“Kemarin, waktu kami dipersekusi, kalian ada di mana semua? LSM, media, polisi, akademisi, dll, sesungguhnya hari ini kalian menegaskan sikap diskriminatif itu. Ketika orang Papua terancam, kalian diam seribu bahasa. Namun ketika orang Papua mengancam, kalian paling banyak bicara. Itulah TAKUPAS!,” tulis Victor Mambor, Jurnalis senior Papua Barat di dinding Facebook-nya.
Kutipan Victor ini mengalamatkan kepada semua orang Indonesia, Merauke sampai Sabang. Terutama manusia Indonesia yang selalu mengatakan dan menyatakan: “saya cinta Papua, saya berfoto bersama orang Papua, dan saya memang lahir besar di Papua.” Mungkin juga, mereka yang rekayasa atau benar melontarkan, saya pernah ke Papua dan saya punya teman ada juga orang Papua.
Kini, saat masalah Papua memanas dan dikatakan kata-kata rasial terhadap pelajar Papua oleh TNI/Polri, ormas-ormas (ormas yang kerja sama dengan prajurit, pemerintah Indonesia) dan orang Malang dan Surabaya, orang-orang yang disebutkan di atas ini, ke mana sembari mahasiswa Papua dalam teraniaya dan terancam?
Dari situ saja kita menilai orang-orang ini pura-pura mencintai Tanah Papua dan orang Papua. Mereka bicara hanya menyegarkan suasana saja dan tidak dengan hati sanubari mereka. Omong kosong saja mereka, mengklise cintai Papua balaka.
Terutama buat orang-orang pendatang yang lahir besar dan mendiami di tanah Papua, mereka sesungguhnya adalah kepala batu sekali. Mereka tidak ada sama sekali aksi melawan rasialisme dan turun jalan berdemo bersama orang Papua.
Jika melihat di dunia maya, orang-orang ini ramai, bahkan mereka memakai aksesori Papua dan berfoto dengan orang Papua dengan keterangan; kami Papua, NKRI harga Mati. Bhinneka Tunggal Ika.
Mereka hanya bilang saya adalah orang Papua tanpa ada kontribusi mengurangi rasialisme. Jangankan orasi tentang kemanusiaan tentang pembunuhan orang Papua oleh militer Indonesia, mereka menganggap hal itu adalah salah satu dukungan perjuangan Papua merdeka. Itulah pikiran dangkal mereka; salah satunya.
Dalam sejarahnya orang pendatang di Papua, sejauh orang Papua meninggal gara-gara sistem negara dan pelanggaran-pelanggaran HAM dibuat oleh negara, mereka ini sama saja dengan anak buahnya iblis, di mana mereka tidak mempunyai rasa kemanusiaan karena iblis yang benci hal kebaikan manusia.
Rasa simpatinya mereka nomor terakhir—tidak ada sama sekali meski mereka klaim sebagai orang terdidik dan cinta Papua.
Padahal, dalam Alkitab sudah dituliskan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Yeremia 29:7)
Jika ayat ini kita menginterpretasikan bahasa kita, kawan, ayat ini menuntut kita berdoa buat kota di mana kita tinggal, tapi lebih dari itu bukan selalu berdoa yang tutup mata seperti yang biasanya. Namun kita berpartisipasi kesejahteraan kota kita dengan tindakan. Itu juga berdoa. Selama orang di sekitarmu dan tetanggamu sedang teraniaya, di situlah Anda harus bicara. Nah, itulah maksud ayat di atas.
Jadi, manusia Indonesia yang ada di Papua ini sejatinya pengkhianat Bhinneka Tunggal Ika karena mereka membiarkan orang Papua dalam dunia persekusian. Mereka tidak memikirkan perbedaan dalam persatuan, tapi mereka memilih-milih orang.
Seakan mereka pikir orang Papua harus binasa dari muka bumi Papua, bila kita menyimak kelakuan pendatang di Papua karena mereka alpa memeluk kepedihan orang Papua.
