Anak-anak muda Papua dibawa ke sekolah-sekolah Islam di Jawa untuk “re-edukasi”, tulis Michael Bachelard.
Johanes Lokobal duduk di lantai kayu berbantalan rumput di rumah kecilnya yang hanya terdiri dari satu ruangan. Dia menghangatkan tangannya di perapian yang terletak di tengah-tengah. Dari waktu ke waktu terdengar bunyi suara babi yang membentur-benturkan badannya ke dinding kandang yang memang menempel pada dinding rumah itu.
Kampung Megapura yang berada di pusat dataran tinggi Provinsi Papua Barat, Indonesia, begitu terpencil sehingga persediaan hanya bisa sampai ke sana melalui jalur udara atau dengan berjalan kaki. Johanes Lakobal telah tinggal di sana seumur hidupnya. Dia tidak tahu berapa usianya secara persis: “Sudah tua, itu saja,” dia berkata dengan suara parau. Dia juga miskin. “Saya bantu-bantu di ladang. Dapat gaji 20,000 Rupiah per hari. Saya membersihkan kebun sekolah. Namun dalam kehidupan yang berat itu, ada sebuah peristiwa yang menyedihkan secara khusus. Pada tahun 2005, puteranya satu-satunya, dibawa orang ke tempat yang sangat jauh, Jakarta. Lakobal tidak menginginkan Yope pergi. Anak itu mungkin berusia 14 tahun, namun bertubuh besar dan kuat, pekerja yang baik. Orang-orang itu membawa dia. Beberapa tahun kemudian, Yope meninggal. Tidak seorangpun yang dapat memberitahu Lakobal, bagaimana atau kapan tepatnya, dan dia tidak tahu di mana anaknya dikuburkan. Yang dia tahu dengan tegas, hal itu seharusnya tidak terjadi.
“Kalau dia masih hidup, dialah yang akan mengurus keluarga ini,” kata Lokobal. “Dia akan pergi ke hutan mengumpulkan kayu bakar untuk keluarga. Saya sangat sedih.”
Orang-orang yang mengambil Yope adalah anggota sebuah sindikat perdagangan manusia secara terorganisir di Papua Barat. Investigasi selama enam bulan oleh Good Weekend telah mengkonfirmasi bahwa anak-anak tersebut, yang jumlahnya mungkin ribuan, dirayu untuk ikut selama sepuluh tahun atau lebih dengan iming-iming memperoleh pendidikan gratis. Di provinsi di mana sekolah-sekolahnya miskin dan keluarga-keluarganya lebih miskin lagi, sekolah tanpa biaya bisa menjadi tawaran yang menggiurkan.
Namun sebagian dari anak-anak ini, yang usianya ada yang baru lima tahun, ketika sampai ke sana baru menyadari bahwa mereka telah direkrut oleh “pesantren”, sekolah asrama Islam, di mana waktu yang dihabiskan untuk belajar matematika, ilmu pengetahuan alam atau bahasa sangat sedikit dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan di masjid. Di sana, menurut perkataan seorang pemimpin pesantren, “Mereka belajar untuk menghormati Allah, yang mana adalah yang terutama.” Sekolah-sekolah ini mempunyai sebuah tujuan: mengirimkan kembali lulusan-lulusannya ke Papua yang mayoritas Kristen untuk menyebarkan ajaran Islam yang ketat.
Tanyakanlah kepada 100 orang anak-anak laki-laki Papua di sekolah Daarur Rasul di luar Jakarta apa cita-cita mereka setelah besar nanti dan mereka akan berteriak, “Ustad! Ustad! [guru agama].”
Di Papua, khususnya di Daerah Pegunungan, isu-isu agama dan identitas budaya cukup panas. Data sensus empat dekade terakhir menunjukkan bahwa populasi penduduk asli sekarang jumlahnya hampir disamai oleh pendatang, yang sebagian besar adalah Muslim, yang berasal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Dominasi para pendatang dalam bidang ekonomi, khususnya di bagian barat provinsi itu, berhasi meminggirkan penduduk-penduduk aslinya. Imigrasi ini berarti bahwa orang-orang Papua asli mempunyai kekhawatiran yang nyata dan realistis bahwa mereka akan menjadi minoritas secara etnis dan agama di daerah mereka sendiri. Cerita-cerita mengenai orang-orang yang mengambil anak mereka menambah emosi dan berpotensi menaikkan ketegangan di wilayah yang memang sudah rentan itu.
