Jayapura, nirmeke.com – Wabah Corona Virus atau Covid-19 yang menyebar ke Papua, membuat masyarakat membuka lahan baru untuk membuat kebun agar menanam pangan lokal untuk di konsumsi selama masa karantina Covid-19.
Covid-19 membuat masyarakat mulai berbondong-bondong membuka lahan baru untuk buat kebun, namun lahan yang di buka di beberapa tempat merupakan lahan cagar alam, hutan lindung dan mata air.
Direktur eksekutif Kamar Adat Pengusaha (KAP) Papua Mecky Wetipo mengatakan KAPP yang mencanangkan gerakan pemanfaatan pangan lokal Papua selama masa Covid-19, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membuka lahan rawan longsor, cagar alam dan mata air.
“KAPP sarankan, para pihak yang hendak berkebun, untuk berdiskusi dengan ondoafi dan atau kepala suku, meminta ijin penggunaan lahan berkebun di area dataran rendah,” katanya.
KAP Papua juga ingatkan masyarakat agar tidak membuka lahan di wilayah gunung/perbukitan. Dan jangan buka lahan di daerah aliran sungai, serta lahan yangg sudah dikerjakan oleh kelompok/suku lain.
“Karena kalau tidak diantisipasi lebih awal, banyak masalah yang bisa muncul,” kata Wetipo.
ia menambahkan untuk itu kami minta, tokoh gereja, pemerintah (eksekutif/legislatif), wadah kultur-MRP, LSM, tokoh pemuda dan perempuan untuk bersama-sama menghimbau dan mengarahkan warganya menjalankan poin pertama diatas. Masyarakat harus dijelaskan dengan baik agar dapat memahami tujuan keselamatan alam dan dunia.
“Tentu KAP Papua juga akan mengambil bagian dlm konsolidasi ini,” katanya.
Kata Wetipo, himbauan diatas adalah penanganan oleh pihak eksternal. Sedangkan oleh internal, komunitas yang biasa berkebun di wilayah gunung, sumber mata air.
Kami minta dengan hormat untuk mulai berpikir untuk kepentingan banyak orang baik saat ini maupun anak cucu kelak.
“Tindakan mengunduli hutan adalah sama sekali tdk terpuji. Maka, para tokoh-tokoh diatas, mohon fasilitasi untuk mencari lahan baru untuk berkebun. Wilayah gunung Sykloop dari ujung sampai ujung harus bebas dari kegiatan masyarakat, apapun itu bentuknya,” katanya.
Satu dampak yang sudah kita rasakan yaitu akan debit air yang terus berkurang. Selain itu erosi yang bisa merusak segala sesuatu termasuk orang yang tidak tahu masalah sekalipun.
Sementara itu Eka Kristina Yeimo, Dosen FKIP program studi Geografi di Universitas Cendrawasih Jayapura juga menambahkan hutan itu sebagai fungsi untuk penahan air yang meresap dan menyimpan air di dalam tanah sudah tidak ada lagi (gundul) yang ada perumahan dan kebun.
kita ketahui bersama mereka yang bangun rumah di atas resapan air dan perkebunan di kaki-kali gunung dapat berakibat fatal seperti banjir, longsong dan keringnya mata air,” katanya.
Lanjutnya, bila kita lihat di ujung-ujung gunung seperti di Kamwolker, jalan baru dan sekitarnya semua masyarakat kita mulai buka lahan untuk berkebun, harus tebang semua pohon-pohon di sekitar lalu membuat kebun, dan ini salah besar kenapa pemerintah dan dinas kehutanan tidak melarang mereka?
“Bukan berarti karena Covid-19 kita merusak alam, untuk bercocok tanam atau berkebun ada di daerah-daerah dataran rendah yang wajar,” katanya.
Kesalahan kedua kata Eka, ini di lakukan oleh pemerintah, dalam aturan sudah ada mengenai daerah yang di lindungi seperti cagar alam, itu tidak boleh di sentuh atau ada aktifitas di tempat itu demikian juga di daerah resapan air.(*)