Kami mengakui orang Indonesia punya postingan-postingan di media sosial, mengatakan bahwa: Papua adalah sebangsa kami, orang Papua adalah saudara/i kami, dll. Saya kasih tahu, itu bukan dukungan penuh terhadap masalah Papua akhir-akhir ini. Itu bukan rasa keprihatinan Anda terhadap masalah yang sedang dihadapi mahasiswa Papua.
Paling parah adalah orang Indonesia ini mempermainkan simbol negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.
Mereka menulis caption mereka yang latar gambarnya orang Papua dan akhir dari kutipan mereka selalu ada tulisan Bhinneka Tunggal Ika, kita beda tapi tetap satu. Sobat, foto-foto itu tertuju ke mana? Ke siapa? Ke publik atau orang-orang tertentu? Anda bikin pusing orang saja. Jika Anda adalah manusia dan concern betul pada kemanusiaan, bukan begitu caranya.
Jika Anda mengarahkan pointer langsung ke pemerintah, itu adalah tindakan yang paling baik. Seharusnya begitu karena pemerintah yang bikin rusuh tindakan rasialisme ini di Asrama Papua di Surabaya dan Malang. Bagaimana tidak, Jokowi dan Tito mengeluarkan pernyataan yang paling lemah. Dalam pernyataannya tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah salah dan melanggar hukumnya sendiri.
Karena permintaan maaf pemerintah oleh Jokowi dan Tito mengambinghitamkan kebinekaan. Apalagi pelaku sampai saat ini belum ada pengungkapan. Ini menandakan aktor di balik semua ini adalah pemerintah dan dikasih biarkan ormas ngeledek rumah mahasiswa dan polisi serbu dengan gas air mata di asrama (property of Papuan students) Mahasiswa Papua di Surabaya.
Sejak keterangan disampaikan oleh kedua bapak ini, ekor-ekor Indonesia juga terpengaruh terbawah ikut. Kata “Maaf” seakan menjadi kunci perdamaian antara orang Papua dan Indonesia. Setelah orang Indonesia yang berteman dengan orang Papua mendengar kata rasialisme ini, mereka langsung meminta maaf kepada teman yang orangnya dari asal Papua.
Ini penyakit besar yang pemimpin besar mengajarkan kita sebangsa dan setanah air, Indonesia, bahwasanya jika orang mati dan terima kata-kata rasialisme, kita (pelaku) meminta maaf kepada korbannya. Masalahnya adalah kata maaf ini dilontarkan setiap insiden kematian orang Papua—berulang dan ulang kali. Khotbah pemimpin paling tidak masuk akal yang pernah ada.
Pak Jokowi memaksa orang Papua untuk meminta maaf. Mas Jokowi bertobat dulu boleh dan tidak mengirimkan serdadu banyak-banyak ke Papua. Karena orang Papua juga ingat petuah Gus Dur, Maaf sih ya, dilupakan ngga. Dilupakan bisa saja terjadi kalau keinginan orang Papua didengarkan oleh Jakarta.
Pak Jokowi juga perlu ingat bahwa memaafkan orang itu bukan memaksa. Ia datang dari hati dan jiwa yang terdalam seperti. (Nelson Mandela, father of power of forgiveness).
Hal lain yang menjengkelkan dan membunuh psikologi orang Papua adalah saat selebritas Indonesia yang kerap kunjungi ke Papua, berfoto bersama orang Papua, mereka juga ikut berpartisipasi mempermainkan Bhinneka Tunggal Ika semata.
Agnes Monica, umpamanya, saat isu rasialisme terhadap pelajar Papua merajalela ke mana-mana, ia tidak buang suara tentang hal itu di mediumnya. Padahal Agnes sudah meluangkan waktu bersama anak-anak Papua sementara mengambil foto bersama dengan mereka. Bahkan di Instagram-nya penuh dengan foto-foto bergaya ke-Papua-an.
Kami tahu, sebagai selebritas, mereka hanya mau mempromosikan popularitas mereka di ranah publik sambil mendekati dengan anak-anak Papua, sebut saja kaum minoritas. Selebritas seperti ini memanfaatkan orang Papua hanya untuk nama naik diri sendiri, bukannya mengedepankan humanisme terhadap sesama manusia.
