Sungguh amat memilukan hati ketika melihat semakin maraknya pembunuhan, penyiksaan, pembantaian, diskriminasi, pembungkaman ruang demokrasi dan pemusnahan ras Melanesia di West Papua dan luar Papua terhadap orang Papua.
Lebih menyakitkan lagi, peristiwa-peristiwa ini ini dibungkus oleh agama. Mengaku anak-anak Allah, tetapi mengesahkan permusuhan terhadap orang berbeda ideologi dan melindungi para pelaku dan mendoakan pelaku yaitu Negara yang melakukan kejahatan atas nama keamanan terhadap manusia Papua.
Di mimbar bicara damai tetapi mewujudkan damai nihil, apa lagi dalam kehidupan yang kian marak penyiksaan, pembunuhan perampasan secara masif.
Perbedaan pendapat ditolak tanpa ditimbang, bahkan perbedaan pandangan dianggap musuh yang pantas diperangi, harus ditangkap dipenjarakan bahkan harus dibinasakan.
Dengan kata lain, kehidupan ini dipandang sebagai arena perang, secara khusus di papua dijadikan sebagai arena perang dan manusianya harus dimusnahkan dari tanahnya sendiri dengan stigma separatis, makar, kriminal dan OPM.
Para teolog kaum moderat yang mengaku diri anak-anak Allah di mimbar doakan penguasa atau pelaku kejahatan yaitu Negara.
Jika orang berjuang keadilan dan politik dianggap musuh dan tidak pernah mendoakan mereka dan perjuangannya di setiap persekutuan dan di mimbar gereja maka pestanya adalah mereka bukan bagian dari umat Tuhan?
Sungguh ironis dan heran jika gereja membedakan umat Tuhan dengan melihat pandangan politik yang berbeda dengan penguasa.
Gereja berwatak imperalime dan neoklonialisme harus sadar dan mengutamakan teologi pembebasan.
Refleksi untuk pimpinan Gereja ajaran Yesus di dalam injil Matius pasal 15:13 (Setiap Tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di surga harus dicabut dengan akar-akarnya. ) (Berbahagialah orang yang membawa perdamaian karena mereka disebut anak-anak Allah. (Injil Matius pasal 5:1-12)
Artinya Gereja harus membela dan melindungi umat Tuhan karena Udang -udang dan aturan kolonial harus dicabut di tanah ini, sebab hukum dibuat kolonial menindas umat Tuhan di tanah Papua.
Berdasarkan refleksi ini saya melihat gereja di papua berwatak imperalis dan kolonial melindungi kepentingan mereka dibandingkan menyelamatkan manusia Tuhan tempatkan di tanah ini, dengan kata lain gereja sesungguhnya penindas.
kedamaian manusia, bukan beretorika di mimbar-mimbar gereja.
“Salam satu jiwa”
Numbay 30 September 2019
Razz Paisley
(Monyet buronan)