(Belajar dari Petrus dan Nimbrod di Kota Jayapura)
)* Oleh Soleman Itlay
Kemarin, boleh kita habiskan kepedulian dan keprihatinan terhadap semua orang yang mudah diakses oleh kita sekalian. Hari ini, kita bisa mendonasikan uang tunai kita kepada semua orang yang memiliki akses untuk mendapatkannya. Besok kita, tidak ada masalah juga kalau masih saja ingin membantu orang, menyelamatkan nyawa orang lain yang membutuhkan bantaun dari kita. Tetapi satu hal yang perlu kamu perhatikan saat ini adalah kita tidak akan pernah cepat dan benar-benar bebas dari Covid-19 kalau masih saja kita belum menyelematkan orang, orang miskin, anak-anak gelandangan dan yang paling dikasihi oleh Tuhan.
Kita jangan bermimpi bahwa Covid-19 akan segera berakhirdengan cepat, jika kita, semua orang normal, orang kaya dan orang besar—pejabat sibuk menyelamat diri, keluarga dan sesama orang yang normal dan kaya pula. Kita dengan optimisme boleh katakan, bahwa dengan penanganan Covid-19 bagi orang normal dan berada yang baik akan mengkondusifkan keadaan kembali. Namun dengan pesimisme, kita harus sepakat, bahwa penanganan Covid-19 yang sarat tidak adil ini akan membuat dunia akan segera pulih.
Kita boleh bicara berdasarkan data di RSUD dan lainnya, kita boleh bilang ini dan itu sesuai dengan keinginan kita karena melakukan penanganan lebih kepada orang-orang kota yang kaya dan mudah diakses oleh petugas kesehatan dan tim relawan. Namun, setelah kita berhasil menekan layu penyebaran Covid-19, virus ini akan tetap muncul dan berkembang. Muncul dari mana lagi? Yang jelas bukan hanya dari orang normal, kaya yang tidak terpantau. Namun ancaman Covid-19 putaran berikut akan semakin meruak karena minimnya keseriusan dan kejelihan kita untuk membantu dan menyelamatkan orang gila, miskin, gelandangan dan lainnya.
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu sudah memberi alaram kepada dunia melalui media massa. Dalam hematnya, Covid-19 berpotensi menimbulkan putaran berikut. Dan itu, prediksi dia bisa menelan banyak orang. Netanyahu, memang tidak menyinggung soal nasib, keberadaan dan masa depan orang gila, miskin, lemah dan membutuhkan pertolongan seperti orang-orang yang normal, kaya, kuat dan mampu bertahan hidup. Namun, orang-orang berkelas sosial seperti mereka ini bisa menjadi faktor utama penyebaran Covid-19 putaran kedua—di luar dugaan semua orang di planet bumi ini.
Realitas
Soal orang kaya tidak perlu singgung. Mereka punya akses media dan informasi banyak. Bahkan kepada orang yang Tuhan paling kasihi dan cintai, yakni; orang miskin, orang sakit, anak yatim piatu, janda luda (lansia), dan lainnya pun tak perlu diragukan. Sebab mereka-mereka ini telah cukup diakses, dibantu dan dapat terpublikasi di media masa. Bahkan hewan dan binatang yang terserang oleh Covid-19 pun telah diakses oleh jurnalis dan dikonsumsi oleh semua pihak. Namun yang belum tersentuh sama sekali dan sama sekali belum terupdate adalah nasib, keberadaan dan masa depan orang gila.
Hampir semua media masa di dunia ini kurang memuat berita tentang nasib, keberadaan dan masa depan orang gila, dan anak-anak gelandangan. Jangankan jurnalis, pemerintah yang paling bertanggungjawab atas kehidupan manusia pada suatu negara saja belum memperlihatkan mereka. Tentu ini merupakan sebuah masalah kecil yang pada giliran berikut bisa memakan ribuan penduduk di bumi. Hari ini, boleh saja kita menganggap sepeleh. Tapi besok kita akan pusing dengan orang-orang yang tidak terhitung di mata dunia—bukan Tuhan.