Selama sekitar 50 tahun, pemberontakan separatis berlangsung aktif di Papua dan ratusan ribu orang meninggal dalam upaya mereka memperoleh kemerdekaan provinsi itu. Kekristenan, yang dibawa oleh misionaris-misionaris Belanda dan Jerman, adalah agama mayoritas penduduk asli, dan merupakan bagian kunci dari identitas mereka. Islam sebenarnya mempunyai sejarah yang lebih lama di Papua dibandingkan Kekristenan, namun alirannya lebih halus dibandingkan dengan yang diajarkan di masjid-masjid di Jawa yang semakin ke arah garis keras, dan masih menjadi agama minoritas setidaknya pada saat ini. Namun ketika anak-anak pesantren itu pulang dari Jawa, iman mereka telah berubah. “Mereka menjadi orang-orang yang berbeda,” pemimpin Kristen Papua, Benny Giay, memberitahu saya. “Mereka telah dicuci otak”.
Sekolah-sekolah itu bersikeras bahwa mereka hanya merekrut murid-murid yang sebelumnya telah menjadi Muslim, namun jelas mereka tidak akan mau mengaku. Di Daarur Rasul, saya segera menemukan dua anak laki-laki kecil, Filipus dan Aldi, yang menjadi Mualaf – penganut Islam baru dari agama Kristen. Sebuah organisasi Islam radikal, Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN), berterus terang mengenai tujuannya bagi para mualaf, dan akan menggunakan agama untuk tujuan politik. Pemimpinnya, Fadzlan Garamatan, mengatakan bahwa AFKN telah membawa 2200 anak-anak keluar dari Papua sebagai bagian dari program “Islamisasi” nasionalnya. “Ketika [orang-orang Papua] masuk Islam, keinginan mereka untuk merdeka menjadi berkurang,” kata Fadzlan di laman internet AFKN.
Di Papua Barat yang kondisinya terus bergeliat, pergerakan dan pemualafan anak-anak ini bersifat eksplosif secara politik. Kami berkali-kali diingatkan untuk tidak memburu cerita itu. Itu tidak pernah diberitakan oleh pers Indonesia. Kepala Satuan Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat yang berpusat di Jakarta, Bambang Darmono, meremehkannya dengan menganggap hal itu hanya salah satu dari “banyak isu di Papua”, dan direktur pesantren Kementerian Agama, Saefudin, berkata bahwa dia belum pernah mendengar hal tersebut. Namun upaya-upaya saya dalam melacak kehidupan dan kematian seorang anak laki-laki Papua telah menunjukkan bahwa perdagangan itu terus berlangsung. Dan, demi tujuan besar agama dan politik, kadang-kadang jiwa-jiwa yang masih muda dihancurkan.
Elias Lokobal tersenyum sendiri ketika dia berbicara tentang adik tirinya yang bersemangat namun telah tiada itu, namun ketika membicarakan Amir Lani, air mukanya berubah menjadi gelap. Lani seorang imam di Megapura dan kampung-kampung lain yang mengitari ibu kota dataran tinggi itu, Wamena. Pada tahun 2005 dia dan Aloysius Kowenip, seorang kepala polisi dari kota Yahukimo yang tidak jauh dari sana, mulai mendekati keluarga-keluarga dengan maksud untuk merekrut anak-anak mereka. Mereka berdua berusaha untuk mengambil lima anak laki-laki dari keluarga-keluarga yang rentan dari masing-masing lima kampung dan mengirimkan mereka ke Jawa untuk memperoleh pendidikan. Kowenip, seorang Kristen, berkata bahwa gagasannya adalah untuk “menolong” anak-anak itu, dan bahwa pendanaannya berasal dari “pemerintah lokal dan sebuah organisasi Islam” yang dia tidak ingat namanya. Dia berkata bahwa dia mencari anak-anak yatim yang hanya mempunyai satu orang tua yang masih hidup karena “tidak ada yang dapat menuntun hidup mereka”.
Yope muda adalah salah satu dari anak itu. Meskipun dia mempunyai ibu tiri, ibu kandungnya telah meninggal. Keluarganya Muslim, meskipun Yope kadang-kadang ikut ke gereja Kristen bersama pamannya. Baik Lani maupun Kowenip tidak pernah mengunjungi ayah Yope, Johanes Lokobal, untuk menjelaskan maksud mereka. Hal itu masih sangat menyayat hati. “Orang-orang ini seharusnya meminta izin dari orang tuanya,” kata Lokobal. Alih-alih, mereka bertanya kepada Yope langsung, yang bersemangat untuk ikut petualangan ini. Beberapa temannya telah ikut tahun sebelumnya dan dia tertarik untuk bergabung dengan mereka.