Mereka mempermainkan nilai Bhinneka Tunggal Ika karena mereka tidak punya tindakan secara nyata.
Artis-artis ini pikir mereka telah menarik hati orang Papua, jadi kerja nyata kebinekaan terhadap orang Papua sudah selesai. Itu tidak benar (baca: takupas) juga karena kakak dua Ari Silasahe dan Nia Zukarnaen saja takut mempromosikan sebuah kritisme kepada pemerintahan meskipun kakak dua adalah selalu kerja keras untuk membangun anak-anak Indonesia Timur, termasuk Papua.
Seperti pace-pace terkenal Jakarta selalu bilang di media, siapa pun yang tidak melakukan fungsi-fungsi Bhinneka Tunggal Ika, dia adalah penghianat bangsa dan negara. Lalu siapa yang penipu di sini? Pemerintah? Orang-orang pendatang di Papua? Artis-artis Indonesia? Atau orang Papua sendiri yang pro-pemerintahan Indonesia yang lupa dengan humanisme? Ko yang tahu jawabannya.
Lagi, orang-orang yang lahir dan besar Papua seperti host Kick Andy, Andy Noya, dan pendiri Net Tv, Wishnutama Kusubandio. Mereka sama saja di barisan di atas bahwasanya mereka tidak peka terhadap masalah yang benar-benar dihadapi oleh mahasiswa/i Papua di antero Ibu Pertiwi.
Kalau tidak, mereka harus bilang satu kata dua kata kepada pemerintah, bukan pesan-pesan seperti di atas yang tidak tahu arah penerima dan tujuan ajukan pesan yang sesungguhnya.
Seperti komedian Arie Kriting kan jelas terarah ke pemerintah dan ia bisa menuturkan haknya dia dalam free speech. Ia pernah keluarkan pidato singkatnya dengan: nyawa dan darah tidak bisa dibayar dengan bangunan dan aspal (Papua).
Orang Papua bosan sekali baca dan meramalkan kata-kata Bhinneka Tunggal Ika di setiap hari. Kalau itu yang Anda promosikan di status media sosial Anda di dunia maya, itu tidak bermanfaat.
Sekarang saatnya Anda bisa berubah cara ketik kutipan di media sosial Anda lantaran Anda mengetik Bhinneka Tunggal Ika adalah tidak relevan lagi sekarang di mata orang Papua kalau tidak Anda (fisikmu) sendiri turun jalan berdemo. Bukan baku gaya di dunia maya dan bilang saya cinta Papua seratus persen.
Saya bilang di atas ini hanya untuk mengantisipasi metafora kuda: bet for the horse while it is still in the mud, yang disampaikan oleh Dr. Kevin Cosby saat berpidato pemakaman Muhammad Ali di Amerika Serikat.
Bertaruhlah untuk kuda saat masih dalam pelumpuran. Saat Muhammad Ali di tahun 60an dan ia mulai-mulai naik daun dalam dunia tinju, tidak ada satu orang pun yang mendukung bahkan tahun itu adalah tahun rasialis dan segregasi terkenal di Amerika. Dobel lagi, dia adalah orang berkulit hitam, Islam, dan minoritas.
Kemudian, tahun berikutnya, setelah ia menjadi terkenal dan menang piala tinju dunia berdobel-dobel, orang-orang yang tidak peduli itu bahkan baku antrian panjang bertaruh untuk men-support Ali.
Sesungguhnya kita mendukung orang setelah ia menang dan terkenal itu mah b*llsh*ttt, takupas, dan tidak ada artinya—pencitraan. Pokoknya tidak ada bernilai. Sebaiknya adalah mengangkat orang saat ia lagi dalam keadaan darurat dan keadaan lumpur.
Jangan seperti kejadian Muhamad Ali di kemudian hari terjadi di Indonesia, bahwa setelah Papua duduk bangku sederatan dengan negara lain, baru Anda akan jadi big fan of Papua.
Sumber: https://www.qureta.com