Sebuah refleksi
“Papua Yang Sekarang, Sebenarnya Tidak ada Bedanya Dengan Tahun-Tahun Sebelumnya. Orang Berharap Banyak Pada Era Jokowi tetapi Tetap Saja Sama. Pembentukan tim hanya untuk internasionalisasi isu Papua dan mengatakan dunia internasional bahwa Negara sedang bekerja”
Ungkapan yang disampaikan oleh Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua Ibu Anum Siregar yang juga merupakan salah satu advokat yang membantu para korban pelanggaran HAM di Papua, pada peringatan dua tahun peristiwa Paniai Berdarah 8 Desember 2014 di Halaman Museum Antropologi Uncen Jayapura, Kamis (8/12/2016). Tentunya ungkapan ini dilandaskan pada fakta-fakta yang dialami manusia yang mendiami Bumi Cenderewasih, khususnya orang asli Papua yang menjadi korban pelanggaran HAM tersebut. Tak perlu disebutkan semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Beberapa kasus yang sudah ‘dinobatkan’ kategori kasus pelanggaran HAM masih diputarbalikan dengan berbagai macam dalil. Kasus Biak Berdarah (6 Juli 1998), Kasus Wamena Berdarah (2000), Wasior Berdarah, Pembunuhan Seorang Tokoh Papua Theys Elluay (10 November 2001) yang disertai hilangnya Aristoteles Masoka dan yang masih hangat dibicarakan dan diperjuangkan adalah Kasus Penembakan 8 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai yang menewaskan para pelajar SMA. Proses penyelesaian masih terus ‘digantung’ oleh Negara. Mengapa harus dibiarkan? Apakah semua bukti masih kurang? Dapatkah Negara secara berani dan jujur mengakui dosanya? Dapatkah Negara diadili?
Semua pertanyaan di atas kiranya menjadi pergumulan dan entah sampai kapan berakhir.
Proses penyelesaiannya
Semua peristiwa pelanggaran HAM yang sudah terjadi masih menunggu kewajiban Negara untuk menyelesaikannya. Harapan besar masyarakat Papua, khususnya korban dan keluarga korban sepertinya sudah mulai pupus. Negara hanya menghamburkan janji-janji manis. Padahal pada 27 Desember 2014, ketika merayakan Natal bersama di Papua, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan di hadapan ribuan mata dan telinga bahwa akan menyelesaikan kasus penembakan di Paniai, 8 Desember 2014.
Pada tahun 2016, Negara mulai menyibukan dirinya untuk berusaha meyakinkan masyarakatnya, khususnya orang Papua untuk menuntaskan persoalan tersebut. Pembentukan tim terpadu oleh Negara yang dimotori oleh Kementrian Pertahanan dan Keamanan RI, perpanjangan SK Tim Adhock untuk Kasus Paniai, pembentukan Pansus DPR Papua dan lain sebagainya, dinilai hanya membungkus kejahatan Negara dan menghabiskan uang serta menyenangkan masyarakat, khususnya korban bahwa Negara sedang bertindak. Tim terpadu bentukan Menkopolhukam dinilai merupakan tindakan inkonstitusional karena bukan merupakan wewenangnya.
Tim Adhock Paniai yang mulai lagi melakukan investigasinya pada November 2016 masih diragukan karena sudah ada buktinya pada kasus Wamena dan Wasior. Hanya pengumpulan data, melakukan perbandingan data, menyerahkan kepada Kejaksaan Agung selanjutnya dikembalikan lagi. Nyawa manusia, air mata korban dan keluarga korban ‘dipingpong’ dan penyelesaian tetap tidak ada. Proses hukum berdasarkan hukum yang telah dibentuk tidak dilaksanakan. Para penegak hukum mempermainkan hukum yang mungkin sudah capeh mereka bentuk.
Para penegak hukum tidak berani bersuara kalau para koleganya sebagai pelaku pelanggaran tersebut. Dalil lain yang mungkin sekarang trend adalah harus diotopsi (untuk kasus Paniai). Padahal segala bukti sudah jelas. Penembakan terjadi di suasana terang (siang hari), banyak orang yang menyaksikan dan ada selongsongan peluruh yang dikumpulkan. Walaupun demikian Negara masih tetap bungkam dan diam untuk mengakui kesalahannya. Negara hanya berani berbuat tetapi Negara bernyali ‘pecek’ untuk mengakui kesalahannya.