Ketika tiba waktunya Yope berangkat, hal itu terjadi dalam waktu singkat, cerita Elias. “Saya pergi ke sekolah, dan ketika saya pulang tidak ada satupun orang di rumah.”
Andreas Asso sebelumnya juga termasuk dalam kelompok anak-anak itu. Anak muda pemalu yang sekarang kerja membanting tulang di Jayapura, ibu kota Papua Barat, pada saat itu dia mungkin berusia 15 tahun. Seperti Yope, Andreas hanya punya satu orang tua. Saat itu ayahnya telah meninggal, dan meskipun ibunya masih hidup, dia tinggal bersama ibu tirinya. “Mereka tanya apakah saya mau melanjutkan pendidikan di Jakarta dengan gratis,” kata Andreas. “Kepala polisi itu tidak pernah berbicara dengan ibu tiri saya tetapi dia berbicara dengan paman saya, saudara laki-laki ayah saya, dan dia setuju. Saya lahir sebagai orang Kristen dan akan selalu menjadi orang Kristen. Kepala polisi itu berkata bahwa kami akan ditempatkan di asrama … Jika dia memberitahu bahwa itu pesantren, tak seorangpun dari kami yang akan mau pergi.”
Ketika saat keberangkatannya tiba, Andreas berkata bahwa sekelompok anak laki-laki yang terdiri dari 19 orang dimuat ke dalam sebuah pesawat Hercules C-130 milik Angkatan Udara Indonesia di Wamena. Berdasarkan beberapa cerita, paling muda dari mereka baru berusia lima tahun. Pesawat itu diawaki para pria berseragam. Sulit untuk memverifikasi apakah pihak militer terlibat secara resmi, namun seorang mantan kepala tentara di Papua berkata bahwa orang-orang sipil diizinkan membeli tiket murah untuk terbang dengan pesawat militer sebagai bagian dari “tanggung jawab sosial” militer. “Kami tidak berbicara dengan tentara-tentara itu,” ingat Andreas. “Kami takut.”
Perlu waktu dua hari hingga pesawat sampai di Jakarta dan, “kami tidak diberi makan ataupun ditawari minuman. Sebagian, khususnya anak-anak kecil, jatuh sakit … sebagian muntah-muntah,” kata Andreas. “Ketika mereka datang ke kampung saya, saya pikir saya mau ikut pergi. Tetapi ketika berada di pesawat itu, saya hanya berpikir, ‘saya ingin pulang ke kampung saya.’” Ketika mereka mendarat di Jakarta, anak-anak itu dibawa berkendara sekitar tiga jam ke rumah baru mereka – pesantren Jamiyyah Al-Wafa Al-Islamiyah, terletak tinggi di lereng gunung api, Gunung Salak, di belakang kota Bogor. Kepala yayasan sekolah Al-Wafa, Harun Al Rasyid, mengingat Andreas Asso dan anak-anak dari Wamena, serta orang-orang yang membawa mereka, Amir Lani dan Aloysius Kowenip, yang dia kenal sebagai “Aloy”. Kedua orang itu telah datang dan “menawarkan murid-murid” pada tahun 2005, dia mengingat kembali. “Aloy sangat berambisi di bidang politik, dan membawa anak-anak ke pesantren saya adalah sebuah cara untuk meningkatkan posisi atau citranya di tengah masyarakat,” kata Al Rasyid.
Ceritanya berbeda dengan cerita Andreas Asso dalam banyak hal namun mempunyai satu kesamaan: anak-anak dari kampung dataran tinggi Papua itu tidak betah. “Itu tidak seperti sekolah sungguhan karena di sekolah seharusnya ada kelas-kelas,” kata Andras. “Di sana, kami hanya pergi ke sebuah masjid besar dan kami hanya belajar Islam, hanya membaca Al-Quran. Kadang-kadang mereka menampar wajah kami, memukul kami dengan tongkat kayu. Mereka berkata orang-orang Papua hitam, kami berkulit gelap.”
