di dalam tanah.
Hari ini boleh negara menyangkal, membiarkan, melindungi dan tidak mengiring mereka ke dalam sistem peradilan hukum dengan dalih seolah-olah pelaku utama rasisme kolonial Indonesia di Surabaya adalah Tri Susanti dan Syamsul Arifin. Tapi negara harus sadar. Bahwa upaya negara kolonial yang menutup-nutupi pelaku utama ini ibarat menguburkan benih dalam tanah yang baik.
Negara kira dengan menetapkan Tri Susanti dan Syamsul Arifin akan meminimalisir kesan buruk bagi negara kolonial. Negara mungkin merasa bahwa kedua pelaku provokator ini bisa membuat orang West Papua berhenti sakit hati terhadap negara kolonial. Tetapi ingat. Bahwa saat ini bukan di tahun 1960-an, yang mana kolonial Indonesia menipu kaum budak West Papua guna menganeksasikan wilayah koloni modern itu.
Tentu saja ini beda masa. Beda generasi. Tidak tepat kalau menilai orang West Papua menggumamkan kaca mata purba kolonial Indonesia: orang West Papua itu masih bodok, primitif, kanibal, separatis dlsb. Kasat mata hitam kolonial Indonesia ini untuk saat ini tidak relevan. Justru kenyataan dan kebenaran berkata lain.
Hari ini kaum budak kolonial Indonesia bukan manusia bodok atau mudah menerima permainan busuk dari para jenderal bertanggan darah, elit dasar politik dan penguasa oligarkis. Mungkin Anda boleh menerka dengan perspektif sepihak dengan merujuk pada keterbatasan SDM. Tetapi ingat. Mereka juga punya orang-orang tertentu yang punya hikmat dan pengertian lain yang dipakai oleh Tuhan untuk membedakan baik dari yang buruk dan benar dari yang salah.
Dengan indera yang mereka miliki, mereka juga bisa bedakan mana yang pelaku utama dan mana yang bukan otak dibalik peristiwa rasis itu. Mereka juga bisa membedakan mana yang dikambinghitamkan untuk mengalihkan perhatian mereka dalam upaya membendung amarah Orang West Papua atau melindungi pelaku utama atas nama Tri Susanti dan Syamsul Arifin.
Kolonial Indonesia harus ingat. Cara seperti ini bukan menyelesaikan kasus rasisme. Sebaliknya, justru ini hanya menanamkan benih petaka bagi keutuhan dan kedaulatan negara kolonial Indonesia sendiri. Niscaya, ingat di kemudian hari. Benih rasisme yang disembunyikan itu akan tumbuh pada waktunya. Kolonial Indonesia tunggu bom waktu saja.
Wibawa negara ini kelak akan hancur akibat penanganan kasus, termasuk kejahatan rasisme kolonial Indonesia yang sarat tebang pilih—pilih kasih. Paham demi dan landasan hukum negara ini kelak akan menimbulkan perdebatan karena praktik penegakan hukum yang sangat diskriminatif. Falsafa negara, Pancasila, UUD 1945 dan lainnya akan mempengaruhi eksistensi negara hanya karena ketidakadilan merajalela di dalam sistem peradilan hukumnya.
Andai sa ini Jokowi. Pasti melihat 3 pelaku utama. Pertama, otak dibalik provokator, yang merencanakan, memfasilitasi/membiayai untuk berani bertindak dan berujar rasis.. Besar kemungkinan ini melibatkan pejabat negara kolonial (elit politik—partai politik). Kedua, provokator (titipan elit politik atau milisi negara—agama). Ketiga, anggota TNI-POLRI dan milisi negara—agama Islam (FKPPI, FPI dlsb).
Orang-orang dibalik layar itulah yang harus diungkap, ditangkap, diproses hukum, diadili lebih dulu dan dijatuhkan setimpal menurut perbuatan. Bila perlu menjatuhkan masa tahanan sesuai dengan aturan peradilan hukum kolonial. Karena hanya dengan itu sajalah membuat orang West Papua puas—merasa luka bakar rasis negara kolonial dapat diobati.
