Oleh : Theo vanden Broek
KEJADIAN di Nduga 2 Desember 2018, dimana sekian orang dibunuh, mendapat kutukan dari banyak pihak. Benar dan jelas bahwa tindakan demikian patut dikutuk. Makna kejadian semacam ini masih bertambah kalau di ingat pula segala penderitaan yang akhir-akhir ini dilaporkan kepada kita semua, termasuk sekian banyak pembunuhan di Papua selama 8 tahun terakhir (laporan Amnesty International, July 2018), termasuk laporan mengenai ratusan orang ditangkap karena ingin mengungkapkan pendapatnya, termasuk sekian kantor kegiatan KNPB diserang dan dihancurkan (laporan 1-2 Desember 2018), dan banyak laporan lainnya. Tambah lagi daftar korban di kalangan aparat polisi/tentara, dan lebih-lebih jangan lupa semua orang sangat sederhana dan tanpa dosa yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena rumahnya, kebunnya, lingkungannya dihancurkan demi kepentingan pengoperasian ‘penegakan hukum’. Kejadian di Nduga bukan suatu kejadian yang terisolir! Penderitaan serupa sudah dialami selama puluhan tahun di Papua dan banyak saksi hidup sudah turut mati.
Situasi ini betul menjadi suatu kenyataan yang mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk berelfleksi. Bagaimana keadaan ini dapat diatasi secara bermartabat?
Di belakang kenyataan ini adalah satu masalah dasar saja: penyangkalan hak bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri secara bebas; penolakan itu paling dialami selama tahun tahun enam puluhan, namun dampaknya bertumbuh artinya selama 50 tahun terakhir ini. Partisipasinya signifikan walaupun selama proses pengintegrasian dalam Republik Indonesia ditolak dan dihindari para penguasa pada saat itu, termasuk saat penyelenggaraan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) A c t o f F r e e C h o i c e , tahun 1969. Itulah masalahnya dan semua orang yang berkesempatan membaca/mendengar informasi mengenai sejarah Papua tahu hal demikian, termasuk tokoh Pemerintah Pusat, tokoh Pemerintah Papua, tokoh kalangan Aparat Negara, dan kalangan luas bangsa Papua.
Sampai saat ini masalah yang nyata itu selalu ditutup, disangkal dan pendekatan lainnya seperti pendekatan keamanan/pemakaian kekerasan, peningkatan ekonomi, peningkatan infrastruktur, kesejahteraan dan lainnya dipakai untuk menutup masalah yang sebenarnya. Kapan saatnya para tokoh Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi, dan yang ada dalam kedudukan menentukan arah perkembangan Republik ini, mulai menyadari bahwa penyelesaian masalah satu satunya itu secara bermartabat tidak dapat di hindari kalau mau menciptakan damai dan sejahtera di Papua.
Sebenarnya jalan keluar sederhana saja: semua pihak yang berkepentingan duduk bersama dan mengakui bahwa memang ada masalah sejarah ini! Langkah sederhana itu adalah satu satunya dasar untuk mengembangkan suatu penyelesaian yang berarti dan sejati. Sulit dipahami kenapa begitu sulit untuk memilih pendekatan yang wajar dan bermartabat demikian? Berhentilah melakukan segala kekerasan, berhentilah mengucapkan bahasa seremonial, di mana istilah ‘demokrasi’ atau pun ‘negara hukum’ menjadi bahasa munafik, berhentilah main kuasa, berhentilah merusak lingkungan alam, berhentilah merampas kekayaan dan membunuh manusia.
Mari mulai mendengarkan suara orang yang turun temurun memiliki tanah Papua ini dengan sah! Bukan kepemimpinan kekuasaan yang kita butuhkan di Papua, melainkan suatu kepemimpinan yang bermartabat manusia. Tidak pernah terlambat! Kesempatan masih ada untuk mengikuti suara hati besar dan suara hati nurani yang membuat kita bersama mencari jalan yang sesuai martabat kita semua tanpa pengecualian. Dalam bulan Natal dan menjelang Tahun Baru itulah saatnya untuk bertobat dan memilih suatu jalan yang benar, suatu jalan yang menghidupkan. Duduklah bersama dan mengangkat masalahnya dengan jujur, rendah hati, dan terbuka untuk menciptakan suatu dunia yang ramah manusia. Hanya dengan demikian ucapan “Damai Natal” dan “Selamat Berbahagia memasuki Tahun Baru 2019” nanti akan mempunyai arti.(*)
)* Penulis adalah pengamat masalah Papua. Tinggal di Kota Jayapura.
Tulisan ini sudah di publis di Link:http://tabloidjubi.com/artikel-21854-sampai-kapan-pembunuhan-menjadi-caramenyelesaikan-masalah-di-papua.html