Makanan dan pendidikan di Al-Wafa gratis namun agamanya ketat. Mereka mempunyai guru-guru dari Yaman dan pendanaan dari Saudi dan di laman webnya digambarkan sebagai Salafi sholeh, atau “Salafi saleh”. Tujuannya: “Menyiapkan kader-kader pendakwah dan orang-orang yang bisa membawa orang lain masuk Islam.” Andreas bersikeras bahwa, seperti halnya dengan dirinya, sebagian dari anak-anak itu sebelumnya beragama Kristen, dan kepala sekolah itu mengubah nama lima orang anak agar terdengar lebih Islami – tuduhan yang disangkal oleh Al Rasyid. Al-Rasyid berkata bahwa menurut dia mereka anak-anak Papua nakal dan tidak mau patuh dan membuat lelah guru-gurunya “karena latar belakang budaya mereka berbeda”.
Dia berkata bahwa anak-anak itu buang air kecil dan buang air besar di halaman sekolah dan mencuri hasil tanaman petani-petani di sekitar. Dia mengaku menghukum mereka dengan “memarahi” dan memukul mereka dengan “rotan di bagian kaki”. Sekitar dua atau tiga bulan setelah mereka tiba, seorang anak yang sakit parah, Nison Asso, meninggal.
Dia berumur 10 tahun,” kata Andreas. “Dia memang sudah sakit sejak masih di Wamena tetapi … dia meninggal. Jasadnya masih di Bogor karena sekolah itu tidak mempunyai uang untuk mengirimkan jenazahnya pulang, meskipun orang tuanya menginginkan jenazahnya dikirimkan.” Al-Rasyid tidak mau berkomentar mengenai nasib Nison. Setelah kurang dari setahun, jelas bagi anak-anak dan pihak sekolah bahwa percobaan itu gagal, demikian cerita Amir Lani. Andreas berkata dia memohon kepada Lani untuk membawanya pulang, tetapi ditolak. Alih-alih, Lani membawa mereka ke Jakarta kepada seorang Papua lainnya, Ismail Asso, yang sebelumnya juga adalah murid yang didatangkan dari Papua dan namanya diubah. Ismail berkata kepada anak-anak itu bahwa tidak ada cukup uang untuk memulangkan mereka ke Papua. Tampaknya, hal itu tidak pernah dikonsultasikan dengan para orang tua mereka.
Sebagian dari murid-murid itu dicarikan sebuah pesantren baru di Tangerang, di dekat Jakarta. Kemudian mereka juga diusir dari sana juga, karena menurut Ismail Asso, “Anak-anak ini memang sudah nakal sejak masih di Papua.” Namun Andreas tetap di luar sekolah dan bergabung dengan seorang anak lainnya, Muslim Lokobal, “yang sebelumnya juga Kristen tetapi diberi nama ‘Muslim’”. Mereka berdua mengambil jalan sendiri di kota besar itu.
Masalah yang terus dihadapi dalam meneliti cerita ini adalah membuat rincian-rinciannya – nama, waktu dan umur. Nama-nama mereka telah diubah, asal-muasalnya telah dihapus, dan anak-anak seusia mereka jarang mengetahui nama kampung mereka. Namun demikian, akhir yang tragis pada kisah Yope Lokobal memberi kesan bahwa dia mungkin saja orang yang sama yang dikenal oleh Andreas Asso sebagai Muslim Lokobal.
Andreas berkata bahwa pada suatu malam Muslim mabuk. Tidak ada saksi mata untuk apa yang terjadi berikutnya, dan hanya diketahui berdasarkan lima atau lebih cerita yang berbeda-beda dari orang-orang yang tidak menyaksikan secara langsung. Cerita Andreas adalah yang paling mengerikan. “Dalam perjalanan pulang ke tempat kos, Muslim terlibat masalah dengan warga lokal, sehingga mereka menghajar dan membunuh dia, mereka mencungkil satu matanya dan memasukkan botol ke dalam rongga matanya itu.” Apakah adegan ini menggambarkan kematian Yope? Atau apakah Muslim adalah orang yang berbeda?
Kembali ke kampung Megapura, mereka hanya memberi sedikit titik terang. “Ada telepon dari Jakarta ke masjid di Megapura, dan orang-orang dari masjid memberitahukan berita itu kepada kami,” cerita Johanes Lokobal. “Tidak ada penjelasan mengenai bagaimana Yope meninggal.” Kata Elias kakak tirinya: “Itu tahun 2009 atau 2010. Kami hanya mengadakan upacara perkabungan di rumah, dengan berdoa.” Tidak ada yang tahu di mana Yope dikuburkan.
