Jayapura, nirmeke.com – Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua harusnya memberikan pemahaman yang bisa diterima oleh semua kepentingan dalam menanggulangi masalah HIV. Tetapi hal ini tidak berjalan dengan baik. Semua pernyataan atas nama KPA yang disampaikan ke publik dinilai tidak berdasar.
Hal itu dikemukakan pekerja sosial di Papua, Amoye Pekei. Misalnya KPA akan mencari obat yang dapat menyembuhkan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan KPA tidak mengurus ARV. Kedua pernyataan ini sudah sangat meresahkan pegiat HIV yang selama bertahun-tahun melakukan kampanye dan mendampingi ODHA.
Menurutnya, selama ini KPA melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang belum adanya obat yang menyembuhkan. Ada hanya obat untuk mengendalikan virus HIV dalam tubuh agar kekebalan tubuh ODHA baik, dan bisa hidup sehat dengan minum ARV. Obat ini untuk menahan laju perkembangan virus dalam sistem imun tubuh manusia.
“Kebijakan lain yang membingunkan adalah perekrutan relawan KPA. Proses perekrutan relawan tanpa dasar pertimbangan yang baik. Para pegiat HIV mengetahui dalam merekrut relawan biasanya praktisi HIV/AIDS melakukan dengan sangat teliti. Jangan sampai ada kesalahan informasi sampai kepada masyarakat. “Proses yang praktisi lakukan melalui menilai pengetahuan dan ketrampilan lalu ditugaskan melakukan upaya sosialisasi di masyarakat,” kata Amoye Pekei kepada Jubi, Rabu, (9/10/2019).
Menurut dia, penanganan masalah ODHA merupakan tugas yang sangat berat. Karena upayanya kepada perubahan perilaku masyarakat, untuk itu proses untuk mendapat relawan yang baik sangat sulit dan harus hati-hati.
“Hingga terakhir, KPA berhasil merekrut 10.472 relawan di seluruh Papua dalam kurung waktu dua bulan. KPA Papua harus jujur ada kepentingan apa dengan pengumpulan KTP sebanyak ini, mengapa tidak mitra atau KPA kabupaten saja yang melakukannya?,” ujarnya bertanya.
Ia mengatakan, hal lain yang menimbulkan pertanyaan publik HIV adalah adanya kebijakan KPA akan mencari obat yang dapat menyembuhkan ODHA dan ada ajakan untuk membeli salah satu suplemen tertentu. Otomatis cara ini akan menggugurkan kampanye besar HIV dan AIDS di tanah Papua agar ODHA harus minum ARV agar tetap sehat.
“Kita mengetahui bahwa kampanye HIV selama ini dibangun dengan kajian yang cukup matang dan dipublikasikan, bukan tiba saat tiba akal (mendadak). Sangat disayangkan, dengan pernyataan tersebut. Pernyataan KPA ini bisa diartikan adanya penyesatan layanan terapi yang telah dibangun pada layanan yang ada di masyarakat yaitu layanan terapi dengan minum obat ARV yang telah diakui organisasi kesehatan dunia [WHO] bukan perusahaan MLM tertentu,” ungkapnya.
Ia bahkan mempertanyakan, mengapa kini KPA Papua tidak berjalan? Apakah kekurangan sumber daya manusia, ataukah minimnya anggaran?
“Kenyataannya fungsi koordinasi tidak berjalan baik. KPA belum menjalankan fungsi koordinasi untuk memastikan pelayanan terintegrasi dalam penanggulangan HIV terwujud,” ujarnya.
Salah satu pegiat HIV, Alm. Yoram Yogobi suatu ketika pernah bilang, sebagian besar peran tersebut ada di pundak KPA dalam menghubungkan sistem sumber dan potensi dikoordinasikan menjadi sistem layanan terintegrasi dalam menanggulangi HIV AIDS termasuk kasus ODHA.
Kinerja KPA mulai disorot sejak ketua dan jajaran baru dilantik. Saat itu pegiat HIV AIDS di tanah Papua dikagetkan dengan pengurus baru KPA yang notabanennya adalah pemula atau pendatang baru yang dinilai belum berpengalaman.
“Beberapa kebijakan dan pernyataan-pernyataan banyak menimbulkan kontradiktif dan membingungkan publik. Dua bulan terakhir hampir tiap minggu ada saja sorotan publik mulai banyak dilontarkan di media massa yang berhubungan dengan kinerja KPA, mulai dari aktivis HIV dan praktisi organisasi lainnya,” katanya kala itu.
Ketua KPA Papua, Yan Matuan yang dikonfimasi Jubi melalui telepon sebanyak dua kali dan satu kali SMS, tidak memberikan respons. (*)
Sumber: Jubi.co.id