Oleh: R. M
Mohon maaf, ini bukan soal rasis atau diskriminasi, tapi sekedar kritikan buat kita sebagai anak Papua.
Bahwa sejauh yang saya amati, di sosial media, saya berteman dengan orang dari berbagai latar belakang suku, ras, agama dan antar golongan.
Satu hal yang kadang membuat saya risih adalah postingan mereka. Sebagai anak Papua, saya sangat miris melihat kawan-kawan saya dari Papua, terutama perempuan punya postingan di dinding sosial media (sosmed) milik mereka, jika dibanding dengan teman-teman perempuan dari luar. Sangat jauh berbeda seperti langit dan bumi.
Kita sebagai orang Papua, kebanyakan bersosial media hanya untuk cari sensasi dan menarik perhatian lawan jenis.
Seperti satu kisah, seorang anak muda yang “katanya” aktivis, ia mendorong agar pemerintah segera ambil kebijakan seperti yang ia usulkan. Ketika pemerintah mengikuti kemauannya, eh tahu-tahu ia kembali ajukan protes atas kebijakan pemerintah yang awalnya merupakan usulannya dia.
Yang lain adalah siaran langsung, TIK TOK dan upload foto. Motivasinya adalah untuk mendapat banyak like dan komentar biar “nama naik”. Teman-teman perempuan pun berlomba-lomba untuk menampilkan lekukan tubuh mereka di ruang publik seperti ini. Oke jika kita membenarkan karena era (zaman) yang berbeda. Tapi saya berharap agar teman-teman bisa menulis minimal 1 paragraf untuk menceritakan sedikit tentang tujuan daripada foto tersebut agar tidak membingungkan warga net (warnet). Terlebih penting adalah teman-teman bisa mampu menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan. Karena semua orang bisa bicara tapi tidak semua orang bisa menulis.
Lalu apa yang dilakukan anak muda dari luar daerah Papua?
Mereka mempromosikan karya ilmiah dan kreatifitas mereka. Mengiklankan produk baru mereka. Posting aktifitas seperti ikut seminar, diskusi atau kegiatan sejenis lainnya. Mereka ikut dalam berbagai kegiatan sosial krmasyarakatan, menghimpun dan memberdayakan pemuda melalui karya mereka.
Kebanyakan dari mereka yang saya berteman, kadang kala saya bertanya terkait perjalanan hidup mereka. Ada yang menceritakan bahwa semenjak awal kuliah, mereka sudah belajar hidup mandiri atau tidak butuh bantuan orang tua dalam bentuk uang. Banyak dari mereka yang kuliah sambil kerja.
Maka untuk kawan-kawan Papua, saya sarankan agar kita segera keluar dari zona nyaman dan melawan arus kehidupan agar mental kita sekuat baja. Jika tidak, jangan marah kalau tanah kita 5-10 tahun yang akan dikuasai kawan-kawan dari luar (pendatang). Karena di era sekarang, ijazah dan IPK tidak jadi ukuran untuk terjun ke dunia kerja. Tapi karakter atau akhlak dan kecerdasan otak lah yang diprioritaskan.
Semoga membantu | Salam waras
Jogja, 10/4/2020