Pelawak Arie Kriting menilai, selama ini pemerintah masih menutupi masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Padahal, untuk menuntaskan permasalahan di Papua, pemerintah harus jujur atas apa yang terjadi di sana.
Hal itu disampaikan Arie dalam diskusi bertajuk “Menyoal Papua dalam Pilpres 2019: Dialog Terbuka Tentang Posisi Papua di Peta Politik Indonesia” di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (14/2/2019).
“Negara kita tidak mau Indonesia terlihat buruk di mata internasional, tapi dengan kebohongan,” kata pria bernama lengkap Satriaddin Maharinga Djongki.
Saat ditutup-tutupi, kata dia, penyakit tersebut justru bertambah parah. Dengan analogi tersebut, Arie meminta pemerintah agar lebih jujur. “Kamu harus bilang penyakitnya apa, cari sampai ketemu,” ujarnya.
Apabila pemerintah benar-benar ingin serius mengatasi persoalan di Papua, maka Arie meminta pemerintah memulainya dengan langkah sederhana, yakni jujur atas persoalan yang sedang terjadi di Papua.
“Kenapa kita takut untuk jujur? Jujur saja dulu, jujur,” tegasnya.
“Tidak bisa kita berbicara di permukaan, yang manis-manis doang,” tambahnya.
Di sisi lain, Arie juga tak sepakat dengan langkah pemerintah yang melakukan pendekatan melalui aparat dalam mengatasi persoalan.
“Ketika [pihak Papua] yang butuh dialog, jangan dihadapi dengan senjata. Mahasiswa punya aspirasi, dengarkan dulu, jangan langsung pakai senjata,” kata Arie.
Wartawan susah akses informasi soal Papua
Hadir dalam diskusi itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan, mengakui adanya kesulitan sejumlah wartawan untuk mengakses informasi terkait Papua, sehingga banyak permasalahan dan informasi tentang Papua, yang tidak sampai pada publik.
“praktiknya, sumber yang dicari adalah sumber yang paling mudah ditelpon, yakni aparat keamanan,” kata Abdul dalam diskusi di kawasan Jakarta Pusat, pada Kamis (14/2/2019).
Abdul menjelaskan bahwa saat satu-satunya akses yang memberikan informasi adalah aparat penegak hukum, baik tentara, atau kepolisian.
Lebih jauh lagi, jarang ada peliputan ke lokasi kejadian dan tidak menggunakan warga sipil di Papua sebagai narasumber. Akhirnya, sejumlah permasalahan tersebut hanya berasal dari informasi dari perspektif aparat, dan mengabaikan perspektif lainnya.
“[Permasalahan] akses ini akhirnya sangat memengaruhi media, dan akhirnya mempengaruhi publik,” kata Abdul.
Selain itu, media nasional yang berbasis di Jakarta juga jarang yang mengirim wartawan ke Papua karena logistik yang tidak murah dan akses informasi di Papua pun sulit.
“Menurut saya itu beberapa problem serius yang dihadapi,” tegas Abdul. *