Andai sa itu Jokowi. Saya akan perintahkan untuk menangkap aktor-aktor utama di balik layar dan di lapangan itu. Mereka harus diadili seadil-adilnya dan dihukum, bila perlu sama atau lebih dari masa tahanan politik anti-rasisme—korban rasisme—korban kriminalisasi hukum—korban makar di luar fakta persidangan—korban diskriminasi rasial kolonial.
Pertama, karena mereka telah menggunakan atribut negara kolonial dan melakukan tindak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan (rasis) dan mengeluarkan kata-kata yang jelas-jelas menghina eksistensi orang Wes Papua. Kedua, karena mereka membuat orang West Papua marah dan benci. Ketiga, karena mereka telah merusak nama baik Jokowi dan negara kolonial.
Andai sa ini Jokowi. Perintahkan penegak hukum untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Tetapi tetap memperhatikan asas keadilan dan kemanusiaan. Bila perlu membebaskan pelaku maupun korban rasis dengan pertimbangan adanya pandemi global, Covid-19 atas nama kemanusiaan dan demi keselamatan nyawa manusia.
Selama aktor-aktor utama tidak ikut diungkap dan diadili sebagainya mestinya, selama itu orang West Papua tidak akan puas, percaya dan tetap merasa diperlakukan secara tidak adil, diskriminatif. Pada saat yang sama, dunia pun akan melihat ketidakadilan hukum kolonial yang menindas dan sangat diskriminatif bagi kaum budak West Papua dalam sistem peradilan hukum kolonial Indonesia.
Joko Widodo, aparat keamanan kolonial Indonesia dan penegak hukum lainnya harus baca pertanyaan-pertanyaan ini baik. Orang West Papua ingin tahu dan Jokowi Widodo dengan jajarannya harus dan wajib menjawab ini.
Siapa orang yang lapor bahwa mahasiswa West Papua tidak mau tanam bendera merah putih di depan asram menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2020—ke-74? Siapa yang lapor bahwa mahasiswa West Papua mencabut bendera merah putih yang ditanam depan asrama oleh ketua RT dkk, dipatahkan dan dibuang ke selokan parit?
Apakah itu adalah Tris Susanti dan Samsul Arifin? Kalau mereka, tidak ada soal. Sebab, kedua orang itu telah ditangkap dan dijatuhkan hukuman. Tetapi kalau memang mereka adalah pelaku utama: mengapa hukuman penjara mereka sangat singkat ketimbang korban tahanan politik rasisme kolonial Indonesia? Negara kolonial Indonesia harus jelaskan ini.
Joko Widodo juga harus bertanggung jawab: tak hanya bagi korban pemilik kios, tokoh, mall dan lainnya yang terbakar. Tapi juga kolonial Indonesia harus bertanggung jawab atas kematian 21 orang yang tewas dan 41 orang yang mengalami luka-luka akibat tindak kekerasan dan kejahatan ala keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Kolonial Indonesia harus adil. Tak hanya membantu pengusaha yang kehilangan material. Akan tetapi lebih baik lagi dan harus lebih bertanggung jawab itu soal nyawa manusia yang tewas akibat tindak dan ujaran rasisme kolonial Indonesia melalui anggota TNI-POLRI bersama milisi kolonial Indonesia di Surabaya. Bila perlu 7 Tapol rasisme kolonial Indonesia di Balikpapan dan lainnya dibebankan tanpa syarat.
Andai saja sa Joko Widodo. Saya akan mengikuti suara hati orang West Papua sebagai salah satu bentuk penghargaan kepada orang dan tanah Papua—tempat dimana Iriani, istrinya menghabiskan usia mudanya disana. Andai pun saya Joko Widodo. Saya akan mengakui kedaulatan politik orang West Papua dan melepaskan West Papua sebagai sebuah bangsa sendiri sebagai solusi demokratis. Tapi juga untuk menjaga wibawa kolonial Indonesia.