Mungkinkah ada rencana Negara membawa proses hukumnya menjadi tindakan kriminal yang menggunakan KUHP atau KUHAP dan melupakan instrument atau peraturan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM?
Kepercayaan Sudah Hilang
Mungkin ini gambaran yang tepat yang dialamatkan oleh para pegiat HAM, korban, keluarga korban bahwa tidak ada lagi kepercayaan kepada Negara ini. “Kami tidak lagi percaya lagi pada Negara ini. Kami tidak yakin lagi. Karena mereka pelakunya. Tidak mungkin mereka mau mengakui dan bersedia diadili,” ungkapan yang disampaikan oleh aktivis Muda dan Mahasiswa Nelius Wenda. Pengenalan akan segala situasi dan proses penegakan HAM di Papua oleh Negara, dinilai pesimis oleh para pegiat HAM, Gereja, kaum muda dan korban. Sekretaris Jendral Umum Komite Nasional Papua Barat Ones Suhuniap mengajak semua para pegiat HAM di Papua untuk lebih baik melakukan advokasi ke tingkat internasional. “Mari saya mengajak teman-teman semuanya, sebaiknya kita mengadvokasi kasus pelanggaran ini ke dunia internasional. Supaya Negara Indonesia ini diadili oleh dunia internasional. Kami sudah bosan dan muak dengan janji manis Negara ini. Tidak mungkin mereka mengakui karena mereka adalah pelakunya.”
Mama Tin Rumkabu yang merupakan salah satu korban Biak Berdarah (6 Juli 1998) mengamini apa yang disampaikan oleh Nelius dan Ones. “Kami adalah bukti kebengisan militer Republik Indonesia. Kami yang menyaksikan sendiri bagaimana kebengisan mereka. Padahal militer itu menjaga dan melindungi masyarakatnya. Kami juga manusia yang diciptakan oleh Tuhan sama dengan manusia lainnya di Indonesia lainnya dan dunia lainnya.”
Salah satu bukti ketidakpercayaan korban dan keluarga korban kepada Negara adalah penolakan yang dinyatakan oleh korban pelanggaran HAM di wilayah Pegunungan Tengah pada 20 Desember 2016 di Wamena ketika menerima kedatangan Komnas HAM RI. Para korban tetap menolak upaya Negara Indonesia dalam menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM di Papua. Segala usaha yang dilakukan oleh Negara saat ini, mungkin sebuah pecitraan nama baik dari tekanan dunia internasional dan usaha tersebut tidak lagi menjadi bagian dari kepercayaan orang Papua, khususnya korban dan keluarga korban dan para pegiat HAM di Papua.
Tak dapat dipungkiri walaupun ada janji dari pemerintah yang dipenuhi yakni pembangunan pasar permanen untuk pedagang asli Papua yang terletak di Kota Jayapura. Janji ini dipenuhi tetapi melalui sebuah proses perjuangan yang sangat panjang dari SOLPAP. Walaupun pasca peresmiannya, banyak persoalan di Pasar Mama belum terselesaikan.
Moment Universal Period Review (UPR) tahun 2017 terkait penegakan HAM di Indonesia pada sidang di PBB mungkin juga menjadi moment dimana Negara mengatakan sekali lagi bahwa “Tidak ada pelanggaran HAM di Papua. Papua sampai saat ini aman dan kondusif. Negara lain tidak perlu sibuk dengan urusan kami. Kami dapat menangani sendiri permasalahan kami.” Mungkin juga Negara Indonesia menutup telinga terhadap segala rekomendasi yang diberikan oleh negara anggota PBB lainnya. Karena rekomendasi pada tahun 2012 yang lalu belum dilaksanakan.
Tidak ada rekomendasi khusus untuk Negara, hanya satu Negara harus berani mengaku kesalahannya dan siap untuk diproses secara hukum dengan instrument hukum tentang HAM. (*)
Sumber: https://fransiskanpapua.org