Sisa anak-anak dari pesawat Hercules itu mestinya sekarang berusia awal 20-an. Terakhir kali Andreas Asso mendengar kabar dari mereka, hidup mereka di Jakarta hanya sedikit lebih baik daripada pengemis – “pengamen jalanan atau kerja di angkutan umum – kernet, mencari penumpang,” dia berkata. Tidak diketahui ada berapa kelompok anak-anak yang kepergiannya diatur oleh Amir Lani dan Aloysius. Teronce Sorasi, seorang ibu dari Wamena, berkata bahwa dia didekati pada tahun 2007 atau 2008 oleh “kepala polisi”, yang memintanya untuk mengirimkan anak perempuannya, Yanti, yang pada saat itu berumur lima tahun, dan anak laki-lakinya, Yance 11, ke Jakarta, meskipun “kami keluarga Kristen”. “Saya bilang, ‘tidak’ karena suami saya beru saja meninggal dan kami masih berkabung,” kata Sorasi.
Amir Lani masih tinggal di sebuah vila di perbukitan dekat Megapura. Menurut Elias, setiap kali orang-orang bertanya padanya tentang anak-anak Wamena yang hilang itu, “dia menghindar dari mereka”. Ketika saya menghubungi Aloysius Kowenip melalui telepon, dia menyombongkan apa yang dilakukannya itu. “Jika ada dari mereka yang menjadi orang, maka, sebagai seorang Papua, saya bangga akan hal itu.” Tetapi ketika ditanya mengenai mereka yang meninggal atau gagal, Kowenip menutup teleponnya begitu saja. Beberapa hari kemudian, temannya Ismail Asso menelepon dengan marah, lalu mengirimkan dua ancaman lewat SMS. “Saya memperingatkanmu … jangan menggali informasi mengenai orang-orang Muslim Wamena,” demikian tulisnya, kalau tidak “wartawan asing yang provokatif” akan “dideportasi dari Indonesia”. atau “dikapak, dibunuh oleh [orang-orang] Wamena”.
Pengangkutan anak-anak di dalam negeri mempunyai sejarah panjang yang memalukan di Indonesia. Sekitar 4500 anak dipindahkan dari Timor Timur selama kurun waktu lebih dari 24 tahun pendudukan Indonesia, untuk menjadi, dalam istilah Helene Van Klinken dalam bukunya Making Them Indonesians, “penganut iman Islam”, dan untuk mengikat wilayah itu lebih erat dengan Jakarta. Anak-anak, tulisnya, dipilih karena mereka “mudah dipengaruhi dan dimanipulasi untuk tujuan politik, rasial, ideologi dan agama”.
Papua juga telah menjadi target di masa lalu. Pada tahun 1969, mantan presiden Soeharto mengusulkan untuk mengangkut 200,000 anak-anak “Orang-orang Papua primitif dan terbelakang, yang masih hidup di zaman batu” ke Jawa untuk alasan pendidikan. Kelompok sokongan Saudi lainnya, DDII, dipakai untuk membawa anak-anak dari Timor Timur dan Papua. Dan hari ini, AFKN, yang terkait dengan Front Pembela Islam (FPI) yang berhaluan keras, secara aktif mencari anak-anak untuk direkrut.
Daarur Rasul adalah setengah pesantren, setengah gedung yang terletak di Cibinong, kota satelit Jakarta. Di sini, 100 anak dari dataran rendah bagian Barat Papua bersesakan ke gerbang besi berat di sana itu untuk menyongsong kami. Gerbang itu dikunci, karena menurut salah satu anggota staf, “mereka suka kabur”. Sekitar empat puluhan anak perempuan tinggal di lantai bawah dan lebih bebas bergerak. Kepala sekolah Ahmad Baihaqi bersikeras mengatakan bahwa dia mengajarakan Islam yang moderat, dan anak-anak itu paling tidak berusia tujuh tahun, tetapi sebagian terlihat lebih muda. Dia tidak menyangkal bahwa mereka dikurung, tapi berkata bahwa itu hanya selama jam belajar “untuk menanamkan disiplin kepada mereka”.