Fakta
Kita bisa lihat dari fakta di lapangan. Mereka yang normal sudah tahu lebih dahulu tentang bahaya Corona Virus serta bagaimana menyelamatkan diri dari virus biologis itu. Untuk menghindari ancaman Corona Virus itu, mereka yang kaya sudah menyiapkan diri secara matang. Mereka menyuplai segala kebutuhan makan minum dan lainnya di rumah untuk bertahan selama beberapa bulan ke depan.
Mereka yang muda terhubung dengan akses informasi dan perkembangan, mudah mengikuti dan cepat sekali mencari jalan aman. Mereka yang mempunyai segalanya, cepat sekali mencari jalan pintas untuk menyiapkan diri, anak istri dan keluarganya. Tetapi bagaimana dengan nasib orang gila dan orang miskin di kota-kota besar hingga di pelosok dunia ini? Apakah mereka sudah tahu tentang bahaya Corona Virus dan dapat mengambil langkah preventif sebagai solusi untuk menghindari ancaman Corona Virus yang mematikan dalam rentang waktu yang singkat itu?
Kita bisa bayangkan dan tahu benar. Mereka (orang gila dan orang miskin) di kota-kota besar, terutama di waktu normal, yang akses teknologi informasi sangat terbuka dan terjamin saja belum tahu dan sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda untuk menghindari dari ancaman kemiskinannya.
Lalu bagaimana dengan nasib orang gila dan orang miskin dalam menghadapi Corona Virus di kota-kota besar hingga pelosok di planet bumi ini dalam melawan Corona Virus saat ini hingga ke depannya? Kita tahu, pemerintah yang berkuasa dan orang-orang normal serta yang kaya, siang malam menyebarluaskan informasi melalui media masa dan lain sebagainya tak henti-hentinya.
Pertanyaan: apakah upaya pemerintah bersama kaum normal yang menyebarluaskan informasi dan perkembangan ancaman global hari ini sangat efektif bagi orang gila dan orang miskin di kota-kota besar hingga pelosok dunia juga? Tidak semua orang gila dan orang miskin mendapatkan akses informasi yang cukup, meskipun pemerintah dan orang normal menganggap hal itu sangat tepat dengan upaya yang sedang berlangsung dimana-mana.
Kita boleh katakan seperti itu. Tetapi kenyataan hari menunjukkan lain. Bahwa sebagian besar dari mereka tidak bahkan sama sekali belum mengetahui dan mengikuti informasi dan perkembangan saat ini. Barang tentu ini menjadi ancaman tersendiri di luar dugaan pemerintah dan orang normal yang saat ini ramai menghadapi tantangan dunia modern itu. Khusus orang miskin di kota-kota besar, bisa saja dikatakan, bahwa mereka telah mengetahui tentang bahwa Corona Virus ini. Tetapi jikalau mereka masih masih saja mondar mandir di kota-kota besar, berarti itu lebih kepada soal mencari makan minum.
Beda dengan orang miskin (bukan orang gila) di pedalaman. Mereka ini rata-rata tidak tahu sama sekali. Sama seperti orang gila di kota-kota besar, yang fasilitas teknologi informasinya sanga terjamin, namun belum memiliki akses informasi (terbatas). Orang gila di kota, sebagian sudah dengar dan lihat melalui orang sadar yang mewarning masyarakat di kota dengan megaphone, medsos, pengawasan aparat kepolisian, militer dan lainnya.
Namun demikian, mereka tidak mengerti dan tidak tahu betul harus bikin apa dan bagaimana. Beda dengan orang gila di kampung-kampung. Mereka tidak tahu sama sekali dan tidak tahu pula apa yang mereka harus lakukan untuk melawan Corona Virus ini. Pasti saja ini satu soal yang nampaknya sepeleh. Namun kalau tidak jelih dan tidak serius menangani, apalagi penanganannya kurang tepat, barang pasti mempunyai dampak besar. Dampaknya bukan akan rasa saat ini. Tapi besok atau nanti. Sebab hari ini hari yang jahat dan sangat diskriminatif.
