Tak diduga beredar kabar tentang Pater Lishout, demikian sapaan akrabnya yang akan meninggalkan masyarakat Papua umumnya dan umat Keuskupan Jayapura khususnya. Imam Allah yang sejak masih muda datang ke Papua sebagai misionaris ini akan meninggalkan kenangan yang tak terlupakan bagi umat Katolik di tanah Papua, khususnya bagi umat Katolik di Dekenat Pegunungan Tengah, tempat beliau banyak menghabiskan masa pelayanannya.
Ketika mendengar informasi bahwa Pater Lishout akan pamit ke tanah kelahirannya di Belanda, maka kelompok kategorial suku Hubula di kota Jayapura mengadakan acara misa syukur dan perpisahan di Kapela Yesus Pilamo Angkasa. Misa dipimpin oleh Pastor Paroki Katedral, RD. Robby Tandilinting didampingi sejumlah imam.
Tema yang diusung dalam misa syukur dan perpisahan ini adalah: “Aku Datang Bukan untuk Meniadakan melainkan untuk Menggenapi Nilai-nilai Budaya” (Bdk. Mat. 5:17). Tema ini amat kontekstual dengan apa yang telah dilakukan oleh Pater Lishout selama berkarya di tanah Papua ini. Beliau sejak muda berani meninggalkan tanah kelahirannya menuju tanah Papua sejak tahun 1963. Sekedar diketahui, Pater Lishout telah berkarya di Keuskupan Jayapura selama 56 tahun: Di Wamena 25 tahun, Bilogai –kini Intan Jaya 7 tahun, pernah menjadi Rektor SPG Taruna Bhakti Waena dan juga Pastor Paroki Katedral kala itu.
Seluruh hidup Pater Lishout sejak masa muda hingga kini berusia 84 tahun telah ia baktikan untuk umat Katolik Keuskupan Jayapura. Ia telah banyak menaburkan benih-benih Sabda dalam hati manusia Papua agar semakin beriman kepada Allah Tritunggal. Ia tidak hanya mewartakan Sabda Allah tetapi juga mempraktekkan sabda itu dengan berbagai tindakan nyata. Misalnya beliau menulis kamus dalam bahasa Balim, menulis buku tentang Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim, menerjemahkan lagu-lagu liturgis dalam bahasa daerah Baliem dan sejumlah karya mulia lainnya yang tak dapat dihitung satu demi satu.
Rasanya berat untuk melepaskan pater pergi ke tanah leluhurmu dan tentu pater pun mengalami pergumulan yang sama, berat rasanya meninggalkan tanah Papua; namun apalah daya. Pater harus pulang menghabiskan sisa hidupnya di Belanda berhubung faktor usia dan juga kondisi kesehatannya yang masih belum pulih total. Kami berharap pater tetap mendoakan kami umatmu yang ada di Tanah Papua ini khususnya umat Katolik di Keuskupan Jayapura.
Sampai jumpa tete pater, entah di mana…. nopase waaa, Aita Amakanenee. Byeeeee.
Oleh: (Seorang Imam Projo Pertama dari Paroki Bilogai, salah satu tempat tugas Pater Frans Lishout OFM kala itu. Salah satu faktor penulis menjadi imam adalah berkat benih Sabda Allah yang ditaburkan Pater Frans Lishout di wilayah Dugindoga-Kemandoga, Paroki Bilogai, Intan Jaya).