Pada tahun 2011, empat orang anak melarikan diri dan mengaku bahwa mereka tidak hanya dipaksa bekerja di proyek konstruksi, tetapi di sekolah mereka juga dibiarkan kelaparan, diberi air mentah untuk minum dan hanya diajarkan agama Islam, bahasa Indonesia dan matematika. Baihaqi berkeras bahwa anak-anak itu melebih-lebihkan cerita, mengatakan bahwa mereka memang sudah “nakal” sejak sebelum tiba di sana. Dia setuju bahwa kadang-kadang murid-muridnya memang bekerja di proyek konstruksi, tetapi dia berkata bahwa mereka menyukainya. Pelajaran anak-anak itu dimulai pada pukul 4 subuh dengan sholat. Sekolah berlanjut, dengan beberapa jeda istirahat dan sekali jam tidur siang, hingga pukul 9 malam, selama itu ada tujuh waktu solat dan pembacaan Al-Quran dan hanya 3 ½ jam untuk “ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, membaca dan menulis”.
Baihaqi mengatakan dia merekrut murid-murid dari Papua setiap tahun dan bersumpah bahwa para orang tua telah memberikan persetujuan. Tetapi anak-anak itu hanya pulang kampung tiga tahun sekali. Mereka tidak merindukan orang tua mereka, lanjutnya, dan orang tua mereka secara sadar telah menyetujui hal itu.
Arist Merdeka Sirait, kepala organisasi non-pemerintah Komnas PA, mengatakan bahwa memisahkan anak-anak selama itu “berarti menghapuskan akar asal budaya mereka”, khususnya jika nama dan agama mereka juga diubah. “Itu sangat berbahaya,” tambahnya. Tetapi Kementerian Agama Indonesia tidak mempermasalahkannya. Faktanya, hal itu didukung, kata direktur divisi pesantren, Saefudin, karena, “Semakin lama Anda tinggal [di pesantren], semakin banyak berkat yang akan Anda dapatkan.”
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, KPAI, milik pemerintah, juga meyakini hal itu. Deputi Ketua Asrorun Ni’am, yang juga adalah anggota senior Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, badan penasihat pemerintah bidang Islam, lebih khawatir mengenai “sentimen agama” yang mungkin muncul karena menulis cerita ini. “Ini bertolak-belakang dengan semua usaha membangun atmosfer yang harmonis,” dia memperingatkan kami.
Hukumnya jelas. Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, di mana Indonesia termasuk di dalamnya, mengatakan bahwa anak-anak tidak oleh dipisahkan dari keluarga mereka untuk alasan apapun, bahkan kemiskinan. Dan Undang-Undang Perlindungan Anak Indonesia mencantumkan hukuman lima tahun penjara untuk orang-orang yang memindahkan seorang anak ke agama lain yang berbeda dengan keluarganya. Di Papua Barat, para pemimpin agama cukup yakin bahwa mengambil anak-anak itu merupakan bagian dari usaha yang lebih besar untuk menguasai populasi orang asli daerah; “Membuat Papua menjadi daerah Islam adalah proyek jangka panjang Indonesia,” kata kepala gereja Baptis provinsi, Socratez Yoman. “Jika Jakarta ingin mengedukasi anak-anak Papua,” kata pemimpin Kristen Benny Giay, “mengapa mereka tidak membangun saja sekolah-sekolah di Papua?”
Kami tidak dapat mengkonfirmasi, apakah pemerintah Indonesia atau perwakilan-perwakilannya aktif dalam pengangkutan anak-anak ini. Namun beberapa organisasi mempunyai dukungan tingkat tinggi. AFKN didanai oleh zakat (sedekah Islam) yang dikirimkan melalui divisi amal bank milik negara BRI; Aloysius Kowenip berbicara mengenai pendanaan “pemerintah lokal”; donor Daarur Rasul meliputi “beberapa perwira polisi dan militer” yang bertindak secara pribadi, dan setidaknya satu kelompok telah dipindahkan dengan pesawat militer.
Barangkali, sebagaimana pemindahan anak-anak Timor Leste yang terdokumentasi dengan baik, operasi di Papua tidak mempunyai persetujuan dari pemerintah namun memperoleh persetujuan secara diam-diam di lingkungan tingkat tinggi Indonesia. Andreas Asso berhasil bertahan hidup untuk menceritakan kisah ini, namun masih geram memikirkan bagaimana dia ditipu untuk meninggalkan kampung halamannya, lalu dibiarkan sendirian menghadapi nasibnya.
“Saya seharusnya bisa bersekolah di Wamena sini. Sebagian teman-teman saya yang tinggal telah lulus dari sekolah … Impian saya adalah menjadi polisi. Tetapi saya melihat ke belakang, dan saya tidak mencapai apapun.”
Artikel ini aslinya muncul di Good Weekend.
Artikel ini diterjemahkan dari http://www.smh.com.au/lifestyle/theyre-taking-our-children-20130428-2inhf.html