Kenyataan
Kenyataannya adalah orang sehat kasih tahu orang sehat; orang kaya membantu orang kaya kelas menengah; orang normal selamatkan orang normal; keluarga selamatkan keluarga; negara maju bantu negara berkembang; negara komunis dan sosialis membantu orang atau negara yang pernah diremehkannya. Sementara orang gila dan orang miskin kelas bawah, termasuk anak yatim piatu dan janda luda, yang sulit terjangkau di fase yang normal, pada saat yahg kritis ini tetap dan sama seperti di waktu normal. Tidak ada yang berani membantu, menolong dan menyelamatkan mereka dari ancaman Corona Virus dan ancaman kemiskinan mereka dalam situasi yang parah ini.
Pemerintah mana dan orang normal siapa yang berani mendekati untuk memberi tahu mereka agar tinggal di rumah, nenjaga jarak, cuci tangan sebelum makan, tak berjabat tangan, menghindari kerumunan dan lainnya sebagainya? Orang baik hati siapa yang dapat mengisolasi mereka di rumah atau tempat tertentu dengan menjamin makan minum mereka selama Corona Virus meruak kemana-mana?
Belajar Dari Petrus dan Nimbrod di Kota Jayapura
Kita bisa lihat dari pengalaman N. Petrus, Nimbrod dan kawan-kawannya di tengah ancaman Corona Virus di depan mata mata di kota perbudakan modern saat ini. Mereka jalan dengan tubuh dan pakaiannya yang kotor. Rambut mereka juga kotor. Muka mereka hitam. Di waktu normal, kadang orang takut karena wajah mereka yang seperti itu.
Di tangan mereka selalu penuh dengan kantong, plastik, botol dan lainnya. Mereka aktif beraktivitas di tempat-tempat umum dan keramaian, seperti jalan-jalan raya, depan mall, terminal, bandara, pelabuhan, tempat sampah dan lainnya. Dari pagi sampai malam – dari waktu ke waktu – bahkan hingga saat ini, di tengah ancaman Corona Virus yang menglobal. Mereka ini dan teman-teman, orang gila dan orang miskin yang lain, mereka tetap berada dan aktif melakukan aktivitas seperti biasanya di tempat-tempat diatas.
Makan minum mereka tidak jelas.
Makan dari ampas-ampas makanan yang dibuang orang normal dan orang kaya di jalanan, parit dan depan rumah. Kadangkala mereka membongkar sampah di tempat-temoat tempat-tempat sampah. Tidur di depan warung, cafe, kios, ruko, mall, tepian jalan, di bawah pohon, serambi gereja, masjid, taman dan tempat keramaian lainnya. Dalam situasi ini mereka bertahan hidup dengan cara mereka masing-masing.
Petrus dan Nimbrod berada di kota Jayapura, West Papua, Indonesia. Kota ini merupakan salah satu kota besar di tanah koloni. Tepat di Indonesia paling timur. Sebelah barat daya dari PNG, negara yang telah berdaulat. Berada di tengah-tengah antara Asia dan Pasifik. Mereka beraktivitas bebas di kota yang juga telah ada temuan penderita Corona Virus. Menurut Silwanus Sumule, juru bicara satgas penanganan Corona Virus di provinsi Papua, katakan bahwa kota perbudakan modern di Indonesia itu, ada 4 orang positif yang terngjangkit Corona Virus. Jumlah ini belum termasuk dengan ODP dan PDP.
Artinya, sudah jelas. Petrus dkk berada dan bebas melakukan aktivitas di kota yang boleh dibilang merah atau berbahaya. Karena ancaman Corona Virus sudah ada di depan mata. Mereka maupun masyarakat di kota ini, sekalipun pemerintah telah melarang beraktivitas di jalan-jalan, taman, mall, dan lainnya secara bebas (lockdown), mereka tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Ini bukan soal mereka tidak mau tahu, tidak mau dengar dan mematuhi anjuran pemerintahnya. Akan tetapi apa yang mereka lakukan, yang nampak melawan anjuran pemerintah itu pantas. Pantas karena mereka bukan orang normal, yang mudah mengikuti ajakan orang normal.
Latar belakang mereka jelas: orang abnormal. Lain cerita dengan orang normal, kaya dan miskin yang melakukan aktivitas bebas setelah mendengarkan arahan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah dan lain sebagainya. Kenyataan tidak bisa pungkiri. Buktinya, mereka masih nmelakukan aktivitas secara bebas di tempat-tempat keramaian. Tentu ini sebuah pekerjaan penting yang harus dan segera dilihat oleh pihak-pihak terkait.
Karena masalah ini tak membuat mereka rentan terjangkit Corona Virus dan membahayakan kesehatan, dan keselamatan nyawa mereka sendiri. Justru pada saat yang sama, aktivitas mereka yang bebas bitu membahayakan keselamatan dan nyawa orang normal (lain) yang aktif melakukan aktivitas seperti biasa di kota ini. Mereka melakukan aktivitas bebas itu lebih karena mencari makan lantaran keterbatasan ketersediaan kebutuhan pokok pada saat ini. Mereka, termasuk orang miskin kota yang masih berkeliaran, tidak bisa mencari pekerjaan lain, seperti berkebun dan lain sebagainya.
Sebab di kota ini tidak ada lagi lokasi khusus bagi orang miskin untuk mencari nafkah hidup; tempat yang disiapkan untuk mengantisipasi Corona Virus bagi orang gila dan orang miskin; juga mengalihkan perhatian disamping menghindari ancaman kemiskinan, termasuk dengan ancaman Corona Virus baru ini. Petrus dan Nimbrod dkk, bukannya tak mengindahkan peringatan pemerintah. Namun apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sulit untuk dijelaskan disini. Apa yang mereka lakukan ialah sebuah kegiatan yang jauh berbeda dari manusia normal dan kaya.
Mereka ini beda
Status mereka sangat jelas. Adalah abnormal dan miskin. Maka penangananya pun haru dilakukan secara berbeda. Mereka ini kalau terjangkit Corona Virus sangat berbahaya. Bahayanya, bukan saja dituju pada orang gila dan orang miskin. Tetapi juga bagi orang normal dan kaya di kota perbudakan ini. Jika pemerintah hanya fokus melakukan penanganan bagi orang normal dan atau orang kaya hanya mengutamakan keselamatan sepihak, bukan tidak mungkin, ke depan mortalitas ODP, PDP, positif dan kematian di kota ini (Jayapura, tanah Papua dan Indonesia) akan meningkat secara signifikan hanya karena pemerintah tidak memperhatikan orang gila dan kebutuhan pokok orang miskin, janda duda kelas bawah.
Tuhan itu sangat mencintai orang gila, orang miskin, janda luda, anak yatim piatu dan mereka yang membutuhkan pertolongan. Jika kita ingin selamatkan diri kita dan dunia, baiknya terlebih dahulu kita memperhatikan nasib mereka lebih dahulu. Sebab mereka Tuhan bisa saja merubah keadaan, bahkan usaha serta upaya kita bisa menjadi sia-sia belaka. Karena mereka juga, Tuhan bisa membuat kita mudah terjangkit dan mati akibat Corona Virus. Lebih baik pemerintah selamatkan lagi orang gila beserta kebutuhan makan minum dan tempat tinggal di masa krisis global ini disamping pemerintah dan kita yang normal terus waspada dan menyelamatkan orang normal lainnya.
Jika selamatkan semua orang dari ancaman Corona Virus? Selamatkan juga orang gila dan orang miskin tanpa pandang bulu. Perlakukan mereka tanpa diskriminatif. Selayaknya kita perlakukan terhadap orang normal. Selamatkan orang normal dan kaya tanpa selamatkan orang gila dan miskin, sama saja sia-sia. Pasti Corona Virus tetap akan muncul terus meski pemerintah lebih memperhatikan nasib orang normal dan kaya. Orang kaya pun sama. Lebih banyak turunkan tangan di kota yang fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatannya cukup memadai.
Ini sangat berbahaya. Kalau mau berantas korona harus melakukan penanganan secara adil tanpa melihat perbedaan status sosial dan daerahnya. Pemerintah harus melihat ini secara jelih. Jika ada orang gila , miskin, yatim piatu, dan janda luda di daerah tertentu terkendala dengan fasilitas kesehatan dan tenaga medis, harus membantu disitu dengan hati yang ikhlas. Karena mata Tuhan selalu ada pada orang-orang itu dan di daerah yang orang tak muda diakses. Selamat orang gila dan orang miskin kagi kalau benar-benar ingin melumpuhkan Corona Virus.
)*Penulis adalah warga sipil di kota Jayapura.